REVIEW - SUKA DUKA TAWA

Tidak ada komentar

I think the saddest people always try their hardest to make people happy, because they know what it’s like to feel absolutely worthless and they don’t want anyone else to feel like that." Ucapan mendiang Robin Williams itu merangkum dinamika rasa Suka Duka Tawa, debut penyutradaraan solo Aco Tenriyagelli yang sarat sensitivitas, di mana kebanyakan tokohnya hidup untuk memproduksi tawa orang lain biarpun hati mereka dihantui luka. 

Tawa (Rachel Amanda) sedang merintis karir sebagai komika. Belum ada terobosan berarti dari panggung-panggung kecil di kafe yang ia jelajahi, sehingga Tawa terpaksa melakukan berbagai pekerjaan ala kadarnya demi menyambung hidupnya dan sang ibu, Cantik (Marissa Anita). 

Mungkin Tawa kurang jago memancing tawa, namun tidak dengan duo penulis naskahnya, Indriani Agustina dan Aco. Mereka senantiasa punya cara menyelipkan ragam humor dalam interaksi antar karakter, entah berupa ucapan konyol atau celotehan bernada sarkas. Pun berkat kejelian Aco mengatur comic timing di ranah penyutradaraan, reaksi kecil yang karakternya munculkan bisa menghasilkan kelucuan besar. 

Di sinilah jajaran karakter pendukungnya turut berjasa. Ada beberapa sahabat yang setia mendukung langkah Tawa: Adin (Enzy Storia), Iyas (Bintang Emon), Nasi (Arif Brata), dan Fachri (Gilang Bhaskara). Semua tampil hebat, terutama Enzy, yang sebagaimana di serial Drama Ratu Drama (2022), dimanfaatkan betul talenta komediknya oleh Aco. 

Sesekali diiringi tata musik unik yang memodifikasi gelak tawa jadi suara kaya ironi, Suka Duka Tawa pun bergerak begitu lentur, berjingkat di antara komedi dan drama tanpa ada kesan memaksa. Elemen dramanya merangsek kala terungkap bahwa Tawa merupakan putri dari Keset (Teuku Rifnu Wikana), anggota kuartet tersohor pengisi acara dagelan slapstick televisi bernama Opera Tawa Show. 

Fakta itu Tawa sembunyikan akibat sakit hati ketika sang ayah meninggalkan ia dan ibunya semasa kecil. Tiba-tiba tercetus ide menjadikan ketiadaan ayahnya selaku materi komedi, yang di luar dugaan menghasilkan kesuksesan.

Seketika aksi panggung Tawa viral, Cantik merasa ada hal janggal, dan Keset kembali pulang guna menebus masa lalunya sebagai ayah yang gagal. Seiring bergulirnya durasi yang tanpa terasa menembus dua jam (127 menit), semakin kentara pula kalau Aco adalah observer yang jeli, baik ketika filmnya sedang melucu ataupun tampil serius. 

Di ranah komedi, hasil observasi Aco terhadap realita ditampakkan oleh barisan kejenakaan pengisi latar adegan yang acap kali muncul secara mengejutkan, kemudian memancing reaksi "Benar banget tuh!" dari penonton. Misal persoalan nasi bungkus yang jatuh sesaat setelah dibeli. Di tatanan dramatik, proses observasinya jadi pondasi dinamika anak dan orang tua selaku jualan utama filmnya. 

Suka Duka Tawa pun mampu tampil dengan perspektif berimbang. Tawa, Keset, dan Cantik sama-sama memendam luka sekaligus melakukan dosa. Terciptalah siklus saling menyakiti di antara mereka. Tawa terus melontarkan olok-olok mengenai ayahnya, sedangkan Keset tetap menerima dengan senyum sembari berharap sang putri bersedia kembali ke pelukannya. 

Tanpa mengecilkan performa hebat Rachel Amanda sebagai protagonis tak sempurna yang tetap mudah penonton cintai meski tidak selalu simpatik, juga Marissa Anita yang piawai menyiratkan mencekiknya sakit hati yang dipendam, Teuku Rifnu merupakan detak jantung kisahnya. Tidak ada sebutan selain "luar biasa" yang lebih pas menggambarkan penampilan sarat kompleksitas sang aktor. 

Kadang senyum di bibir berkelindan dengan luapan kesedihan dari matanya, ada kalanya kediaman Keset memperdengarkan emosi yang jauh lebih lantang dibanding keriuhan dunia di sekelilingnya. Adegan yang memberi redefinisi bagi lagu Bunga Maaf milik The Lantis (satu dari beberapa contoh kecerdikan Aco memilih lagu untuk film ini) niscaya bakal menghancurkan tembok pertahanan di hati banyak penonton. Begitu pula kala Teuku Rifnu dan Marissa Anita bertandem di meja makan, menggelar pameran akting kelas satu dengan meleburkan ungkapan suka dan duka secara bersamaan. 

Biasanya saya cenderung membenci tipikal konklusi yang diambil film ini, lalu memberinya cap "terlampau main aman". Tapi tidak untuk sekarang. Pasalnya, Suka Duka Tawa memastikan bahwa jajaran karakternya memang layak mendapatkan resolusi demikian terkait permasalahan mereka. Di situ kita menyaksikan akhir yang juga menjadi awal. Sebuah perpisahan selepas pertemuan. Sederhananya, segala sisi dari kehidupan. 

(JAFF 2025)

Tidak ada komentar :

Comment Page: