PENDEKAR TONGKAT EMAS (2014)
Suatu hari seorang teman berkeluh kesah pada saya. Menurutnya perfilman Indonesia tidak punya satu ciri khas yang kuat. Dia kemudian memberi contoh jika kita menyebut Prancis maka yang terbayang adalah drama realis sederhana yang mengalir pelan tapi menyentuh sisi humanis dengan begitu kuat. Di ranah Asia Tenggara, jika kata Thailand disebut maka terbayang sajian horror bertemakan hantu yang menyeramkan atau komedi romantis yang manis. Tapi menurutnya jika menyebut Indonesia, tidak ada satu tipikal film yang terbayang karena selama ini yang menjadi tren adalah hasil pola pikir latah industri dimana jika ada satu jenis film yang laris maka berbondong-bondong bakal hadir film serupa. Saya setuju dengan statement tentang industri yang latah, tapi saya kurang setuju jika dikatakan film Indonesia harus punya satu atau dua tipikal genre yang khas. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan ke-Bhinneka-annya, bagi saya jika menyebut nama Indonesia, maka yang harusnya muncul dalam benak penonton adalah keberagaman jenis film. Karena itu salah satu masalah bukannya tidak memiliki jati diri tapi lebih kepada variasi genre. Salah satu yang kurang adalah film aksi bagus khususnya yang mengangkat tema silat.
Di era sekarang mungkin hanya Merantau yang benar-benar melakukan itu, dan dua film The Raid yang koreografinya memakai gerakan silat. Maka adalah sebuah kabar menggembirakan saat Miles Films memproduksi Pendekar Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior) dengan Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku & Sang Penari) sebagai sutradara. Disamping itu, jajaran ensemble cast-nya juga begitu menggoda, seolah mengumpulkan aktor-aktor terbaik negeri ini dalam satu film. Seperti judulnya, film ini berkisah tentang sosok pendekar bersenjatakan tongkat emas yang konon dapat memberikan kekuatan tak tertandingi. Saat ini tongkat itu menjadi milik Cempaka (Christine Hakim) yang mempunyai empat orang murid, Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia), Gerhana (Tara Basro) dan Angin (Aria Kusumah). Cempaka yang telah sakit-sakitan akhirnya memutuskan memberikan tongkat itu pada Dara, sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Biru sang murid terkuat. Biru dan Gerhana pun merencanakan pengkhianatan dan berhasil merebut tongkat tersebut. Disisi lain Dara bertemu dengan pemuda misterius bernama Elang (Nicholas Saputra) yang nampaknya juga punya keterkaitan dengan ilmu tongkat emas.
Apa yang dilakukan oleh Ifa Isfansyah disini bukan sekedar membuat kembali film bertemakan silat, tapi juga mengembangkannya dan memberikan variasi khususnya untuk masalah gaya. Jika Gareth Evans mengambil silat lalu mengemasnya dengan gaya Hollywood plus film Yakuza Jepang, maka Pendekar Tongkat Emas kental sekali unsur film-film Kung-Fu dari China. Ifa mengambil banyak aspek dari film Kung-Fu yang sempat ngetren di era 70-an sampai 80-an untuk kemudian dia "terjemahkan" dan terapkan secara sempurna kedalam film silat Indonesia. Aspek-aspek seperti perguruan, tema pengkhianatan melawan kesetiaan, murid yang awalnya lemah lalu berkembang menjadi jauh lebih kuat setelah kematian sang guru, jurus pamungkas, sampai tata artistiknya begitu kental nuansa film Kung-Fu China. Tentu saja ini menyenangkan sekaligus menyegarkan, karena di samping menghadirkan hal baru, tidak perlu ada kekhawatiran tema itu tidak sesuai dengan silat dari Indoneia, karena segala aspek dan pesan yang diambil tersebut amatlah universal. Sedangkan untuk penuturan cerita, Ifa Isfansyah memilih menjalankan alurnya dengan cukup perlahan. Pelan tapi pasti.
Bagi beberapa penonton yang berharap suguhan film silat yang berjalan cepat mungkin bakal kecewa. Film ini memang punya kandungan drama yang kental, dan narasi yang berjalan lambat tapi tanpa pernah tertatih. Dengarkan narasi pembuka yang dibacakan Christine Hakim diawal film. Kurang lebih seperti itulah Pendekar Tongkat Emas bakal berjalan. Di tengah alur yang berjalan lambat, production value yang tinggi dan sinematografi indah garapan Gunnar Nimpuno (Killers & Modus Anomali) memberikan saya sebuah kepuasan visual. Hamparan pemandangan indah Sumba Timur ditangkap dengan sempurna disini, menciptakan sebuah keindahan di tengah pertarungan mematikan antara para pendekar. Sedangkan tata artistiknya yang memuaskan bisa dilihat dari kostum sampai pengemasan set-nya. Film ini memang indah, tapi di ada satu hal yang cukup mengganggu. Menyenangkan melihat bulan purnama, matahari yang bersianr terik, hamparan padang rumput, dan siluet yang tercipta dikala senja, tapi saat semua itu terlalu sering dieksploitasi yang hadir justru kekosongan. Disaat Ifa Isfansyah mengemas tiap transisi adegannya dengan gambar-gambar alam itu, yang terjadi adalah perasaan berlebihan yang membuat keindahannya tidak lagi istimewa.
Adegan pertarungan silatnya digarap dengan baik. Semuanya tergarap dengan halus dan kalau boleh dibilang realistis. Mungkin tidak sampai terasa luar biasa dimana intensitas tidak begitu memacu adrenaline, tapi jelas yang hadir adalah pertarungan dengan koreografi yang digarap dengan bagus. Meskipun saya sedikit kecewa saat jurus pamungkas tongkat emas yang terasa antiklimaks saat muncul di akhir, secara keseluruhan saya terhibur dengan adegan aksinya. Mungkin pada akhirnya Pendekar Tongkat Emas masih belum menjadi film yang luar biasa. Disaat akting para pemainnya bagus (menyenangkan melihat Nicholas Saputra sebagai karakter pria misterius cenderung sinis khasnya dan Reza Rahadian sebagai antagonis) karakternya masih terasa dua dimensi tanpa pengembangan yang berarti, padahal film ini terasa mencoba berfokus pada drama dan karakter dibandingkan aksi belaka. Sayang sekali pada akhirnya baik aksi maupun dramanya tidak ada yang berhasil tampil maksimal. Pendekar Tongkat Emas mungkin tidak berhasil memenuhi ekspektasi saya, dimana harapan awal adalah menonton calon film terbaik Indonesia tahun ini. Tapi setidaknya masih ada perasaan terhibur dan senang terhadap munculnya film dengan genre "berbeda" seperti ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar