TRANSCENDENCE (2014)
Wally Pfister sudah dikenal namanya sebagai salah satu sinematografer terbaik sekaligus kolbaorator rutin bagi film-film Christopher Nolan semenjak Memento. Lewat film itu jugalah Pfister mulai angkat nama menjadi seperti sekarang, seorang sinematografer yang sukses meraih empat nominasi Oscar untuk Best Cinematography dan memenangkan salah satu diantaranya (Inception). Wally Pfister adalah sinematografer hebat itu tidak perlu diragukan lagi, tapi bagaimana jika ia menyutradarai fil? Tentu saja kualitasnya masih perlu dibuktikan bahkan dipertanyakan. Tahun ini Pfister melakoni debut penyutradaraannya lewat Transcendence, salah satu film sci-fi yang paling ditunggu tahun ini. Transcendence begitu dinantikan karena banyak hal. Pertama jelas karena ini debut dari Wally Pfister. Kedua karena banyaknya nama besar yang muncul mulai dari Johnny Depp, Rebecca Hall, Paul Bettany, Cillian Murphy, Morgan Freeman hingga Kate Mara. Yang terakhir adalah, karena film ini merupakan satu dari sedikit film sci-fi Hollywood yang punya cerita original, bukan adaptasi, sekuel maupun remake selain Intersellar milik Christopher Nolan yang akan rilis di akhir tahun. Dengan bujet yang mencapai $100 juta, tentu saja film ini menimbulkan ekspektasi yang besar. Meskipun pada akhirnya banyak mendapat respon negatif dari kritikus, gagal di Box Office (hanya mendapat $90 juta) saya tetap penasaran meski memutuskan melewatkan penayangannya di bioskop.
Dr. Will Caster (Johnny Depp) adalah seorang ilmuwan jenius yang berambisi mengungkap rahasia-rahaia alam dan berusaha menyembuhkannya. Dengan bantuan sang istri, Evelyn (Rebecca Hall), Will telah mengembangkan sebuah Artificial Intelligence (A.I.) yang tidak hanya memiliki kejeniusan luar biasa (konon mampu mencakup segala pengetahuan yang ada dari sepanjang masa) tapi juga mempunyai kesadaran. Will Caster tidak hanya berusaha membuat komputer yang jenius tapi juga mempunyai kehidupan layaknya manusia. Namun pengembangan ini mendapat tentangan dari para ekstremis yang mengatas namakan diri mereka sebagai Revolutionary Independence From Technology (R.I.F.T.) yang melakukan usaha pembunuhan terhadap para pengembang A.I. termasuk Will. Meski selamat dari usaha penembakan pada dirinya, hidup Will ternyata tidak akan lama lagi karena peluru yang menyerempet tubuhnya telah diberikan racun mematikan. Evelyn yang berusaha melakukan segala cara untuk menyelamatkan Will akhirnya berusaha meng-upload kesadaran Will kedalam komputer dengan harapan meski tubuhnya telah mati tapi memori dan pikiran Will akan bisa terus hidup. Dengan bantuan sahabat Max (Paul Bettany) keduanya pun pada akhirnya berhasil menunggah kesadaran Will. Namun Max menyadari ada yang tidak beres saat Will meminta supaya dia diunggah secara online supaya bisa mengeksplorasi segala hal di seluruh dunia. Disaat Evelyn begitu bahagia karena sang suami telah kembali, Max dan beberapa pihak lain termasuk R.I.F.T yakin bahwa sosok itu bukan Will dan akan membahayakan umat manusia.
Transcendence itu pada dasarnya memiliki ide dasar yang begitu menarik, original dan memiliki berbagai pertanyaan-pertanyaan dilematis seputar teknologi dan kemanusiaan di dalamnya. Sayangnya ide dasar tersebut gagal dikembangkan dengan baik khususnya karena naskah tulisan Jack Paglen yang buruk. Inilah yang terjadi jika sebuah science-fiction hanya menjadikan aspek science sebagai sampul tapi pada pengembangannya tidak lagi mempedulikan aspek tersebut dan hanya berfokus pada fiction-nya saja. Tentu saja film ini bukan yang pertama melakukan itu, karena mayoritas sci-fi besar milik Hollywood pun melakukan hal serupa. Masalahnya adalah Transcendence terlalu berusaha memperlihatkan bahwa "dia" itu cerdas padahal sebenarnya tidak. Dengan begitu banyak unsur sains serta istilah teknologi komputer yang dipakai, memang film ini seolah terlihat cerdas. Lewat beberapa teori yang dilemparkan mengenai A.I. dan kesadarannya, apa yang hadir disini terlihat rumit pula. Padahal sebenarnya ini bukan film yang rumit dan cerdas melainkan rumit dan bodoh. Alih-alih menyadari kebodohan itu dan mengajak penontonnya bersenang-senang, naskah Jack Paglen dan penggarapan Wally Pfitser malah berusaha sebisa mereka mengemas Transcendence terlihat secerdas dan se-nyeni mungkin. Padahal begitu banyak plot hole serta teori yang tidak memuaskan. Saya sendiri curiga bahwa baik Pfitser maupun Paglen kebingungan mengemas teori itu jadi memuaskan atau pintar dan lebih memilih "pura-pura tidak tahu" terhadap hal itu.
Sampai akhir saya bahkan masih tidak puas dengan penjelasan kenapa banyak hal bisa terjadi seperti bagaimana "Will" akhirnya mampu mengontrol alam, mampu menciptakan sebuah tubuh asli di klimaks film, dan masih banyak lagi. Beberapa hal terkesan begitu menggampangkan dan menciptakan plot hole karena logika yang amat sangat tidak masuk akal. Salah satu yang paling tidak masuk akal tentu saja saat "Will" berhasil mengontrol pikiran bahkan memaksimakan kekuatan orang-orang hanya dengan memasukkan nano partikel miliknya kedalam tubuh oang-orang itu. Sebentar? Nano partikel sebuah komputer? Atau kesadaran dalam komputer? Apalah itu Transcendence sudah terlihat begitu bodoh karena hal ini. Sebenarnya saya tidak akan mempermasalahkan hal ini jika Transcendence "jujur" dan mau menyadari segala kebodohan itu. Andaikan film ini dikemas secara lebih cheesy dan menitik beratkan pada hiburan layaknya banyak sci-fi kelas B diluar sana, saya akan diam dan menikmati filmnya, bahkan kemungkinan besar akan terpuaskan pada akhirnya. Tapi sekali lagi, Wally Pfitser memilih untuk mengemas debutnya ini layaknya film-film arthouse yang justru menjadi bumerang. Pertama, saya jadi tidak bisa menerima begitu saja segala hal diluar logika yang ada. Kedua, pengemasannya yang terlalu "nyeni", filosofis dan bertempo lambat supaya terlihat indah dan puitis itu menjadikan filmnya membosankan. Tidak ada "penawar" bagi penonton supaya lebih terhibur di tengah kompleksitas yang ada.
Nampaknya Wally Pfitser tidak belajar dari apa yang dilakukan Nolan di Inception. Dalam film tersebut, Nolan mampu menyajikan sebuah sci-fi yang terlihat cerdas karena kisahnya tidak terlalu rumit. Teori mimpi yang ditawarkan Nolan sebenarnya sederhana, hanya pengemasan plot-nya yang cerdik mampu membuat Inception terlihat rumit dan cerdas. Nolan juga membungkusnya dengan adegan-adegan aksi yang spektakuler sehingga berhasil mendapatkan atensi penonton untuk terus berusaha mencerna kebingungan dan misteri yang mereka alami saat menonton. Sebaliknya, Pfitser ngotot mengemas filmnya secara lamban, tanpa ada letupan entah itu emosi atau aksi yang memberikan dinamika dan daya tarik pada plot filmnya. Semuanya terasa begitu datar, bahkan klimaksnya pun tidak menggigit. Padahal harusnya Transcendence bisa menjadi sebuah film yang epik karena konfliknya sendiri menyangkut suatu hal yang besar dengan cakupan global. Klimaksnya berakhir hanya dengan sedikit ledakan dan itu mengecewakan. Berbagai hal dilematis yang coba dimasukkan juga tidaklah terlalu berhasil. Ada pertanyaan tentang teknologi yang berkembang terlampau jauh dan mengancam umat manusia. Penonton harusnya dibuat dilematis untuk mendukung sisi mana, apakah Will yang berusaha menyelamatkan alam dengan "imbalan" umat manusia ia kendalikan, atau para revolusioner yang berusaha menghentikan itu namun akibatnya teknologi dunia akan terhenti?
Akhirnya saya bukannya dilematis namun tidak peduli. Karakter Will terlalu A.I. alias terlalu robot dan tidak terlalu mengundang simpati kecuali pada bagian akhir saat saya akhirnya merasakan simpati berkat sebuah momen emosional yang cukup baik. Sepanjang durasinya, film ini coba mengajak penonton mempertanyakan, apakah Will yang sekarang benar-benar dirinya dan mempunyai perasaan ataukah hanya sebuah komputer yang berjalan tanpa rasa? Tapi penggambaran karakter Will di dalam komputer terasa terlalu "berat sebelah" kearah mesin tanpa jiwa sehingga sulit bersimpati padanya. Bagaimana dengan R.I.F.T? Well, mereka adalah anti-teknolog pengancam manusia yang malah tega membunuh manusia dan dipimpin oleh pemimpin yang jauh dari kesan kharismatik bernama Bree (Kate Mara), jadi bagaiana saya bisa mendukung mereka? Evelyn punya potensi menarik simpati, tapi sebuah time lapse sepanjang dua tahun yang harusnya bisa dieksporasi untuk memperlihatkan kegundahan dan dilema padanya menghilangkan kesempatan itu. Pada akhirnya konflik batin yang ia alami jadi terlalu cepat dan hambar. Sedangkan Max, Joseph (Morgan Freeman) dan Donald Buchanan (Cillian Murphy) tidak mendapat porsi yang cukup di momen penting. Depp cukup menarik diawal, tapi setelah semua sisi manusianya dilucuti, karakternya jadi membosankan, sama membosankannya dengan Transcendence secara keseluruhan. Sinematografi Jess Hall cukup menolong, tapi ironisnya masih jauh dibawah Wally Pfitser saat menjadii sinematografer. Mungkin sebaiknya ia tetap di posisi itu saja. Mengecewakan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar