REVIEW - BLACK BOX DIARIES
Black Box Diaries mendokumentasikan investigasi sang sutradara, Shiori Itō, terhadap kasus pemerkosaan yang menimpanya. Kita melihatnya melangsungkan konferensi pers, di mana untuk kali pertama, Itō mengungkap peristiwa yang menimpanya ke publik. Mayoritas media menyudutkannya, sedangkan publik (banyak di antaranya perempuan) menuduhnya melakukan panjat sosial, bahkan menyebutnya "murahan" hanya gara-gara tak menutup semua kancing di kemeja yang ia kenakan.
Deretan reaksi di atas sudah cukup untuk menjustifikasi eksistensi dokumenter ini, selaku medium bersuara bagi para perempuan yang dibisukan oleh paham seksisme. Apalagi si pelaku, Noriyuki Yamaguchi, adalah jurnalis terpandang sekaligus penulis biografi bagi Shinzo Abe yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri, sebelum dibunuh pada tahun 2022.
Laporan pertama Itō ditolak polisi, dengan alasan minimnya bukti kecuali pernyataannya yang berbasis memori. Polisi baru bertindak pasca Itō menyerahkan rekaman CCTV hotel yang memperlihatkan Yamaguchi membawanya masuk secara paksa, namun pada akhirnya dakwaan tetap dibatalkan. Terdapat indikasi campur tangan petinggi pemerintahan. Jepang memang maju secara infrastruktur, namun caranya menangani kasus perkosaan ternyata masih terbelakang.
Memakai kamera smartphone, Itō, yang juga seorang jurnalis, merekam kesehariannya. Kita melihatnya menangis, hancur oleh ingatan traumatis yang bisa kapan saja tiba-tiba menerjang, bahkan sempat menimbang-nimbang untuk bunuh diri. Black Box Diaries tidak unggul dalam hal teknis, tidak pula mendobrak pola narasi dokumenter investigatif, namun "kementahan" yang tersaji merupakan sumber kehebatannya. Sebuah perjalanan intim mengarungi realita personal yang coba disangkal oleh suatu negeri.
Ada kalanya Black Box Diaries terasa sangat menghancurkan. Itō sempat mengajak kita mengintip fotonya semasa kecil sembari bertutur tentang kenangan bersama keluarganya. Sungguh menyakitkan melihat gadis cilik polos di foto tersebut kelak jadi korban kebiadaban laki-laki. Di sisi lain, momen menyentuh tak luput filmnya tangkap. Misal sewaktu beberapa perempuan tua berorasi melontarkan dukungan bagi Itō. Salah satu di antara mereka tidak benar-benar mengingat wajah Itō, namun ia paham betul kalau ada sesama perempuan yang memerlukan dukungan.
Pemerkosaannya terjadi bersamaan dengan mekarnya sakura. Sejak itu Itō tak lagi mampu menikmati cantiknya warna bunga tersebut. Black Box Diaries menunjukkan bagaimana pemerkosaan, atau kasus pelecehan seksual berbentuk apa pun, bisa berdampak menghapuskan keindahan dalam hidup korbannya.
Tapi Itō menolak selalu menampakkan penderitaan di sini. Dia tetap bercengkerama dengan teman-teman, tertawa bersama, pula bersemangat kala berhasil menentukan judul buku (Black Box) yang ia tulis berdasarkan pengalamannya. Black Box Diaries enggan mendefinisikan si protagonis hanya sebagai "korban pemerkosaan". Shiori Itō tetaplah individu dengan segala kompleksitas warna-warninya yang berhak merasakan kebahagiaan.
(Klik Film)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar