TRUE DETECTIVE - SEASON 2 (2015)
Musim pertama True Detective merupakan salah satu sajian terbaik yang pernah hadir di televisi. Gabungan naskah Nic Pizzolatto, penyutradaraan Cary Fukunaga, serta kehadiran akting kuat dalam wujud Matthew McConaughey dan Woody Harrelson, True Detective menyuguhkan serial drama kriminal yang belum pernah kita jumpai sebelumnya, memantapkan masa kini sebagai "The Golden Age of Television Drama". Musim keduanya punya beban berat untuk mengulangi kesuksesan tersebut. Nic Pizzolatto masih menulis naskahnya, tapi Fukunaga tidak lagi menjadi sutradara. Justin Lin mengarahkan dua episode pertama, sedangkan enam sisanya disutradarai oleh nama-nama berbeda layaknya serial kebanyakan. Deretan A-list actors pun kembali hadir, mulai dari Colin Farrell, Vince Vaughn, Rachel McAdams, sampai Taylor Kitsch.
Sedikit pengenalan terhadap tiap karakter utama: Keempatnya punya satu kesamaan, yakni tengah berada dalam fase kelam kehidupan. Detektif Ray Velcoro (Colin Farrell) tengah berusaha mendapatkan hak asuh atas puteranya yang mungkin merupakan hasil pemerkosaan terhadap sang istri beberapa tahun lalu. Kejadian tersebut tidak hanya menghancurkan rumah tangga Ray, tapi juga merubahnya menjadi polisi korup. Beberapa pekerjaan seperti membungkam wartawan ia terima dari pebisnis kotor bernama Frank (Vince Vaughn). Frank pun berada dalam kesulitan saat partner bisnisnya menghilang dan membuat sebuah perjanjian dengan sekelompok mafia terancam batal. Lalu ada Detektif Bezzerides (Rachel McAdams) yang baru saja mendapati fakta adiknya bekerja sebagai webcam girl. Kehidupan pribadi Bezzerides diisi dengan pernikahan yang gagal serta kecanduan alkohol dan judi. Terakhir adalah polisi lalu lintas sekaligus veteran perang bernama Paul (Taylor Kitsch) dengan rahasia masa lalu yang hingga kini masih memunculkan tendensi bunuh diri. Paul juga memiliki masalah seksual dan harus mengkonsumsi viagra untuk berhubungan seks.
Apakah season kedua ini berhasil melakukan "kemustahilan" dengan menyamai atau bahkan melebihi musim pertamanya? Berikut ini ulasan tiap episode (akan rutin di-update setiap episode baru tayang)
1 - The Western Book of the Dead
The Western Book of the Dead adalah awal yang lambat. Durasi satu jam digunakan untuk memperkenalkan satu per satu karakter. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar oleh Pizzolatto karena memasukkan karakter dalam jumlah banyak. Terasa sedikit melelahkan, apalagi saat konflik utama hanya dipaparkan sekelumit, tapi sebagai gantinya, keempat karakternya mendapat eksplorasi memadahi. Penonton mampu dibuat memahami kesamaan yang terjalin diantara mereka, meski terasa repetitif akibat jumlah yang banyak. Keempat aktor utama menunjukkan sisi depresif dan aura gloomy yang cukup kuat, tapi jelas bukan pertunjukkan bravura layaknya McConaughey pada season pertama. Sanggup menjadi eksplorasi sisi gelap manusia yang bersumber dari masa lalu dan konflik personal, tapi "rasa unik" True Detective belum saya temukan. Tone masih kelam, tapi hanya berupa spektrum gelap yang sudah sering kita temui dalam tontonan drama-kriminal lainnya. Barulah pada ending saat atmosfer creepy kembali menyeruak, semua karakter saling terkait, jati diri serial ini mulai menyergap. (3.5/5)
Dengan episode ini, musim kedua akhirnya berhasil memantapkan jati diri. Korupsi dan keserakahan makin kuat mengambil alih sentral cerita. Kematian Casere masih menyimpan misteri dengan unsur politis kental dari pihak-pihak penguasa yang ingin meraup keuntungan sebanyak mungkin. Penyelidikan pun ikut terkena imbasnya, dimana baik Ray, Bezzerides hingga Paul mengemban "amanah" rahasia untuk menyelidiki intensi satu sama lain. Eksplorasi karakter masih dilakukan, tapi secara beriringan dengan investigasi kasus utamanya. Ray masih jadi fokus utama, tapi kita juga mulai menemukan sisi tersembunyi dari tiga tokoh utama lain. Opening berisi monolog Frank tentang masa lalunya yang diiringi kesunyian pagi hari berhasil mencengkeram. Pemilihan "ketamakan" sebagai tema, membuat musim kedua ini berbeda dari pendahulunya, tapi disaat bersamaan Pizzolatto nampak terlalu memaksakan kehadiran perbedaan tersebut. Eksplorasi tema itu pun belum sekuat pendalaman karakternya. Masih mengawang, belum sepenuhnya terjun kedalam hingga pondasi dramanya kurang kokoh. Cliffhanger pada ending pun tidak terasa mencekat karena selama hampir satu jam penonton diberikan drama yang tanggung. (3/5)
3 - MAYBE TOMORROW
Dibuka dengan sebuah dream sequence yang atmosfernya mengingatkan pada Blue Velvet, Maybe Tomorrow adalah suatu peningkatan dari episode sebelumnya, meski bukan lompatan signifikan. Ray yang selamat dari serangan makin mendapat tekanan dari Walikota setelah Paul dan Bezzerides mendatangi rumah dan menginterogasi keluarganya. Paul dan Frank mendapat porsi lebih besar, sekaligus menambahkan satu lagi tema untuk musim kedua ini selain korupsi, yakni seksualitas. Pada Night Finds You sudah ada tease untuk Bezzerides, tapi Maybe Tomorrow menggali jauh lebih dalam mengenai Paul dan Frank. Masa lalu Paul, juga konflik antara Frank dengan sang istri sama-sama bersumber dari konflik seksual. Pendalaman bagi keduanya adalah pilihan tepat, khususnya bagi Paul yang selama ini merupakan karakter paling kurang menarik. Eksplorasi karakter itu memberikan intensitas yang mampu menjalankan cerita meski penelusuran kasusnya masih belum mencapai tingkat yang memuaskan dan memiliki ending tanpa momen mengikat untuk membuat saya ingin segera bergerak menuju episode berikutnya. (3.5/5)
4 - DOWN WILL COME
Tepat separuh perjalanannya, musim kedua True Detective cukup meyakinkan saya akan ketidakmampuan menandingi pendahulunya. Memang sampai sini saja Pizzolatto bisa mengangkat kualitas serial ini. Pola yang digunakan selalu sama, dimana seolah tiap episode dibagi menjadi dua: Eksplorasi karakter acak diselingi investigasi kasus dan sebuah klimaks intens yang berujung cliffhanger. Seolah dia bingung harus bagaimana menggali cerita dan karakternya serta hanya berpikir menciptakan ending memikat dalam setiap episode. Down Will Come jadi bukti sempurna saat dua pertiga durasi berjalan datar sebelum masuk dalam klimaks menegangkan diisi baku tembak antar polisi dengan kelompok geng pimpinan mucikari bernama Ledo Amarilla. Observasi karakter intens memberi keuntungan dimana klimaks terasa menegangkan karena saya peduli pada ketiga karakter utamanya. Klimaks terbaik pada musim kedua sejauh ini. Hal itu sedikit menyelamatkan episode ini dari sekedar eksplorasi misteri kurang matang di tengah aspek konspirasi politik rumit sekaligus menarik. (3.5/5)
5 - OTHER LIVES
Saya setuju pada anggapan bahwa episode ini terasa seperti reboot bagi karakterisasi keempat tokoh utama. Aftermath dari pembantaian di Down Will Come jadi pemicu. Tapi apakah ini pemilihan langkah yang buruk? Tidak bagi saya. Segala transformasi yang terjadi masuk akal. Ray beralih profesi sebagai private security untuk Frank yang kembali ke bisnis "kotor" lamanya. Bezzerides dipindah ke bagian penyimpanan bukti menyusul tuntutan pelecehan seksual, sedangkan Paul dipromosikan sebagai detektif. Mereka mengalami perubahan nasib bahkan sikap, tapi sama sekali tidak mengkhianati struktur karakter dasar. Keempatnya masih sosok sama yang kita kenal sedari awal. Beberapa perubahan pada seseorang pasca kejadian traumatis adalah hal wajar. Other Lives tidak menawarkan cliffhanger atau klimaks mendebarkan, tapi sebagai gantinya, misteri dan konspirasi rumit kasusnya mulai jadi fokus utama, membuat episode ini bergerak jauh lebih dinamis dan intens. Sebuah awal baru, sebuah gerak maju. Apapun itu, akhirnya saya menemukan episode yang benar-benar "penting" dalam musim kedua True Detective meski kerumitan mendadak dan beberapa dialog cheesy terkadang menjadi distraksi. (4/5)
6 - CHURCH IN RUINS
Setelah episode yang membangkitkan lagi harapan saya, Church in Ruins kembali pada standar (in a negative way) musim kedua: inkonsistensi fokus cerita, misteri dengan penelusuran lambat yang seolah tidak pernah bergerak maju, juga minim pembeda dari drama prosedural polisi lain. Episode ini lagi-lagi menampilkan semua itu dan hanya bergantung pada klimaks memikat. Satu-satunya progres besar (sebelum klimaks) hanya pertemuan Ray dengan pemerkosa istrinya. Frank menjadi sosok paling menarik kali ini berkat momen-momen dramatik hangat yang mengeksploitasi kualitas akting Vince Vaughn. Klimaks mengenai misi penyamaran Bezzerides mengembalikan sedikit rasa musim pertamanya lewat pengemasan adegan nightmare-ish. Intens, cukup mengerikan sambil disaat bersamaan memberi seklias tease mengenai masa lalu sang detektif. Tentu saja totalitas Rachel McAdams membuat saya percaya bahwa pengalaman itu layaknya mimpi buruk. Aura seksual kental yang mengisi "mimpi buruk" itu memberi atmosfer memikat, tapi lagi-lagi setelah 45 menit yang datar. (3.5/5)
7 - BLACK MAPS AND MOTEL ROOMS
Build-up episode, begitulah episode ini. Sebuah rentetan ketegangan demi membangun letupan yang (diharapkan) hadir pada finale-nya. Keempat karakter utamanya berada pada kondisi terancam, begitu pula orang-orang terdekat mereka yang satu per satu mulai "diungsikan". Hal itu efektif untuk membangun ketegangan dari kesan bahwa karakternya bakal menghadapi bahaya besar. Tapi Black Maps and Motel Rooms juga menjadi bukti kuat kelemahan naskah Nic Pizzolatto dalam musim kedua ini. Dia seolah hanya memiliki awal dan akhir yang kuat, tapi tidak dengan pengembangannya. Hubungan antara Ray dan Bezzerides yang mulai menunjukkan "titik terang" jadi kurang menggigit karena sepanjang musim interaksi keduanya tidak tergali dengan baik. Namun yang paling fatal adalah kematian salah seorang karakter utama yang harusnya bisa menciptakan impact kuat tapi berujung flat karena saya tidak merasa mengenal jauh sosoknya. Tapi overall adalah episode yang intens dan pembangun kuat sebelum finale. (4/5)
8 - OMEGA STATION
Segala kerumitan misteri yang dibangun oleh Pizzolatto menjadi bumerang pada finale ini. Harapan untuk mendapat jawaban memuaskan akhirnya pupus. Omega Station justru lebih banyak menawarkan konklusi bagi karakter daripada misterinya sendiri. Menjadi masalah karena sepanjang mayoritas musim ini berjalan, kita lebih banyak diajak terjun pada misteri membingungkan daripada eksplorasi karakter. Saya sejatinya menyukai ending dengan nuansa tragis seperti yang ditawarkan musim ini, tapi menjadi percuma saat sisi tragis itu terasa kosong dan tidak esensial. Pizzolatto seolah menyuguhkan tragedi hanya untuk menjawab kritikan bahwa True Detective Season 2 tidak sekelam musim pertamanya. Nasib dari Ray, Frank dan Bezzerides pun sudah "tercium" jauh sebelum episode ini menemui konklusinya. Saya sempat nyaris menyukai konklusinya yang menggambarkan tagline musim kedua: we get the world we deserve. Tapi saat di adegan akhir Bezzerides dan Jordan tampak bersiap melakukan "serangan" mereka, segala tragedi miris yang sebelumnya hadir jadi percuma. Kebingungan Nic Pizzolatto untuk membuat ending nampak begitu nyata. (2.5/5)
VERDICT: Lebih kearah pretensius daripada jenius. Hal itu bisa dilihat dari hal besar seperti misteri utama yang terlalu complicated dan dialog yang daripada cerdas lebih cenderung berlebihan (baca: konyol) hingga hal kecil seperti penamaan karakternya. Terlalu banyak karakter juga berujung pada fokus yang tidak pernah berimbang. Disaat Ray dan Bezzerides sempat mencuri fokus, karakter seperti Paul jadi terbuang percuma. Sesungguhnya bukanlah serial yang buruk, namun menengok pada kejayaan musim pertamanya, musim kedua True Detective adalah penurunan kualitas yang cukup jauh.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Posting Komentar