JOGJA ASIAN FILM FESTIVAL - THE SUN, THE MOON & THE HURRICANE (2014)
Hidup kita selalu penuh dengan berbagai macam pencarian. Pencarian akan kebahagiaan, pencarian akan cinta, sampai pencarian akan makna hidup kita sendiri. Seiring dengan terus berjalannya pencarian tersebut, tanpa disadari waktu berlalu, banyak hal di sekitar kita yang mulai berubah, bahkan diri kita sendiri juga pada akhirnya berubah. Hal itu jugalah yang dialami oleh Rain (William Tjokro), dimana film ini akan menuturkan kisah pemuda ini sedari masa dia SMA. Pada saat itu Rain mulai menjalin persahabatan dengan Kris (Natalius Chendana). Dilihat sekilas mereka berdua amat berbeda dimana Rain adalah remaja baik yang murah senyum, sedangkan Kris adalah remaja yang mudah untuk diidentikkan dengan sebutan "nakal" dan selalu memasang wajah ketus. Tapi nyatanya persahabatan mereka berdua berjalan mulus, bahkan setiap malam minggu Rain selalu menginap dirumah Kris meski sang sahabat selalu pergi berpacaran. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka berdua mulai berkembang dan tumbuh rasa cinta terpendam diantara mereka. Rain merasa aman dan membutuhkan Kris, begitu juga sebaliknya. Begitulah bagian indah dari fase pertama kehidupan Rain yang hadir disini.
Setelah itu kita bakal diajak untuk beranjak dari fase remaja Rain, menuju fase berikutnya saat ia berusia 20-an tahun hingga ditutup pada saat ia memasuki fase usia 30-an tahun. Seiring dengan bertambahnya usia dan perjalanan yang ia lakukan, Rain bertemu dengan orang-orang baru sampai kenalan lama yang kembali lagi kedalam hidupnya, dan lewat situlah ia mulai menemukan jawaban atas pencariannya tentang makna kebahagiaan, cinta dan hidup. The Sun, The Moon & The Hurricane memang terdengar seperti sebuah film dengan cerita mendalam karena aspek pencarian yang diusungnya. Dengan itu saja ekspektasi saya melambung tinggi, apalagi konsep tentang judul sebagai representasi fase hidup seorang pria mengingatkan saya pada Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring milik Kim Ki-duk yang indah luar dalam itu. Tapi pada akhirnya film yang juga diputar di Vancouver International Film Festival (Kanada) pada bulan September lalu ini gagal memenuhi ekspektasi saya yang memang cukup tinggi tersebut.
Salah satu permasalahan utama film ini adalah kurang berimbangnya porsi antar tiap-tiap fase kehidupan Rain. Fase pertama adalah yang paling kuat dan sanggup membuat saya tertarik lewat kisah percintaan Rain dan Kris dimana saat itu Rain masih ragu/malu untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang homosekual. Fase kedua yang menampilkan karakter Will (Cornelio Sunny) di Bangkok sebenarnya cukup menarik, khususnya berkat karakter Will yang mengagungkan kebebasan. Tapi momen itu terlalu sebentar dan tidak disinggung lagi hingga film selesai. Memang pertemuan dengan Will memberikan dampak pada Rain, tapi dampak itu kurang terasa pada akhirnya. Kemudian fase ketiga seharusnya berpotensi menghadirkan momen emosional dengan kembali hadirnya Kris, tapi masalahnya jarak antara fase pertama dengan ketiga terlalu pendek, sehingga saat Kris kembali saya sebagai penonton belum merasa itu sebagai sebuah "reuni setelah sekian lama". Pertemuan kembali Kris dan Rain pun kurang kuat dihadirkan sehingga berlalu begitu saja. Kalau saja ditambah satu lagi fase atau fase dengan Will lebih diperbanyak saya yakin emosi yang coba dibangun lebih terasa.
Saya juga merasa aplikasi judul The Sun, The Moon & The Hurricane terhadap ceritanya kurang terasa. Jika tidak membaca sinopsis dan mendengarkan penuturan dari sutradara Andri Cung, saya tidak akan menangkap bahwa "Hurricane" adalah fase remaja yang penuh "keributan" dan "kekacauan", lalu "Sun" adalah fae 20-an yang mengejar kebahagiaan nan cerah, dan "Moon" adalah fae 30-an yang dipenuhi pendewasaan serta ketenangan diri. Memang ada penggambaran tentang korelasi antara judul dan kisahnya, tapi masih kurang kuat. Jangan sampai gamblang memang, tapi ketersiratan yang coba dihadirkan masih benar-benar tipis. Film ini juga bermasalah pada bagian akhir menjelang konklusi. Setelah paruh awal yang menarik dan pertengahan yang bertenaga tapi terlalu singkat, bagian akhirnya justru loyo. Bahkan momen konklusinya terasa terlalu diseret, terlalu lama dan membosankan. Dialog-dialog menarik tulisan Andri Cung yang menghiasi awal sampai tengah tiba-tiba berubah cheesy pada bagian ini. Untung saja ada akting yang cukup baik dari Gesata Stella pada bagian ini. Sayang sekali, setelah berbagai kisah menarik, film ini justru ditutup layaknya ordinary love story yang tidak spesial.
Departemen akting jadi salah satu faktor paling kuat dalam film ini, dengan duo William Tjokro-Natalius Chendana sebagai bintang utama. Mereka punya chemistry cukup kuat, dan tampak sama-sama menyimpan pertanyaan dan kebimbangan dalam diri masing-masing karakter yang diperankan. Pada akhirnya The Sun, The Moon & The Hurricane memang tidak memenuhi ekspektasi tinggi saya, tapi ini jeas merupakan salah satu drama yang menyegarkan. Apalagi melihat begitu minimnya film Indonesia yang mengangkat tema LGBT, jelas film ini merupakan sebuah presentasi yang berbeda tentang sebuah kisah cinta dan pencarian makna hidup, meski jika kita tilik secara menyeluruh, tema LGBT yang ditawarkan tidaklah menyuguhkan kisah baru. Tapi toh pada dasarnya The Sun, The Moon & The Hurricane bukan 100% berfokus pada hal itu, melainkan lebih universal, yakni tentang manusia dan perjalanan hidup mereka.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar