REVIEW - JAGAD'E RAMINTEN
Jika membicarakan kapasitas bercerita, dokumenter arahan Nia Dinata ini memang belum sampai taraf luar biasa. Meski demikian, ia berfungsi sebagai sesuatu yang lebih besar daripada sekadar "sinema berkualitas". Jagad'e Raminten memberi ruang aman bagi kaum marginal untuk berkisah secara bebas, sembari membanggakan identitas mereka sebagaimana adanya.
Sesosok perempuan queer berusia paruh baya dengan dandanan khas Jawa. Mustahil melewatkan figur Raminten yang eksentrik nan ikonik kala menginjakkan kaki di Yogyakarta walau cuma sejenak. Entah sudah berapa banyak pula kenangan manusia pernah terekam di The House of Raminten, rumah makan 24 jam yang mengabadikan namanya. Melalui film ini, giliran kita yang mendengarkan kenangan tentangnya.
Raminten sejatinya adalah nama karakter dari siaran ketoprak Pengkolan yang diperankan Hamzah Sulaeman, atau yang juga dikenal dengan nama Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo, selepas gelar tersebut dianugerahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X. Seorang seniman, pengusaha, hingga abdi dalem keraton. Apa lagi yang belum kita tahu mengenai individu hebat yang baru saja meninggal dunia pada 23 April lalu tersebut?
Sebagaimana judul filmnya, Nia Dinata mengajak penonton bertualang mengarungi semesta ciptaan Hamzah/Raminten. Sebuah semesta inklusif yang memanusiakan manusia, pula memanusiakan seniman. Salah satu narasumbernya adalah Ratri, anak angkat Hamzah yang paling muda. Tanpa ada keraguan ia sampaikan penerimaan sang ayah (dipanggil "Kanjeng" olehnya dan orang-orang terdekat lain) mengenai orientasi seksualnya sebagai lesbian.
Inklusivitas itu paling diwakili oleh Raminten Cabaret Show yang diadakan di lantai atas Hamzah Batik, Malioboro. Pertunjukan tersebut banyak melibatkan individu LGBTQ, yang setiap hari Jumat dan Sabtu diberi kesempatan menjadi bintang di atas panggung, biarpun dalam rutinitas sehari-hari, stigma negatif masyarakat terhadap mereka belum juga lenyap.
Nia Dinata menyusun narasi Jagad'e Raminten melalui wawancara dengan seluruh anggota kabaret. Semua diberi peluang bertutur. Di satu sisi, itu merupakan upaya bersikap adil yang patut dipuji, namun di sisi lain, prinsip "kuantitas di atas kualitas" membuat kisah para narasumber luput digali secara mendalam. Perkenalan kita dengan karakternya pun tak lebih dari sebatas nama (nama panggung mereka ditulis dengan teks besar sebagai penanda pergantian segmen) serta kulit luar, padahal masing-masing membawa cerita yang cukup kaya untuk dijadikan film tersendiri.
Pergerakan narasinya acap kali begitu kasar, terutama karena tiap segmen bergulir teramat singkat. Akibat keterbatasan waktu pula, jawaban dari pertanyaan "Bagaimana sosok Hamzah di mata kalian?" yang diajukan ke narasumbernya gagal berkembang lebih luas dari sebatas rangkaian puja-puji mengenai kedermawanan yang kerap mendiang lakukan.
Tapi cerita mengenai kemanusiaan seorang Hamzah Sulaeman beserta semangat inklusivitas miliknya memang tak pernah gagal memancarkan pelukan kehangatan. Terpenting, sebagaimana sosok legendaris yang ia angkat kehidupannya, Jagad'e Raminten, di luar kelemahannya bernarasi, mampu menjalankan peran selaku penyedia ruang aman bagi kaum marginal.
Lesbian, gay, transpuan, cross-dresser hetero beristri, perempuan berjilbab, para laki-laki cis, semua dibiarkan berkisah tanpa larangan. Karena begitulah semesta yang dicita-citakan Hamzah Sulaeman. Sebuah semesta tanpa stigma, tanpa prasangka, pula dipenuhi cinta antar sesama manusia yang diperlakukan sebagaimana mestinya manusia.
(Artjog 2025)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar