REVIEW - THE PARADISE OF THORNS
Rasanya semua manusia mendambakan surga. Bukan cuma surga selepas kematian sebagaimana disebut oleh ajaran agama, pula di dunia. Tapi tidak seperti firdaus di akhirat yang menjanjikan kebahagiaan tanpa ujung, "surga dunia" cenderung berhiaskan ketidaksempurnaan. Selalu ada duri yang siap melukai kita dengan berbagai cara.
The Paradise of Thorns, selaku rilisan terbaru GDH, menampilkan orang-orang yang merindukan surga, setelah lelah menjalani hidup minim anugerah. Salah satunya Thongkam (Jeff Satur), yang bermimpi meraup sukses dari kebun durian yang ia bangun bersama kekasihnya, Sek (Pongsakorn Mettarikanon). Thongkam begitu mencintai Sek, hingga bersedia memberi hak atas rumah beserta seluruh kebun kepadanya.
Film ini dibuat sebelum Thailand melegalkan pernikahan sesama jenis (berlaku mulai Januari 2025), sehingga Thongkam dan Sek belum bisa menikah secara resmi. Filmnya tidak serta merta mengkritik perspektif homofobik, melainkan secara cerdik memberi contoh nyata mengenai bahaya yang berpotensi terjadi, bila masyarakat maupun sistem hukum masih enggan mengubah pola pikir mereka.
Sek mengalami kecelakaan yang memerlukan operasi secepat mungkin. Masalahnya, karena secara hukum Thongkam bukan merupakan suami sah, ia tidak berhak memberi persetujuan. Ibu Sek, Saeng (Srida Puapimol), yang rumahnya berjarak empat jam dari rumah sakit dan tak memiliki kendaraan, gagal tiba tepat waktu. Sek pun meninggal.
Seperti kebanyakan film Thailand, The Paradise of Thorns dibuat dengan kepekaan terkait koneksi spiritual antara manusia dengan alam. Kesan itu benar-benar terpancar di awal durasi. Tatkala karakternya merawat kebun durian dengan penuh cinta, semesta membalas kasih sayang itu dengan nyanyian-nyanyian alam. Dedaunan yang tertiup angin, cicak yang menyiratkan kehadiran mereka, hingga derit kayu yang menyusun pondasi rumah. Muncul kedamaian berkat keseimbangan.
Keseimbangan itu mulai rusak sewaktu manusia mulai memandang alam semata sebagai sumber uang. Terungkap kalau Saeng, bersama perempuan bernama Mo (Engfa Waraha) yang telah merawatnya selama 20 tahun bak anak kandung, berniat mengambil alih rumah dan kebun Thongkam, dengan memanfaatkan fakta bahwa Sek merupakan pemilih sah dari properti tersebut.
Atmosfer mendamaikan yang dibangun oleh sang sutradara, Naruebet Kuno, pun seketika musnah, digantikan konflik rebutan warisan yang efektif membuat penonton naik darah. Setiap pihak merasa mereka sudah cukup lama menderita, sehingga berhak menikmati gelimang harta yang dijanjikan kebun durian. Kondisi makin pelik ketika Mo turut membawa adiknya, Jingna (Harit Buayoi) guna mengurus kebun durian.
Sejatinya alur The Paradise of Thorns cukup sejalan dengan kisah-kisah super dramatis ala sinetron Indonesia. Konflik tentang perebutan harta, jajaran karakter yang seiring waktu semakin tidak ragu melakukan tindakan ekstrim demi mengamankan finansial masing-masing, sampai sederet twist yang telah menanti di ujung jalan. Tidak ketinggalan hadirnya poin penceritaan yang cenderung memaksa mengubah sikap karakternya secara tiba-tiba, semata demi efek dramatis.
Harus diakui pendekatan di atas mendatangkan hiburan seru, tapi di sisi lain, The Paradise of Thorns juga merupakan "sinetron berkualitas". Dia bukan cuma mengandalkan dramatisasi berlebihan demi memancing emosi penonton, tapi mengimbanginya dengan eksplorasi mendalam terhadap isu kompleks miliknya.
Awalnya kita bakal dengan ringan mengeluarkan sumpah serapah untuk mengutuk perbuatan beberapa karakter, sebelum pelan-pelan dibawa memahami (tanpa harus membenarkan) pilihan hidup mereka. Sekali lagi, The Paradise of Thorns adalah kisah tentang orang-orang dengan penderitaan.
Baik Thongkam, Saeng, atau Mo meyakini kebun durian peninggalan Sek sebagai surga. Mereka adalah rakyat jelata yang mengharapkan surga, berjuang mengentaskan diri dari jurang kemiskinan, kemudian tanpa sadar saling menusukkan duri ke jiwa satu sama lain, sementara para pemegang kuasa hidup nyaman sembari mencuri dari mereka. Masalahnya, seperti yang konklusinya sampaikan, materi bukanlah segalanya. Di tengah kesendirian, materi hanya mendatangkan kehampaan alih-alih kebahagiaan.
Tapi keunikan terbesar film ini terletak pada keberanian memadukan genre yang saling berseberangan. Nampak seperti drama keluarga menyentuh khas GDH dari luar, keunikan berangsur-angsur terasa ketika beberapa iringan musik mencekam mulai beberapa kali terdengar. Menariknya, pilihan tersebut (termasuk saat klimaksnya secara total bertransformasi menjadi thriller berdarah) tak menciptakan kejanggalan yang mengganggu. Karena pada dasarnya, hal-hal yang karakternya alami memang ibarat cerita dalam film thriller.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar