THE TAKING OF TIGER MOUNTAIN (2014)

Tidak ada komentar
Pada suatu pertempuran diceritakan 30 anggota People's Liberation Army (PLA) yang dikomandani Captain 203 (Lin Gengxin) mampu mengalahkan 300 pasukan bandit milik Lord Hawk (Tony Leung Ka-fai). Terdengar familiar? Memang tidak butuh waktu lama guna merasakan kemiripan antara The Taking of Tiger Mountain dengan 300-nya Zack Snyder. Bahkan Tsui Hark sang sutradara legendaris itu tampak begitu berusaha keras "mengkopi" gaya Snyder, apalagi kalau bukan penggunaan slow motion akut. Ceritanya yang merupakan adaptasi novel Tracks in the Snowy Forest karya Qu Bo ber-setting pada tahun 1946 saat terjadinya perang saudara di Cina setelah kepergiaan Jepang yang kalah perang. Banyak kelompok bandit menciptakan kerusuhan dan menjarah banyak kampung dengan kelompok pimpinan Lord Hawk sebagai yang paling kuat. PLA sendiri berusaha melindungi warga meski terkendala oleh kurangnya amunisi dan makanan.

Pada saat itu datanglah dua orang sebagai bala bantuan dari markas besar PLA beserta berbagai bahan makanan. Little Dove (Tong Liya) seorang wanita ahli medis dengan cepat diterima oleh para prajurit. Namun tidak begitu dengan Yang (Zhang Hanyu) yang misterius. Bahkan Captain 203 tidak bisa begitu saja mempercayai Yang. Tsui Hark sendiri tampak berusaha menggiring penonton untuk ikut mencurigai sang prajurit baru. Beberapa kali kita melihat respon warga sipil yang nampak histeris begitu menatap wajahnya. Kecurigaan berhasil dibangun dan sesungguhnya hal tersebut berhasil menjadikan sosok Yang semakin misterius dan menarik, apalagi saat ia tiba-tiba menunjukkan kehebatannya menginterogasi tahanan. Tapi rupanya hal itu tidak lebih dari sekedar cara murahan untuk menipu penonton. Nantinya Yang bakal mengambil alih peran sebagai protagonis utama, dan Tsui Hark berusaha menciptakan kesan bahwa pria yang dicurigai ini justru pada akhirnya menjadi seorang pahlawan. Namun banyak cara lain yang lebih cerdas daripada membangun kecurigaan penonton dengan memaksakan sebuah tipuan tak berdasar.
Cara bertutur Tsui Hark dalam film ini memang lemah, dan sejujurnya tidak banyak yang bisa dikomentari berkaitan dengan perjalanan alur. The Taking of Tiger Mountain melucuti segala aspek historis dalam ceritanya guna memberi jalan untuk gelaran adegan aksi megah. Naskahnya tidak memberikan jalan untuk eksplorasi karakter maupun sisi lain dalam kisahnya. Padahal setting yang dipakai punya potensi eksplorasi cerita begitu kaya. Kita mengenal beberapa karakternya tapi tidak sampai terikat dengan mereka. Hal itu berujung pada begitu datarnya perasaan saat film ini coba menghadirkan adegan emosional. Bahkan saya tidak mendapati adanya kegunaan dari kehadiran karakter Shao Jianbo yang berada pada setting masa kini selain untuk tetap setia pada novelnya yang menggunakan sudut pandang Jianbo sebagai orang ketiga untuk bertutur. Jianbo datang dan pergi tanpa memberikan efek lebih pada alurnya. Hanya sosok Yang saja yang berhasil mencuri perhatian lewat kecerdikannya bermain strategi. Karakter badass yang menonjol di tengah sosok lain yang tidak lebih dari sekedar bidak tanpa daya tarik.

Tapi toh seperti kompatriotnya, John Woo, satu hal yang diharapkan saat menonton film Tsui Hark adalah pengemasan adegan aksi memukau berkat kombinasi antara koreografi serta sinematografi memukau. Tokoh keren macam Yang pun bisa bersinar karena pengemasan stylish dari Tsui Hark. Mayoritas adegan peperangannya terjadi pada lokasi pegunungan penuh salju. Sebuah arena yang begitu sempurna bagi sang sutradara untuk unjuk gigi menghadirkan aksi megah penuh gaya. Lokasinya mengingatkan saya pada salah satu momen epic pada Inception, dan jujur saja film ini berpotensi bisa sebagus itu dalam pengemasan aksinya. Tapi apa yang terjadi adalah sebaliknya. Tsui Hark menyia-nyiakan semua potensi itu, bahkan bakatnya sendiri. Terlalu banyak slow-motion digunakan dan sayangnya tidak dieksekusi secara spesial. Rangkaian slo-mo tentu sangat bisa berujung pada adegan keren, tapi Tsui Hark tidak memberikan sentuhan spesial pada hal itu. Hanya sekedar memperlambat laju peluru dan gerak tokohnya demi dramatisasi. 
Beberapa memang terasa menghibur, tapi tidak sampai memorable. Tsui Hark lupa, bahwa dia harus menyuntikkan adrenaline dan sisi perjuangan dalam kisahnya. Zack Snyder bisa menjadikan 300 sebagai tontonan luar biasa menghibur karena karakternya walaupun kosong tapi merupakan simbol sempurna dari perjuangan mati-matian bermodalkan semangat machoisme tinggi. Sedangkan para PLA dalam film ini tidak lebih dari sekumpulan tentara bermodalkan senjata dan alat peledak yang maju ke medan perang seolah tanpa semangat tempur tinggi. Penonton pun meski terhibu tidak akan "digetarkan" oleh aksi mereka tersebut. Justru bagian pertempuran paling menghibur adalah saat PLA berusaha mengakali keterbatasan mereka untuk bisa mengalahkan musuh dalam jumlah besar. Sayangnya hal itu tidak banyak dieksploitasi karena Tsui Hark lebih tertarik hadir bombastis dengan segala gerak lambat tanpa greget. 

Film ini bisa saja lebih buruk jika bukan karena karakter Yang. Momen saat filmnya berfokus pada usahanya menyusup ke benteng Lord Hawk terasa begitu menghibur. Penuh intensitas tinggi saat karakternya berulang kali ditempatkan pada kondisi tersudut namun selalu berhasil keluar lewat berbagai macam strategi yang cerdik. Saat itu filmnya bergerak dari sajian aksi generic menjadi kental unsur espionage thriller. Berkat itu dan klimaks yang cukup menghibur meski lagi-lagi tidak spesial saya sempat akan memberikan nilai yang positif bagi film ini. Ya, hampir saja saya melakukan itu sebelum Tsui Hark merusaknya dengan tidak hanya satu tapi dua buah epilog bodoh. Epilog pertama berbentuk sebuah momen cheesy konyol yang berusaha emosional. Sedangkan yang kedua adalah kegagalan Tsui Hark menahan diri untuk tidak menciptakan penutup aksi bombastis sekaligus kebingungannya memilih klimaks terbaik dalam film ini.

Verdict: Salah satu sutradara dengan pengemasan adegan aksi paling stylish baru saja merusak reputasinya. Sebuah potensi epic war movie berujung pada tontonan aksi standar yang gagal memaksimalkan potensi besarnya dalam berbagai aspek.

Tidak ada komentar :

Comment Page: