I AM HOPE (2016)

1 komentar
Seperti namanya, "disease porn" memang bak penyakit yang menggerogoti perfilman Indonesia. Bukan berarti semua tearjerker berisi dying character itu buruk, namun banyak sineas kita menyalahgunakan unsur tersebut sebagai jalan pintas membenamkan penonton dalam tangis. Tidak peduli cerita, karakterisasi maupun akting pemain seburuk apa, yang penting air mata bisa mengalir deras. Dilihat sekilas, wajar bila I Am Hope menimbulkan skeptisme di kalangan penonton yang menyimpan antipati terhadap disease porn -termasuk saya. Tapi walau masih dipenuhi usaha menyedot air mata, film garapan Adilla Dimitri ini punya tujuan berbeda. Sesuai judulnya, I Am Hope berniat memunculkan secercah harapan, mengajak supaya berjuang alih-alih menyerah tak berdaya.

Mia (Tatjana Saphira a.k.a "the prettiest Indonesian actress today") telah sejak kecil mengagumi sang ibu (Febby Febiola), seorang sutradara teater, dan kekaguman itu membuatnya bercita-cita menggelar pertunjukkan sendiri. Namun tatkala divonis menderita kanker yang juga menjadi penyebab meninggalnya sang ibu, harapan tersebut seolah sirna. Apalagi ayahnya (Tio Pakusadewo) masih memendam trauma dan melarang Mia berkecimpung di dunia teater. Tapi ia pantang menyerah. Dibantu oleh Maia (Alessandra Usman), seorang gadis penuh pemikiran positif yang hanya mampu dilihat olehnya dan small time stage actor bernama David (Fachri Albar), Mia kukuh berusaha merealisasikan mimpinya tersebut meski harus bergulat dengan rasa sakit hasil kemoterapi.
Opening sequence-nya menjanjikan, karena walau berisikan kematian tokoh ibu dan runtuhnya perekonomian keluarga, sutradara Adilla Dimitri tidak berusaha keras mengemasnya overly melancholic. Daripada sayatan orkestra, scoring diisi petikan gitar akustik khas musik folk yang meskipun sendu tetap beratmosfer positif, memposisikan film bukan sebagai penguras air mata belaka. Setelah itu perjalanan alur sedikit goyah akibat penggunaan flashback berlebihan, tapi kembali menemukan pijakannya sewaktu fokus berpindah pada interaksi karakter. Hubungan Mia dengan Ayah, David dan Maia merupakan kekuatan terbesar I Am Hope, bahkan di saat naskahnya tidak begitu spesial sekalipun. Semua berkat akting memikat jajaran cast utama.

Tatjana Saphira di sini tidak sekedar bersenjatakan paras cantik seperti penampilannya dalam Negeri Van Oranje. Berkat range emosi lebih luas, Mia tidak berakhir sebagai karakter dua dimensi. Fachri Albar bermodalkan pembawaan kikuknya menjauhkan David dari sosok pria tampan nan charming sebagai love interest protagonisnya. Tapi biar bagaimanapun, Tio Pakusadewo adalah penampil terkuat. Momen klise seperti kesedihan kala mendapati puterinya menderita kanker terasa begitu mengiris hati berkat luapan emosional sang aktor. Setiap gestur hingga mimik muka terkecil Tio Pakusadewo mampu mencengkeram hati saya. Tio membawa tokoh ayah menjadi simpatik, sehingga saat terjadi perselisihan dengan Mia, saya bisa memahami alasan yang ia bawa, menghindarkan karakternya dari kesan antagonis.
Sayangnya, satu aspek esensial justru gagal dicapai, yaitu memunculkan harapan. Untuk menanamkan rasa tersebut, penonton butuh dibuat terpikat, tergugah oleh perjuangan Mia. Tapi I Am Hope hanya sebatas memberi tahu bahwa di tengah penyakitnya, Mia bersikeras menyelesaikan pementasan, tanpa diajak terjun lebih jauh menelusuri prosesnya. Saya pernah berada di posisi seperti Mia: menyutradarai pementasan teater berskala cukup besar. Terdapat beragam permasalahan kompleks hingga gesekan penyulut pening kepala. Naskahnya sama sekali tidak mengeksplorasi aspek tersebut, meninggalkan penonton pada ketidaktahuan mengenai sekeras apa usaha Mia. Jika hanya bermodalkan penyakit, maka film ini melakukan simplifikasi yang serupa dengan disease porn lain. Bedanya, bukan air mata yang coba dimunculkan, melainkan harapan.

Saya tahu niatan mulia filmnya guna menyulut semangat bagi cancer survivor, tapi alangkah lebih menghargai mereka andai kisahnya tidak terlalu "fantasi". Gambaran perjuangan karakternya terlampau dangkal, seolah hanya bermodal semangat, maka voila! Impianmu tercapai. Kesan ini diperkuat ketika Adilla Dimitri kedodoran mengemas paruh akhir narasi. Penyajiannya terburu-buru, alhasil klimaks segala perjuangan Mia terasa emotionally flat. Kehidupan nyata tidaklah sesederhana itu. Semakin nampak dangkal dan "fantasi" pula filmnya akibat kehadiran Maia. Siapa dia? Apakah manifestasi kesedihan, kesendirian atau tekanan batin Mia? Tidak pernah dijelaskan, karena pada dasarnya tujuan diselipkannya Maia tak lebih dari representasi harapan juga pemikiran positif karakter Mia. 

Ironis mendapati film ini berpotensi lebih efektif jika dikemas layaknya tearjerker standar karena cukup kuatnya beberapa momen emosional berkat akting para pemain -khususnya Tio Pakusadewo- serta konflik yang lebih dewasa. Amat disayangkan I Am Hope gagal menyulut harapan seperti tujuan awalnya, namun penggarapan well-made khususnya bermodalkan sinematografi dipadu tata artistik menawan -walau shot berisi dreamcatcher atau poster film-film musikal terkesan repetitif, bak ingin "menyuapi" penonton akan makna simboliknya- ikut menjadi penyokong kekuatan sinematik, bukti bahwa filmnya tak sekedar menjual pesan moral. It could be worse


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

1 komentar :

Comment Page:
roro-kun mengatakan...

kesuksesan film drama di kita dilihat dari tangis penonton, dan saya "agak" bosan dengan film dengan tokoh utama yang sakit.