EVERLY (2014)
Akui saja, alasan utama kamu menonton film ini hanya untuk melihat si seksi Salma Hayek menjadi action heroine. Tentu saja kegilaan dan gore yang selalu jadi andalan sutradara Joe Lynch merupakan daya tarik, tapi tetap saja kehadiran sang aktris adalah pemikat utama. Salma Hayek berperan sebagai Everly, seorang wanita yang sudah empat tahun dipaksa menjadi pelacur oleh bos kriminal bernama Taiko (Hiroyuki Watanabe). Selama itulah Everly dikurung dalam sebuah apartemen mewah untuk bekerja bagi Taiko. Kesempatan untuk kabur datang saat seorang dekektif menawarkan bantuan dimana Everly juga harus membantunya untuk menghancurkan organisasi kriminal Taiko. Tapi rencana itu terbongkar, dan kini Everly terkurung di apartemennya. Berhasil membunuh beberapa anak buah Taiko, Everly kini menjadi incaran banyak pihak, mulai dari sesama pelacur yang menginginkan uangnya, anak buah Taiko, sampai para polisi korup. Ini adalah film one woman army dimana Everly akan membantai musuh-musuhnya sendirian.
Memang benar ada sedikit rasa Kill Bill disini melihat seorang jagoan perempuan membantai musuh-musuhnya sendiri. Belum lagi ditambah adanya sisipan cerita balas dendam yang melatar belakangi tindakan Everly. Tapi hanya itu. Jangan harapkan cerita solid layaknya film Tarantino tersebut. Everly adalah b-movie yang mengorbankan semua logika serta kepintaran para pembuatnya guna menyajikan hiburan gila tanpa henti. Tentu saja untuk bisa terhibur penonton juga harus turut berpartisipasi mengesampingkan kepintaran serta logika. Jangan tanya bagaimana Everly yang empat tahun dikurung di apartemen dan kegiatan sehari-harinya hanya berhubungan seks (dan bukan pembunuh terlatih macam Beatrix) bisa sebegitu hebatnya menggunakan berbagai macam senjata. Tidak hanya mendadak jago, ia juga bisa mengalahkan puluhan pembunuh terlatih, bahkan tim kepolisian...sendiri. Film ini sudah berusaha membuat penonton memaklumi itu dengan cara memberikan berbagai kebetulan yang membantu Everly bertahan hidup.
Tapi meski terasa bodoh, saya amat bisa memaafkan semua itu. Kenapa? Karena Joe Lynch sendiri sadar bahwa filmnya ini bodoh. Filmnya tidak berusaha sok serius apalagi sok pintar. Ada dua jeinis film bodoh. Pertama adalah film bodoh yang mencoba sok pintar dan berharap penonton tidak menyadari kebodohan itu, sedangkan yang kedua adalah film bodoh yang sadar bahwa dirinya bodoh dan secara sengaja melipat gandakan kadarnya. Everly jelas masuk kategori kedua. Yang coba diperlihatkan hanya kegilaan dari adegan aksi brutal yang tidak pernah berhenti, sama seperti para pembunuh yang silih berganti menyerang Everly. Tentu saja jangan berharap selipan drama yang muncul bisa efektif. Meski membawa kisah ibu dan anak, hal itu hanya tempelan belaka untuk memberikan sedikit motivasi pada karakternya, supaya film ini bisa berjalan. Semua itu hanya jalan supaya Joe Lynch bisa membuat tontonan eksploitasi penuh darah yang menyenangkan. Ya, selain sadar diri film ini juga menyenangkan, dan itulah yang membuat saya bisa menikmatinya.
Sebuah sajian eksploitasi, begitulah Everly. Eksploitasi action, eksploitasi kekerasan, eksploitasi sensualitas. Tingkat gore masih belum sampai pada level paling ekstrim, tapi sudah cukup untuk memberikan kesenangan bagi penikmat aspek tersebut. Banyak darah, banyak adegan yang cukup disturbing. Eksploitasi adegan aksi pun hadir dengan cara menyebar ledakan dimana-mana, desingan peluru yang nyaris tidak berhenti, sampai kematian seketika dalam jumlah banyak. Tapi yang paling tersirat adalah eksploitasi sensualitas. Mengganti Kate Hudson dengan Salma Hayek adalah keputusan tepat. Hayek adalah aktris yang bisa menghadirkan kesan seksi hanya dengan berdiri diam. Apakah anda merasa saran dari Dead Man (Akie Kotabe) supaya Everly memakai baju yang lebih "practical" tanpa maksud? Dengan situasi yang dialami Everly, ini adalah eksploitasi terhadap karakter wanita. Mengeksploitasi sisi badass-nya sampai penderitaannya yang pada akhirnya berujung pada satu maksud, yakni menyajikan keseksian (dan itu berhasil).
Everly juga berhasil membedakan diri dengan film-film aksi-eksploitasi lainnya dengan beberapa hal. Pertama adalah kehadiran beberapa karakter minor yang meski tidak terlalu kuat tapi cukup unik. Sebagai contoh adalah Sadist (Togo Igawa) dan anak buahnya. Mulai dari Masochist (Masashi Fujimoto) yang gila, sampai empat pengawal dengan kostum dan topeng khas Jepang. Karakter-karakter ini hanya bagian kecil dari film tapi momen kehadiran mereka memberikan kesegaran. Karakter menarik lainnya adalah Dead Man, anak buah Taiko yang pada akhirnya justru membantu Everly karena didorong simpati dan kebencian terhadap sang bos. Yang membuatnya menarik adalah karena karakter tanpa nama ini sama sekali tidak bergerak sepanjang kehadirannya. Dia hanya duduk dalam kondisi sekarat. Tapi kehadirannya sanggup dimanfaatkan untuk menciptakan interaksi menarik dengan Everly, sehingga saat adegan aksi tengah berhenti, filmnya tidak membosankan. Terbukti setelah karakter ini "hilang", tensi film menurun saat sesekali masuk fase "cooling down".
Film ini juga cukup sukses mempertahankan intensitas berkat penggunaan single location. Hanya ber-setting dalam sebuah apartemen berhasil mendukung pergerakan action yang tanpa henti. Aspek ini mencegah cerita filmnya untuk tidak melebar terlalu jauh. Fokus tetap terjaga untuk menyajikan aksi, tanpa perlu cerita berskala luas yang berbelit-belit. Keputusan tepat mengingat kualitas naskahnya yang tidak spesial. Dengan lokasi tunggal dan one-woman-army, daripada Kill Bill film ini justru lebih dekat dengan Die Hard. Everly sebagai wanita biasa yang harus menggila karena terjebak situasi pun lebih mengingatkan saya pada John McClane daripada Beatrix Kiddo-nya Uma Thurman. Everly adalah sajian brainless yang bombastis, brutal dan paling penting sadar diri. Ditambah pesona Salma Hayek, semua hal itu berhasil membuat film ini jadi tontonan menyenangkan asal anda bersedia "mematikan" otak beberapa saat selama menonton.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar