THE AMAZING SPIDER-MAN 2 (2014)
Saya cukup menyukai film The Amazing Spider-Man yang pertama. Sebenarnya saya setuju bahwa film tersebut menyalahi janjinya sebagai the untold story of Spider-Man karena sebagian besar yang terjadi sudah kita tahu atau pernah kita lihat dalam film Spidey garapan Sam Raimi. Tapi disisi lain saya senang karena Marc Webb lebih "setia" pada komiknya daripada Raimi salah satunya dengan menghadirkan sosok Spidey yang sering melontarkan lelucon konyol saat beraksi sampai kemunculan Gwen Stacy yang memang merupakan love interest pertama Peter Parker sebelum Mary Jane. Filmnya sendiri cukup menyenangkan dan yang paling penting bisa membuat saya mengantisipasi sekuel dan expanded universe ala Marvel yang hendak dibangun oleh Sony. Maka sekuelnya yang rilis dua tahun setelah film pertamanya jelas saya tunggu. Tapi disisi lain saya merasa was-was karena dua hal. Pertama tentu saja berkaitan dengan usaha memperluas dunia Spidey yang bisa menjadikan film ini hanya sebagai jempatan penyambung universe daripada sebuah stand alone yang kokoh. Yang kedua adalah fakta bahwa Webb membawa banyak villain dalam film ini. Tercatat ada tiga nama, yaitu Electro, Green Goblin dan Rhino. Apakah dia lupa dengan kegagalan Spider-Man 3 karena terlalu banyak musuh yang muncul?
Kisahnya melanjutkan apa yang ditinggalkan film pertama, yaitu bagaimana Peter Parker (Andrew Garfield) melanjutkan kehidupan gandanya sebagai Spider-Man dan seorang siswa SMA yang akan segera lulus. Kini Peter mengalami dilema dan terus dihantui oleh sosok mendiang ayah kekasihnya, Gwen Stacy (Emma Stone) yang sebelum tewas berpesan supaya Peter menjauhi Gwen untuk melindungi keselamatannya. Tapi tentu saja berat bagi Peter melakukan itu, apalagi Gwen adalah sosok keras kepala yang tidak akan mudah untuk diminta menjauh dari orang yang ia cintai. Disisi lain sebagai Spider-Man, Peter harus menghadapi ancaman baru yang datang dari Electro. Electro adalah super villain yang punya kemampuan mengendalikan listrik. Sosoknya sendiri tercipta dari Max Dillon (Jamie Foxx) seorang teknisi listrik dari perusahaan Oscorp yang hidupnya selalu diisi kesepian. Max tidak punya teman, dan dia sangat mengidolakan Spider-Man yang suatu hari pernah menolongnya. Namun sebuah kecelakaan di tempat kerja membuatnya tewas dan akhirnya bangkit kembali sebagai Electro. Dipenuhi dendam dan keinginan yang besar untuk mendapat "perhatian", dia pun mulai mengacaukan seisi kota. Masalah Peter tidak hanya berhenti sampai disitu, karena disaat bersamaan ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya, Harry Osborn (Dane DeHaan) yang kini memimpin Oscorp dan berusaha mendapatkan darah Spider-Man untuk menyembuhkan penyakit yang ia alami.
Mari memulai membahas hal positif yang dimiliki film ini lebih dulu. Yang paling terasa tentu saja aspek visualnya yang makin membaik. Dengan efek CGI yang makin halus, Marc Webb dengan berani membungkus film ini menjadi lebih berwarna (literally). Saya sangat suka adegan pertempuran Spidey melawan Electro yang terjadi pertama kali. Pada adegan itu kita bisa melihat perpaduan warna-warni lampu kota di malam hari membaur indah dengan terjangan listrik Electro. Adegannya pun dikoreografi dengan baik memperlihatkan bagaimana Spidey bertarung secara akrobatik termasuk momen-momen slo-mo yang menunjukkan kecepatan sang manusia laba-laba. Belum lagi ditambah dengan scoring yang keren dari Hans Zimmer dan The Magnificent Six, adegan-adegan aksinya pun semakin terasa menghibur. Ya, jika membahas adegan aksi, film kedua ini memang lebih besar dan lebih spektakuler daripada prekuelnya. Kemudian masih berbicara masalah visual, saya pun menyukai desain karakter yang ada mulai dari Electro yang alih-alih memakai baju kuning-hijau dengan topeng petir seperti di komik terasa lebih mengerikan dengan warna birunya. Green Goblin? Yah setidaknya versi Webb ini tidak punya topeng campy seperti versi Raimi.
