THE SELFISH GIANT (2013)
Pada tahun 2010 lalu Clio Barnard sempat membuat film dokumenter berjudul The Arbor yang penyampaiannya terasa inovatif. Dalam film tersebut, Barnard menyajikan kisahnya bagaikan sebuah pertunjukkan diatas panggung, hanya saja kebanyakan set-nya berada di taman lengkap dengan sofa di tengahnya. Tapi meskipun unik saya pribadi tidak terlalu menyukai dokumenter itu. Kali ini dia kembali dengan sebuah drama berjudul The Selfish Giant yang terinspirasi dari cerita buatan Oscar Wilde dengan judul sama. Jika film sebelumnya dari Barnard berjudul The Arbor, kali ini tokoh utama dalam The Selfish Giant yang bernama Arbor. Diperankan oleh Conner Chapman, Arbor adalah seorang bocah yang hidup di Bradford, Inggris. Dalam kesehariannya Arbor banyak tidak disukai oleh orang-orang termasuk teman bahkan guru di sekolahnya. Semua itu karena gangguan psikologis yang ia miliki. Arbor tidak hanya hiperaktif, tapi juga mudah marah. Karena itulah dia dijauhi karena dianggap memberikan banyak pengaruh buruk.
Walaupun begitu, Arbor beruntung memiliki seorang sahabat yang begitu sabar dan setia menemani Arbor dengan segala "keliaran" yang ia miliki. Sahabatnya itu bernama Swifty (Shaun Thomas). Sama seperti Arbor, kehidupan Swifty juga tidaklah bahagia. Sesungguhnya dia adalah anak yang sangat baik dan simpatik, tapi kondisi keluarganya yang miskin dan ayahnya yang "hobi" menjual barang-barang rumah untuk melunasi hutang membuat Swifty selalu dicela orang-orang di sekitarnya. Pada akhirnya kedua bocah yang terbuang oleh sosialnya itupun selalu bersama-sama termasuk saat mereka bekerja di sebuah tempat pengumpulan besi bekas milik Kitten (Sean Gilder). Mereka pun bersama-sama bekerja, mencari uang sembari bersenang-senang sebagai pengumpul besi bekas bahkan sampai mencuri kabel-kabel. Ya, begitulah kisah dari The Selfish Giant. Sebuah cerita tentang dua anak manusia yang sama-sama kesepian, sendiri dan terbuang. Keduanya pun saling mengisi satu sama lain. Karena itulah saya sangat bisa memaklumi kenapa Swifty yang begitu baik masih terus betah berteman dengan Arbor yang menyebalkan dan begitu egois. Keduanya tidak hanya menemukan sosok teman biasa, tapi sahabat sejati yang akan selalu bersama. Ini adalah studi karakter, bahkan studi hubungan yang sederhana tapi mendalam diantara keduanya.
Saat saya menyebut kata "sederhana" itu memang benar. The Selfish Giant punya cerita yang sangat sederhana dan berjalan begitu sederhana. Tidak ada konflik yang terlampau rumit, tidak ada pula letupan-letupan besar dalam mayoritas durasinya. Ceritanya hanya seputar persahabatan dua orang bocah yang mengisi waktunya dengan mengumpulkan barang bekas sambil sesekali diselipi konflik dalam keluarga masing-masing. Kesederhanaan bertutur inilah yang justru menjadi kekuatan film ini. Semua yang terjadi terasa begitu nyata, begitu realistis. Saya pun dengan mudah bisa untuk memaklumi segala konflik yang ada dan terbawa dalam kisah persahabatan antara Arbor dan Swifty. Kemudian jika bicara tentang sosok Arbor saya pun sempat merasakan dilema dimana saya pada awalnya merasa susah untuk menyukai dirinya bahkan terasa benci. Bayangkan seorang bocah yang begitu egois, senang melontarkan umpatan dan penuh dengan kesinisan, pasti hampir semua orang membencinya. Tapi disisi lain saya sangat ingin tidak membenci Arbor karena saya memahami kenapa dia bisa berperilaku seperti itu. Dia punya kondisi psikis yng terganggu khususnya karena keluarga dan lingkungan yang kurang kondusif.
Tapi mungkin inilah yang ingin diperlihatkan Clio Barnard dalam filmnya, dimana lingkungan masyarakat tidak seharusnya memberikan cap pada seseorang dengan begitu mudahnya. Kita boleh saja merasa risih dan tersinggung dengan perilaku orang-orang seperti Arbor, tapi sebelum memberikan cap dan mengasingkan mereka, cobalah terlebih dahulu menengok latar belakangnya. Tanpa disadari justru perilaku masyarakat yang seperti inilah yang membuat sosok seperti Arbor semakin menjadi dan tidak bisa mendapatkan kemajuan dalam hidupnya. Tapi disamping itu, saya pun bisa dibuat bersimpati pada Arbor karena di dalam hatinya terpancar kebaikan dan kepedulian seperti yang ia tunjukkan pada Swifty maupun sang ibu saat mereka tengah mendapat masalah. Arbor dan Swifty memang sebuah hubungan mutualisme, dimana hanya mereka yang bisa mengerti satu sama lain. Swifty selalu setia bersama Arbor dan sebaliknya Arbor pun tahu bagaimana caranya membuat Swifty bahagia dengan cara yang mugkin tidak akan diduga dan dipakai oleh orang lain termauk orang tua Swifty sekalipun. Hal ini bisa terasa maksimal karena akting luar biasa dari kedua aktor utamanya. Dua aktor cilik yang begitu luar biasa.
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, The Selfish Giant berjalan sederhana tanpa ada banyak letupan besar bahkan punya tempo yang cukup lambat. Tapi semuanya berubah saat sebuah kejutan luar biasa yang terasa tragis terjadi pada penghujung filmnya. Sebuah kejutan yang tiba-tiba dan disusul dengan adegan sunyi yang seolah menggambarkan perasaan penontonnya termasuk saya yang pasti akan terdiam melihat itu walaupun sudah bisa memperkirakan hal itu sekalipun. Tapi disinilah momen coming-of-age yang sesungguhnya benar-benar terasa. Banyak yang mengatakan bahwa untuk merubah seseorang harus ada sebuah kejadian besar yang terjadi dalam hidupnya, dan film ini membuktikan hal tersebut. Momen itulah yang pada akhirnya merubah Arbor seutuhnya dan membuat saya makin bersimpati bahkan memaafkan segala hal buruk nan menyebalkan yang telah ia lakukan sedari awal. The Selfish Giant merupakan sebuah kisah sederhana namun begitu mengena. Terasa getir sekaligus tragis namun juga begitu indah pada akhirnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar