THE FOUNTAIN (2006)
Ini adalah film pertama Darren Aronofsky setelah enam tahun dimana sebelumnya terakhir Aronofsky merilis film adalah di tahun 2000 lewat Requiem for a Dream. Jarak yang lama ini disebabkan karena sempat tertundanya proyek The Fountain ini. Pada awalnya Brad Pitt dan Cate Banchett adalah dua orang yang akan bermain disini, namun mundurnya Brad Pitt dan pengurangan bujet yang dilakukan pihak studio membuat proyek ini sempat terbengkalai bahkan dihentikan. Namun setelah Aronofsky menulis ulang naskahnya dan merevisi kebutuhan bujet, The Fountain pun akhirnya bisa terealisasi dengan Hugh Jackman dan Rachel Weisz sebagai pemeran utama. Satu hal lagi yang membuat proses film ini tidak cepat adalah karena dalam proses penulisan ceritanya bersama Ari Handel, Aronofsky butuh melakuan begitu banyak riset mulai tentang suku maya, perjalanan luar angkasa sampai sejarah dan kisah yang tertulis dalam Alkitab. Pada akhirnya The Fountain memang menjadi film paling ambisius dari seorang Darren Aronofsky meski bukan jadi filmnya yang terbaik. Fim ini punya tiga kisah berbeda yang terpisah rentang waktu hingga ratusan tahun namun tetap memiliki benang merah yang menghubungkan ketiga kisah tersebut.
Kisah pertama terjadi di abad ke-16 disaat Tomas Verde (Hugh Jackman) seorang conquistador (penakluk) mendapat misi dari Ratu Isabella (Rachel Weisz) untuk mencari pohon kehidupan (tree of life) yang selama ini hanya dianggap sebagai dongeng di Alkitab. Pohon tersebut dipercaya bisa membawa keabadian bagi siapa saja yang meminum getahnya. Menurut Ratu Isabella, penemuan pohon tersebut bisa mengakhiri konflik perebutan kekuasaan yang sedang terjadi dimana pihak Pendeta sedang berusaha melakukan kudeta. Maka berangkatlah Tomas mencari pohon tersebut yang kabarnya terletak di piramida yang hilang milik suku maya. Kisah kedua terjadi pada tahun 2005 tentang Tom Creo (Hugh Jackman) seorang doktor yang tengah melakukan penelitian untuk menemukan obat untuk tumor otak yang diderita oleh istrinya, Izzi (Rachel Weisz). Tom menggunakan sampel dari pohon kehidupan yang baru saja ditemukan di Amerika Tengah untuk membuat obat tersebut. Disisi lain Izzi yang sekarat sesungguhnya ingin agar Tom lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya di hari-hari terakhir hidupnya. Sedangkan kisah ketiga ber-setting tahun 2500 tentang Tommy (Hugh Jackman), seorang space traveler yang melakukan perjalanan ke luar angkasa di dalam sebuah gelembung yang mengangkut dirinya dan sebuah pohon kehidupan. Tujuan mereka adalah nebula, sebuah bintang kematian yang dipercaya sebagai sumber kehidupan.
Film-film macam The Fountain ini jelas akan membagi respon penontonnya menjadi dua pihak, ada yang membenci film ini dan ada yang menyukainya. Pada press screening film ini dicemooh habis-habisan, namun malam berikutnya dalam public screening, film ini justru mendapat 10 menit standing ovation. Saya sendiri sulit mengatakan apakah saya mencintai atau membenci film ini. Jelas hal yang paling menonjol dan paling saya sukai dari film ini adalah visualnya. Yang paling banyak memakai CGI tentunya cerita ketiga tentang Tommy sang space traveler. Biasanya efek CGI hanyalah sebagai pemanis atau istilah kerennya style over substance tapi dalam film ini efek tersebut memang begitu sempurna dalam mendukung atmosfer kisahnya. Dunia dalam gelembung tempat Tommy melakukan perjalanan terasa sebagai sebuah "dunia lain" yang misterius. Salah satu momen terbaiknya adalah saat ia mulai keluar dari gelembung dan melayang di angkasa. Apa yang terlihat di layar mungkin bukan sebuah penggambaran terhadap alam akhirat atau surga dan semacamnya, tapi apa yang terlihat bagi saya merupakan gambaran terdekat dari pencapaian nirwana. Begitu indah, asing dan terasa diluar jangkauan. Pada akhirnya aspek visual dari The Fountain memang merupakan hal terbaik yang dimiliki oleh film ini. Lalu bagaimana dengan ceritanya?
Sesungguhnya The Fountain punya cerita yang sederhana, yakni sebuah kisah cinta antara pria dan wanita itu saja. Tapi Aronofsky menggabungkan kisah cinta tersebut dengan berbagai hal mulai dari kisah Alkitab, kepercayaan suku maya hingga konsep tentang kehidupan dan kematian. Sering film ini membahas hubungan antara kehidupan dan kematian yang sekilas merupakan dua hal yang bertentangan. Namun muncul pemikiran dan hal-hal ironis bahwa sesungguhnya hidup dan mati itu saling berhubungan bahkan saling "menciptakan". Salah satu contohnya adalah kepercayaan suku maya akan Nebula, sebuah bintang mati tapi dianggap sebagai sumber kehidupan. The Fountain banyak bicara tentang ketakutan dan kekhawatiran manusia pada kematian entah itu kematian dirinya atau kematian orang yang dicintai. Maka dari itu ada kisah tentang Ratu yang menyuruh diadakannya pencarian pohon kehidupan, seorang doktor yang mencoba menyelamatkan nyawa sang istri bahkan akhirnya ingin menciptakan obat penyembuh kematian, hingga seorang space traveler yang coba membawa pohon kehidupan yang sekarat ke Nebula supaya bisa terlahir kembali. Sederhananya ini semua adalah perpaduan antara kisah cinta, kehidupan dan kematian yang diangga sebagai awal dari kehidupan yang baru.
Kenapa Aronofsky membagi kisahnya kedalam tiga fase? Bagi saya fase pertama adalah proses kelahiran, yang pada akhirnya beranjut menjadi sebuah kehidupan. Disinilah kisah tentang Adam dan Hawa diselipkan. The tree of life membawa kehidupan di dunia. Kemudian fase kedua adalah fase akhir kehidupan saat kematian telah siap menjemput dan manusia harus menghadapi datangnya maut. Sedangkan fase ketiga mungkin yang paling banyak menimbulkan muli-interpretasi. Dengan segala visi tentang Izzi yang didapatkan oleh Tommy, saya meyakini bahwa space traveler ini adalah Tom yang pada akhirnya berhasil menciptakan obat untuk hidup abadi. Saat itu Tom masih belum bisa menerima kematian sang istri yang kini "hidup" dalam pohon kehidupan yang ia bawa. Namun lewat perjalanan spiritual yang ia alami menuju Nebula akhirnya ia sadar bahwa kehidupan dan kematian sesungguhnya saling berkaitan. Distulah akhirnya ia menemukan kembal cincin kawin miliknya, memakainya kembali sebagai pertanda ia akan "bersatu" kembali dengan Izzi. Sosok Tom yang botak dan meditasi dengan cara tai-chi membuat saya berinterpretasi bahwa dia pada akhirnya mencapai nirawana sebelum akhirnya terlahir kembali dan dikenal sebagai sosok first father oleh dukun dari suku maya. Struktur plot yang disusun Aronofsky bagi saya luar biasa, tapi sayangnya satu hal yang ia lupakan yakni kedalaman.
Strukturnya memang hebat dimana ia mampu mengaitkan berbagai konsep dan hasil riset yang ia miliki menjadi satu sajian besar yang make sense. Tapi masalahnya ini adalah kisah tentang kehidupan dan kematian, dua hal yang sangat mendasar tapi begitu mendalam pada diri manusia. Dan Aronofsky gagal menjadikan The Fountain sebagai sebuah tontonan spiritual yang terasa mendalam dan mengena. Sebagai sebuah presentasi konsep film ini sempurna, tapi konsep itu seolah berjalan tanpa jiwa yang kuat. Padahal cerita kedua mampu menyadarkan saya tentang bagaimana seringkali seseorang salah memahami keinginan kerabat atau orang tercintanya yang akan segera meninggal. Tentu saja dia ingin sembuh, akan lebih baik kalau dia tetap hidup, tapi jika usaha itu malah membuatnya merasa sendirian dan menjauhkan keduanya alangkah lebih baiknya jika hari-hari terakhir yang tersisa dihabiskan semaksimal mungkin dengan orang yang ia cintai. Sosok Izzi memang menghargai usaha Tom yang ingin menyembuhkan tumornya, tapi ia lebih ingin Tom menghabiskan banyak waktu dengannya, karena jika semua usaha itu gagal maka hari-hari terakhir itu akan terbuang sia-sia. Hal itulah yang akhirnya disadari oleh Tom saat ia mengarungi angkasa. Banyak tragedi serta ironi tapi ceritanya tidak sekuat itu hingga akhirnya semua terasa datar. Sayapun hanya dibuat terpesona oleh struktur alur dan visuanya. Ibaratnya saya senang melihat seorang wanita cantik tapi hanya sebatas itu, tidak ada ikatan perasaan kuat yang saya rasakan pada wanita tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar