THE SACRAMENT (2013)

1 komentar
Tidak semua orang bahkan mereka yang mengaku pecinta horror bisa menikmati karya Ti West. Bukan karena dia punya tingkat keabsurdan tinggi pada karyanya, tapi lebih kepada pengemasannya yang hampir selalu bertempo lambat dan berpegang teguh pada aspek realistis. Horror milik Ti West layaknya genre arthouse pada drama. Mengalir pelan, berfokus banyak pada karakter, sebelum akhirnya menggebrak saat klimaks. Lihat saja The Innkeepers atau segmen yang ia buat dalam The ABCs of Death. Mereka yang suka bakal menyebutnya The next big thing, tapi bagi yang tidak mungkin bakal merasa film-film Ti West hanyalah tontonan lambat yang membosankan. Saya sendiri cenderung berada di tengah-tengah, meski kedua contoh karyanya yang tersebut diatas meninggalkan kekecewaan bagi saya. Jika kemudian dia membuat film yang ceritanya sangat terinspirasi dari pembantaian massal Jonestown itu sama sekali tidak mengejutkan. Sekedar informasi singkat, kisah yang saya maksud adalah sebuah pembantaian yang terjadi pada sebuah kelompok cult di Jonestown, Guyana pada 18 November 1978. Saat itu sekitar 913 orang melakukan bunuh diri massal (konon ada juga yang dibunuh/dipaksa bunuh diri).

The Sacrament adalah usaha Ti West untuk mengangkat pembantaian di Jonestown tanpa mereferensikan secara langsung bahwa filmnya ini berbasis dari kejadian tersebut. Hampir semua aspek yang ada mengambil dari persitiwa itu, tapi nampaknya demi kebebasan bereksplorasi, Ti West memilih untuk tidak menyatakan bahwa film ini adalah sebuah adaptasi dari Jonestown Massacre. Cerita film ini sendiri adalah tentang dua orang wartawan Vice, Sam (AJ Bowen) dan Jake (Joe Swanberg) yang hendak meliput perjalanan Patrick (Kentucker Audley) untuk bertemu dengan saudarinya, Caroline (Amy Seimetz). Caroline sendiri dulunya adalah seorang pecandu narkoba, tapi semenjak tinggal di sebuah komunitas misterius, Caroline berhasil sembuh dari adiksinya. Lama tidak bertemu, Caroline pun mengundang Patrick untuk berkunjung ke tempat ia tinggal yang disebut Eden Parish. Sam dan Jake tertarik melakukan peliputan karena beberapa keanehan dalam undangan Caroline, semisal bahwa mereka tidak diberitahu letak pasti dari Eden Parish. Sesampainya disana, meski terdapat beberapa keanehan (penjaga yang memakai senapan mesin) mereka justru melihat semua orang hidup rukun dan bahagia. Tidak ada apapun yang mencurigakan sampai mereka bertemu dengan sang pemimpin dengan nama panggilan Father (Gene Jones) yang dipuja layaknya messiah.
Film ini memang mewakili selera (kalau tidak boleh disebut bakat) dari Ti West yang dalam beberapa filmnya belum tersalurkan secara total. Alurnya lambat, itu pasti. Paruh awalnya bisa dibilang sama sekali tidak pernah tancap gas untuk melaju kencang dengan horrornya. Dikemas dengan teknik mockumentary, film ini sekilas mungkin sama saja dengan film dengan format serupa lainnya yang selalu dibuka dengan lambat sebelum menghadirkan klimaks yang diharapkan bisa membayar lunas penantian penonton sedari awal. Saya menyebut The Sacrament berbeda karena adanya substansi dari pembukaan lambat Ti West. Bukan karena kekurangan ide atau menghemat bujet, paruh awal film ini lambat karena berfungsi untuk memperkenalkan semua hal. Memperkenalkan seperti apa Eden Parish dan tentunya seperti apa sosok Father. Disaat mayoritas mockumentary membuat saya mengantuk luar biasa pada bagian awalnya, film ini justru sudah berhasil mencengkeram sedari awal. Menghadirkan interview dan sedikit observasi, The Sacrament mampu mencengkeram berkat efek creepy yang hadir saat kita melihat betapa sempurna dan bahagianya Eden Parish, tapi disaat bersamaan menyiratkan ada ketidak beresan tersembunyi.

Apa yang dilakukan Ti West disini adalah contoh sempurna dari pembangunan horror lewat suasana. Saat digarap dengan maksimal terbukti hal ini lebih mengerikan daripada scare jump. Manusia cenderung takut pada sesuatu yang tidak ia ketahui, termasuk sesuatu yang tersembunyi. Lebih menakutkan lagi jika manusia itu tahu pasti ada sesuatu yang "salah" tapi tidak tahu apa itu dan kapan sesuatu tersebut bakal benar-benar muncul. Seperti itulah film ini. Kengerian bertambah saat setiap warga Eden Parish yang diwawancarai selalu memasang senyum lebar penuh kebahagiaan meski saya tahu ada yang keliru disana. Kengerian mencapai puncak saat akhirnya sosok Father benar-benar muncul dan mulai diwawancarai oleh Sam. Berkat akting Gene Jones, obrolan dengan Father jadi terasa begitu menegangkan. Sosok Father nampak begitu baik, bijak dan menyayangi para pengikutnya. Tapi lagi-lagi dari dalam dirinya tersirat kuat adanya kegelapan mengerikan. Ti West menaruh penontonnya supaya berada di posisi yang sama dengan Sam. Penuh ketegangan, rasa was-was dan keterkejutan. Upaya itu pada akhirnya berhasil. 
Sayang segala ketegangan yang dibangun secara perlahan tapi pasti mencengkeram itu sedikit dinodai oleh klimaksnya. Ironis memang, saat biasanya mockumentary punya pembuka yang membosankan dan klimaks yang gila dan menegangkan, film ini justru sebaliknya. Klimaksnya tidak buruk apalagi membosankan, tapi jelas sangat jauh jika dibandingkan paruh awalnya. Saat tensinya dipercepat, The Sacrament justru kehilangan greget. Ti West gagal mewujudkan horror yang hadir dari pembantaian massal 913 orang di Jonestown. Jumlah korban yang jauh lebih sedikit jelas berpengaruh, tapi yang paling berperan besar dalam kegagalan ini adalah pengemasan seadanya dari momen itu. Pada klimaks ada banyak kematian, tapi semuanya terjadi begitu saja. Bisa jadi ini adalah dampak dari kegetolan sang sutradara pada aspek realistis. Tidak bisa dipungkiri salah satu faktor yang coba dihadirkan dari alur lambat adalah sisi realisme. Dalam The Sacrament, Ti West berusaha sebisa mungkin untuk tidak over-the-top yang justru berakhir menjadi klimaks kurang greget ini.

Secara pengambilan gambar The Sacrament mungkin terlalu rapih, dan penggunaan musik yang dominan cukup melucuti kesan bahwa kita sedang ada disana, dan semua itu adalah kenyataan. Tapi pada saat akhirnya muncul momen shaky, saya menyukai itu. Kamera yang dipegang oleh Joe Swanberg (Ti West memberikan kebebasan pada Joe sebagai aktor sekaligus kameraman karena fakta bahwa ia juga adalah sutradara) tahu benar bagaimana membangun tensi. Kamera goyang disini bukan untuk menyembunyikan efek buruk atau asal realistis, melainkan menyembunyikan apa yang akan terjadi. Saat tengah berlari, yang terlihat mungkin hanya rerumputan atau lagit biru, tapi disekeliling saya bisa merasakan bahaya yang bisa hadir kapan saja. Hasilnya adalah perasaan tegang dan was-was yang menyenangkan. The Sacrament berhasil menghadirkan rasa tidak nyaman yang begitu kuat, sehingga saya bisa memaafkan klimaks yang kurang mengena dan begitu banyaknya plot hole (alasan Father mau menerima wartawan pun jadi dipertanyakan setelah keputusan yang ia ambil di akhir film, vice versa). The Sacrament jelas salah satu yang terbaik dari Ti West, sebuah horror "elegan" yang membuktikan bahwa tidak perlu hantu, jump scare maupun tempo cepat untuk memberikan rasa takut.


1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Tapi alesannya apa? Father melakukan itu? Untuk apa para penduduk itu di bunuh dan dia sendiri bunuh diri, sisa org yg memegang senjata itu siapa dan akan kemna setelah semuanya mati
Motif nya apa? Saya masih bingung