REVIEW - JANUR IRENG: SEWU DINO THE PREQUEL
Kalau Sewu Dino (2023) ibarat macan muda dengan taring belum seberapa runcing yang diasuh dalam kandang, maka di Janur Ireng selaku prekuelnya, taring itu mulai menajam. Sudah pula ia dikeluarkan dari kurungan. Tapi karena terlanjur dikondisikan sebagai peliharaan, naluri memangsanya belum tumbuh. Si predator masih terlampau jinak.
Meneruskan adaptasi layar lebar bagi cerita Trah Pitu Lakon milik SimpleMan, kini kita diajak menelusuri lebih lanjut dinamika ketujuh keluarga yang saling berkonflik, termasuk awal mula keterlibatan Sabdo (Marthino Lio), si pengirim santet sewu dino dalam film pertama. Marthino Lio memberi jaminan, bahwa setidaknya, ada pelakon di film ini yang melafalkan logat Jawa secara fasih.
Pasca kehilangan seluruh harta benda akibat kebakaran, Sabdo bersama adiknya, Intan (Nyimas Ratu Rafa), pindah ke rumah megah milik sang pakde, Arjo Kuncoro (Tora Sudiro). Bulik mereka, Lasmini (Masayu Anastasia), turut tinggal di sana. Sekilas nampak kejanggalan dari hubungan Arjo dan Lasmini. Tapi toh bagi Sabdo, tak ada yang lebih aneh dari ritual penyembelihan kambing yang berkali-kali mesti ia lakukan atas perintah pakdenya.
Beberapa pentolan Trah Pitu lain juga Sabdo temui: Karsa Atmojo (Karina Suwandi), Pastika Gayatri (Faradina Mufti), Anggodo Prayogo (Epy Kusnandar), dan Lingga Codro (Aqi Singgih). Mereka diam-diam saling membenci, tak ragu melakukan hal-hal bejat, sebutlah mengirim santet bahkan terlibat inses, demi melanggengkan kekuasaan.
Naskah yang ditulis sang sutradara, Kimo Stamboel, bersama Khalid Kashogi, tahu betul cara mengolah konflik keluarga disfungsional ala sinetron dengan bumbu mistis Jawa, untuk menghadirkan 94 menit yang menyenangkan. Serba hiperbolis, penuh intrik pelik, tidak jarang konyol, tapi adiktif. Ya, begitulah cara kerja opera sabun menghipnotis atensi penontonnya.
Sebelum menu utama dihidangkan, sajian pembuka berupa beberapa jumpscare lebih dulu disuguhkan. Skenario terornya cenderung generik, sebutlah penampakan di kamar saat tokoh-tokohnya berusaha terlelap, atau keanehan-keanehan yang mereka saksikan kala mengikuti dorongan impulsif guna mengecek suara ganjil di tengah kesunyian malam seorang diri.
Menu utama itu baru datang sewaktu Intan kerasukan, lalu menyulut kekacauan di kediaman Keluarga Kuncoro. Kimo meledakkan amunisinya di sini, menciptakan sekuen brutal yang diisi beberapa kematian mengenaskan. Kimo begitu ahli mengolah intensitas, bahkan interpretasi Nyimas Ratu Rafa terhadap fenomena kerasukan yang masih berkutat pada teriakan-teriakan serak monoton tidak sampai mengurangi efektivitas momen tersebut.
Sayang, kemunculan intensitas serupa bisa dihitung dengan jari. Kimo dan tim bak belum seutuhnya lepas dari tuntutan horor arus utama untuk bermain aman. Pertumpahan darah baru terjadi lagi memasuki babak ketiganya, yang biarpun tetap menghibur, meninggalkan kesan buru-buru sekaligus kekurangan "gigitan mematikan" sebagai fase puncak dari segala terornya. Oh, dan mengapa sineas ibukota sangat terobsesi pada tarian Jawa? Tidakkah mereka sadar, bahwa alih-alih mencekam, justru kesan konyol yang acap kali terasa?

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar