REVIEW - BOLEHKAH SEKALI SAJA KUMENANGIS

1 komentar

Manusia bukan ilmu pasti yang menjamin bahwa "1+1 = 2". Terinspirasi dari lirik lagu Runtuh yang dibawakan Feby Putri bersama Fiersa Besari, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis jadi film yang memahami kompleksitas tersebut. Ketika batasan benar-salah memudar dan jalan keluar akan masalah tak pernah jelas, sehingga ada kalanya, yang seseorang bisa (dan perlu) lakukan "hanya" menangis. 

Tari (Prilly Latuconsina) merupakan anggota support group yang ada di bawah koordinasi Nina (Widi Mulia). Mereka rutin berkumpul untuk menuangkan dan mendengarkan luka hati masing-masing. Ada Agoy (Kristo Immanuel) yang menyesal tak menggubris permintaan mendiang ayahnya, hingga Ica (Ummi Quary) yang selalu dituntut tampil ceria oleh lingkaran pertemanannya hanya karena ia berprofesi sebagai komika. 

Setumpuk kisah tersebut mungkin tak mendapat eksplorasi (dan memang tidak perlu), tapi eksistensinya diharapkan membuat penonton yang memiliki problematika serupa merasa terwakili, lalu meyakini bahwa mereka bukan anomali. 

Bagaimana dengan Tari? Dia tinggal bersama kedua orang tuanya, di mana ibu Tari, Devi (Dominique Sanda), kerap jadi korban tindak kekerasan sang suami, Pras (Surya Saputra). Surya Saputra menghidupkan figur antagonis yang mudah kita kutuk perbuatannya. Cara Surya memberatkan tarikan napas tiap amarahnya meledak sampai membuat bicaranya terbata-bata, menyiratkan adanya gangguan emosi dalam diri Pras.

Sudah berkali-kali Tari mengajak pergi dari rumah, namun ibunya tetap yakin bahwa rumah tangganya baik-baik saja, dan Pras bakal segera berubah. Dari situlah naskah buatan Junisya Aurelita, Santy Diliana, Rezy Junio, dan Alim Sudio mulai menggali kompleksitas manusia. Apakah penolakan Devi untuk pergi membuatnya bertanggung jawab atas luka-luka yang Tari alami? Apakah keengganannya meninggalkan Pras adalah bentuk kebodohan? Apakah Devi patut disalahkan? 

Deretan pertanyaan di atas (menjadi) bukan pertanyaan tertutup yang dapat dijawab dengan "ya" atau "tidak". Perlu ada elaborasi lebih lanjut karena kita tengah membicarakan individu beserta segala kerumitannya. Tidak kalah rumit adalah situasi Baskara (Pradikta Wicaksono), karyawan baru di kantor Tari. Di masa mudanya, Baskara dikenal sebagai calon bintang basket potensial yang digadang-gadang bakal mengikuti jejak ayahnya, hingga sebuah kesalahan menghancurkan semuanya. 

Saya sempat membaca tulisan seseorang di X, yang mengaku sulit memahami permasalahan Baskara. Sebab tidak seperti Tari, keluarganya cenderung harmonis. Bolehkah Sekali Saja Kumenangis kembali memperlihatkan kompleksitasnya. Diajaknya penonton untuk memahami bahwa interpretasi tiap orang akan kata "masalah" bisa jadi berbeda-beda. Tatkala orang lain memusingkan sesuatu yang bagi kita sepele, bukan berarti kita berhak mengerdilkan kegundahannya. 

Berbekal naskah yang begitu piawai merangkai kata (bukan sekadar cantik atau quotable, tapi dapat secara tepat menjabarkan sudut pandang filmnya yang memanusiakan manusia), Bolehkah Sekali Saja Kumenangis menyatukan dua karakternya yang sama-sama terluka. Tentu romansa bakal tumbuh, tapi interaksi Tari dan Baskara menolak jatuh ke dalam kemesraan picisan. 

Didukung chemistry natural Prilly dan Dikta, fokus hubungan keduanya bukan sebatas pertukaran kata-kata manis. Bahkan tidak jarang mereka terkesan bak pasangan "anti-romansa" yang menampik segala ciri-ciri interaksi orang yang sedang jatuh cinta (sekali lagi penulisan kalimat naskahnya patut dipuji). Tari belajar mengeluarkan isi hati, Baskara belajar menahan diri. Proses keduanya saling melengkapi.

Di kursi penyutradaraan, Reka Wijaya konsisten membawa filmnya tampil elegan, tanpa upaya mengeksploitasi ledakan-ledakan emosi demi membanjiri wajah penonton dengan air mata. Sang sineas menangani luapan rasa di film ini dengan prinsip "secukupnya". Penceritaannya pun rapi, dengan pacing yang terasa nyaman dan memudahkan penonton tanpa sadar terhanyut dalam 100 menit durasinya. 

Ada kesan ending-nya memaksakan diri menumpuk terlampau banyak konklusi, tapi itu cuma kekurangan (sangat) minor yang sudah dibayar lunas oleh kehebatan momen pamungkasnya. Di situ, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis kembali mengajak kita memahami kompleksitas manusia beserta perasaannya, yang tak semestinya dipaksa melangkah dengan buru-buru. 

1 komentar :

Comment Page:
Rian mengatakan...

Kirain langsung keluar the shadow Strays...ditunggu reviewnya hehehe menurut ku 4/5