Sebagai penambah hiburan, masih ada beberapa humor yang diselipkan dan itu efektif. Keberhasilan humornya sangat terbantu oleh timing komedi yang sempurna dari Andrew Garfield serta Emma Stone. Saya masih merasa Emma agak kurang nyaman karena harus sedikit menahan sisi "gilanya" sebagai Gwen tapi penampilannya tetaplah enjoyable. Akting bagus lainnya datang dari Dane DeHaan. Saya memang merasa hubungan persahabatannya dengan Peter tidaklah tergali dengan baik yang menyebabkan transformasi Harry menjadi Green Goblin terasa kurang mengena, tapi diluar itu akting Dane DeHaan memuaskan. Jelas ada "kegilaan" yang terpancar dari matanya. Sayang memang sosoknya serta hubungannya dengan Peter kurang tergali, karena Harry milik DeHaan punya potensi besar menjadi penjahat yang kompleks dan bukan sekedar megalomaniac layaknya mayoritas penjahat di film superhero. Hal yang sama juga terasa pada sosok Electro. Terasa sekali naskahnya ingin memberikan latar belakang yang lebih manusiawi dan tragis bagi Max yang akhirnya memicu transofrmasinya sebagai Electro. Dia jahat karena kejahatan yang ia terima dan kesepian dalam hidupnya. Tapi lagi-lagi hal itu kurang dalam tergali hingga terasa kurang mengena.
Kini saatnya kita beralih ke aspek negatif dalam film ini. Sebenarnya ada banyak hal negatif, tapi semuanya punya satu sebab yang sama yaitu ambisi yang terlalu besar untuk memasukkan banyak konflik dalam film ini yang justru berakibat pada kurang tergalinya berbagai konflik yang ada. Ironisnya, Webb sudah berhasil memberikan porsi yang seimbang pada ketiga penjahat yang ada hingga tidak ada kemunculan keroyokan yang kacau dan dipaksakan. Tapi dia justru gagal untuk merangkum banyak kisahnya secara maksimal. Seperti yang sedikit saya singgung diatas, banyak hubungan dan karakter yang terasa dangkal karena hal ini seperti hubungan Peter dan Harry. Andaikan film ini lebih berfokus pada hal itu tanpa ada sosok Electro mungkin The Amazing Spider-Man 2 akan terasa lebih menggigit dengan kisah yang lebih dalam dan kelam. Seharusnya ini menjadi Rise of Green Goblin saja daripda Rise of Electro. Ironisnya lagi, kedua judul itu sama sekali tidak cocok menggambarkan film ini karena apa yang muncul lebih cocok disebut Rise of Sinister Six. Akhirnya yang saya takutkan benar-benar terjadi. Film kedua ini terasa hanya sebagai jembatan untuk universe lebih luas yang sedang dibangun entah itu film Sinister Six ataupun finale dari franchise ini nantinya. Disaat Marvel sudah menyadari kesalahan serupa yang mereka lakukan pada Iron Man 2, Thor dan Captain America, Sony malah giliran melakukan kesalahan itu.
Disisi lain, hal yang menjadi fokus utama yaitu hubungan Peter dan Gwen justru terasa datar. Benar saya menyukai Emma Stone dan Andrew Garfield, tapi itu disaat mereka harus "melucu", tapi disaat kisah cinta keduanya dieksplorasi yang ada malah rasa bosan, klise dan terlalu panjang. Ironis memang, terasa terlalu panjang tapi hampir tidak ada kedalaman yang tergali. Padahal film ini sudah menampilkan salah satu momen ikonis sepanjang sejarah komik Spider-Man yang seharusnya punya impact luar biasa kuat baik bagi penonton maupun Spider-Man/Peter Parker sendiri, tapi lagi-lagi momen itu terasa biasa saja. Bagaikan hanya numpang lewat. Bahkan penonton yang sama sekali tidak tahu cerita komiknya mungkin akan terkejut tapi hanya itu. Tidak ada efek emosional yang terasa mengingat eksekusinya yang kurang. Apalagi bagi mereka yang tahu "momen itu" seperti saya. Pada akhirnya The Amazing Spider-Man 2 memang punya adegan aksi yang menghibur, tapi hanya itu. Tidak buruk, tapi bisa dibilang gagal. Gagal dalam menghantarkan ceritanya, gagal dalam usahny menarik penonton untuk mengikuti universe yang diperluas di masa mendatang dan gagal menghadirkan misteri yang menarik khususny terkait konspirasi Oscorp yang melibatkan ayah Peter. Saya pun akhirnya masa bodoh, tidak peduli lagi dengan that (not really) untold story. Saya memang masih menantikan Sinister Six tapi itu lebih kepada rasa penasaran akan seperti apa film yang menggabungkan enam penjahat dalam satu film, dan bukannya karena apa yang di-tease oleh film ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar