OCULUS (2014)

Tidak ada komentar
Tahun 2013 lalu berhasil memberikan harapan besar pada franchise horror mainstream dengan kesuksesan The Conjuring (review) dan Insidious: Chapter 2 (review) milik James Wan. Tidak hanya sukses secara finansial, kedua film tersebut merupakan sajian horror dengan scare jump yang cukup mengagetkan dan kreatif setidaknya bagi saya. Karena itulah saat saya mendengar tentang perilisan Oculus lengkap dengan segala pujian tentangnya saya pun semakin menanti film garapan sutradara Mike Flanagan ini. Berasal dari film pendek karya Mike Flanagan sendiri yang berjudul Oculus: Chapter 3 - The Man with the Plan, film ini sesungguhnya bukanlah sebuah film horror "besar" layaknya dua film James Wan yang saya sebutkan diatas. Diproduksi oleh WWE Studio, Oculus hanya mempunyai bujet sebesar $5 juta. Tapi justru itulah yang menarik dari film ini. Menarik melihat bagaimana Mike Flanagan akan memanfaaatkan bujet minim tersebut. Menarik juga menantikan bagaimana Oculus akan memberikan kengerian pada penontonnya dengan berbekal sebuah cermin tua sebagai sajian utamanya. Jadi semengerikan apakah cermin jahat yang memberikan teror dalam Oculus?

Filmnya akan membawa kita bolak-balik dari masa sekarang ke masa lalu tepatnya 11 tahun yang lalu. Adalah sepasang kakak beradik, Kaylie (Karen Gillian) dan Tim (Brenton Thwaites) yang akan jadi karakter utama disini. Tim kini baru saja diperbolehkan keluar dari rumah sakit jiwa tempat ia dirawat akibat trauma masa kecilnya, sedangkan Kaylie yang kini bertunangan dengan Michael (James Lafferty) menghabiskan banyak waktunya untuk melakukan penelitian sekaligus mencari keberadaan sebuah cermin. Cermin yang selama ini dicar Kaylie adalah sebuah cermin yang dipercaya menyimpan kekuatan supranatural jahat di dalamnya. Cermin itu jugalah yang 11 tahun lalu menjadi pemicu tragedi mengerikan yang terjadi di keluarga Kaylie dan Tim sekaligus yang membuat Tim pada akhirnya didiagnosis menderita gangguan jiwa akibat segala ceritanya tentang cermin jahat tersebut. Dengan segala terapi yang telah ia terima, Tim pun kini mulai meyakini bahwa segala cerita tentang cermin pembunuh tersebut hanya rekayasa belaka. Tapi belum lama ia keluar dari rumah sakit jiwa, Tim sudah harus bertemu lagi dengan cermin tersebut dan kembali ke rumah lama miliknya setelah Kaylie dengan segala rencan yang telah lama ia susun memutuskan bahwa sekarang adalah waktunya bagi mereka untuk menuntut balas dan memusnahkan iblis penunggu cermin tersebut.
Cermin memang bukan barang baru untuk dieksplorasi dalam film horror, tapi jelas potensinya luar biasa besar. Bahkan di dunia nyata pun cermin seringkali menjadi barang yang cukup mengerikan, apalagi jika cermin itu adalah cermin lama yang punya desain ukiran kayu yang klasik. Saya sendiri seringkali merasa tidak betah menatap cermin seperti itu karena merasa ada sosok yang mengawasi. Hal itulah yang menjadi potensi terbesar bagi Oculus. Mike Flanagan sendiri nampaknya sadar bahwa filmnya ini tidak hanya berpotensi bagus tapi juga berpotensi disandingkan dengan film-film horror sukses milik James Wan diatas. Karena itulah Flanagan mencoba pendekatan yang sedikit berbeda dan cukup unik disini. Alih-alih memberikan sebuah narasi yang linear, Flanagan mengemas Oculus dengan memadukan teror yang terjadi di masa sekarang saat Kaylie dan Tim coba menghancurkan cermin tersebut dengan flashback 11 tahun lalu saat keduanya masih kecil dan terjadi tragedi mengerikan yang menimpa keluarga mereka. Hal tersebut memang unik dan saya akui cukup menyegarkan melihat kedua plot yang silih berganti tersebut, Pengemasan Flanagan pun cukup menarik saat "menabrakkan" kedua alur tersebut tapi tetap membuatnya terasa sebagai sebuah satu kesatuan. Sayangnya teknik yang menarik itu tidak dibarengi dengan pembangunan tensi yang menarik pula.
Penggabungan dua plot bakal terasa maksimal jika ada penyelipan misteri di dalamnya yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang terjadi, khususnya pada paruh flashback. Kemudian pada akhirnya saat kedua plot bertabrakan di konklusi maka akan tercipta sebuah klimaks dengan intensitas dan revelation yang memuaskan. Sayangnya Oculus tidak memiliki itu, dan yang terjadi pada akhirnya adalah film ini tetap terasa sebagai sebuah straight horror biasa meski dikemas dengan berbeda. Alurnya sendiri berjalan dengan cukup lambat bahkan seringkali terasa membosankan. Ironisnya, lagi-lagi hal ini terjadi akibat usaha Flanagan untuk membuat filmnya berbeda dari kebanyakan horror pada umumnya. Oculus bukanlah film yang setiap beberapa menit sekali menyajikan penampakan dengan memakai jump scare. Film ini lebih berusaha membangun atmosfer dan ketegangan lewat pikiran penontonnya. Usaha yang patut diapresiasi sebenarnya mengingat banyak film horror malas melakukan ini dan lebih memilih melakukan jump scare untuk mengageti penonton daripada menciptakan sebuah kengerian. Tapi sayangnya hal itu tidak berhasil. Kadangkala bahkan perpadua kedua plotnya terasa berantakan. Tidak membingungkan, hanya saja kekacauan itu membuat ketegangannya gagal terbangun. Beberapa jump scare yang dipakai juga sama sekali tidak menimbulkan efek shocking, malah beberapa diantaranya menggelikan.

Untungnya masih ada poin yang membuat Oculus terasa sebagai horror yang meneror, yaitu lewat aspek gore dan beberapa gambar-gambar disturbing yang ada. Beberapa adegannya terasa menyakitkan seperti adegan "makan lampu" dan sebagainya. Beberapa graifk yang ada khususnya saat Kaylie memperlihatkan foto-foto para korban dari cermin tersebut juga sanggup membuat imajinasi saya bermain-main dan berujung pada kengerian yang cukup efektif. Belum lagi ditambah dengan sebuah ending yang sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan tapi dieksekusi dengan jalan yang shcoking sehingga memberikan efek kejut yang cukup besar. Ya, saya menyukai ending-nya yang menguatkan kesan betapa jahatnya cermin terkutuk itu. Sampai disini Oculus terlihat akan mendapat penilaian positif dari saya, tapi sayangnya ada satu poin yang sangat mengganjal, yaitu kebodohan karakternya. Ya, saya tahu bahwa sebuah film horror "halal" untuk sebodoh apapun asal bisa memberikan kengerian. Bahkan karakter dalam Oculus masih jauh lebih cerdas daripada korban-korban di film slasher. Tapi ada satu hal yang benar-benar mengganggu, yaitu fakta bahwa Kaylie sebenarnya telah mengetahui bagaimana kekuatan iblis jahat di dalamnya yang mampu memanipulasi pikiran korbannya dengan cara apapun tanpa bisa disadari oleh mereka. Dengan menegtahui fakta itu bukankah merupakan keputusan yang begitu bodoh untuk melakukan perlawanan "hanya" dengan cara yang menurut saya cuma efektif untuk melawan para pembunuh itu? Terasa sekali bahwa Flanagan menggiring plotnya tersebut untuk menciptakan sebuah ending yang cukup "depresif".

Tidak ada komentar :

Comment Page: