REVIEW - SISTER MIDNIGHT

Tidak ada komentar

Belakangan semakin banyak sinema India yang membicarakan isu pemberdayaan perempuan. Melalui karya terbarunya, bukan kebaruan seputar topik tersebut yang Karan Kandhari coba sentuh, melainkan soal bentuk pendekatan. Sister Midnight tampil seperti kehidupan itu sendiri. Kadang ia tidak beranjak ke mana-mana, tapi sejurus kemudian melaju begitu liar hingga mustahil untuk diperkirakan destinasinya. 

Perjodohan telah mengguncang hidup Uma (Radhika Apte). Bukan cuma karena ia mesti menikahi Gopal (Ashok Pathak), yang hanya ia kenal lewat pertemuan singkat kala keduanya masih berumur 8 tahun, juga seputar realita sebagai istri di lingkungan konservatif India. Baik dalam hal domestik maupun seksual, perempuan acap kali diperlakukan bak manusia kelas dua. 

Pada malam pertama pernikahan, Gopal bahkan terlalu canggung untuk berganti baju di hadapan istrinya. Uma pun terusir, lalu hanya bisa duduk di teras rumah, merokok, sembari memamerkan ekspresi terkejut yang akan berulang kali ia pasang di sepanjang film. Jangankan membagi isi hati, bibir keduanya bahkan tertutup rapat untuk sekadar saling bertukar kata-kata sederhana. 

Setiap kecanggungan terjadi, Gopal akan segera mengenakan seragam kerja lalu buru-buru berangkat ke kantornya. Tapi naskah buatan Karan Kandhari enggan mengambil jalur mudah dengan sebatas menumpahkan kesalahan pada Gopal. Dia pun korban dari adat kolot yang memaksanya menjalani hidup baru tanpa kesiapan memadai. Gopal bukan suami pendosa layaknya iblis dari neraka, namun ia bersalah akibat tidak berusaha mengusahakan surga bagi sang istri. 

Awalnya Sister Midnight terkesan stagnan, bahkan seperti tanpa plot, kala mengetengahkan rutinitas Uma di rumah. Apabila si tetangga, Sheetal (Chhaya Kadam), sedang tidak tersedia untuk diajak berkeluh kesah, Uma bisa menghabiskan seharian penuh duduk di depan rumah. Di sinilah pendekatan unik Karan Kandhari mengambil peran. 

Ditolaknya gaya bertutur konvensional, seolah memberi pernyataan bahwa ketajaman bercerita tidak bersinonim dengan keseriusan. Kita diajak menertawakan kondisi Uma, bukan karena penderitaannya lucu, tapi di realita pun, terkadang nasib tragis terus datang silih berganti, dengan cara luar biasa absurd pula, sehingga yang bisa kita lakukan hanya tertawa. 

Didukung tata kamera arahan Sverre Sørdal yang kerap memotret penderitaan Uma dalam simetri cantik sehingga memunculkan ironi, juga setumpuk situasi canggung arahan Karan Kandhari yang ada kalanya makin diperkuat oleh cara Napoleon Stratogiannakis menyunting narasinya, Sister Midnight pun tampil bagaikan karya-karya Wes Anderson, minus kemeriahan warna yang digantikan oleh ruang-ruang gelap di sekitar protagonisnya. 

Di antara kegelapan tersebut, Radhika Apte memancarkan sinarnya, menunjukkan bagaimana seni berlakon yang memanfaatkan seluruh aset dalam diri seorang aktor. Wajah penuh kekagetan dan kebingungannya, olah tubuh kikuknya, semua memudahkan penonton bersimpati sekaligus tertawa menyaksikan keabsurdan jalur hidup yang takdir pilihkan baginya. 

Kelak sebuah peristiwa misterius menimpa Uma, mengubah dirinya menjadi sesuatu yang identik dengan malam kelam, pula membawa film ini bertransformasi menjadi wujud yang mengingatkan ke A Girl Walks Home Alone at Night (2014) karya Ana Lily Amirpour. Kisahnya bergerak liar menjamah ragam area yang tak terbayangkan, sementara lagu-lagu rock dari The Stooges, T. Rex, hingga Motorhead, yang sekilas terdengar tidak pada tempatnya, berfungsi menginjeksi kesan sureal, sekaligus menegaskan posisi Uma yang juga "tidak pada tempatnya", sebagai perempuan yang berani menggugat di tengah lingkungan konservatif yang mengelilinginya. 

Sayang, seiring waktu Sister Midnight mulai dirugikan oleh keanehannya sendiri. Ketajaman pesannya tenggelam di balik surealisme, yang makin lama terkesan datang bukan untuk menguatkan penuturan, tapi sebagai penambah daya kejut semata. Keunikannya mulai menampakkan sisi pretensius, ketimbang teriakan kritis terhadap ketidakadilan yang disuarakan secara ambisius.

Tapi Sister Midnight tetap salah satu judul terbaik yang saya tonton tahun ini. Serupa Taxi Driver (1976) buatan Martin Scorsese yang ia beri penghormatan melalui desain posternya, film ini mengingatkan akan kegelapan sebuah kota, yang apabila dipertemukan dengan rasa sepi yang sedikit demi sedikit menelan habis jati diri seseorang, bakal pelan-pelan menyabotase kewarasan si manusia. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: