LILJA 4-EVER (2002)
Sungguh kejam film karya Lukas Moodysson ini. Ceritanya merupakan adaptasi lepas kisah hidup Danguole Rasalaite, seorang gadis yang pada usia 16 tahun menjadi korban human trafficking. Judulnya mengesankan optimisme, tapi tidak ceritanya. Lilja (Oksana Akinshina) tengah merasa begitu kecewa saat sang ibu meninggalkannya sendiri untuk pindah ke Amerika bersama pacar barunya. Padahal kemegahan Amerika telah lama ia impikan. Lilja pun harus hidup sendirian di apartemen kecil nan kumuh. Tanpa uang, tanpa pekerjaan, tanpa sekolah, tanpa keluarga. Satu-satunya teman adalah Volodya (Artyom Bogucharsky), anak laki-laki yang meski lebih muda tapi amat mencintai Lilja. Bersama, keduanya menghadapi himpitan hidup penuh penderitaan serta kemiskinan. Bahkan pada satu kesempatan Lilja terpaksa melacurkan diri (pekerjaan yang mendatangkan keuntungan besar baginya). Tapi rintangan hidup yang harus ia terima bukan hanya itu.
Apa yang membuat Lilja 4-Ever terasa jauh lebih kejam dan menyakitkan untuk ditonton? Kisah pilu korban human trafficking dan sex slavery tentu bukan kali pertama diangkat, tapi pengemasan Lukas Moodysson jadi pembeda. Dengan berbagai kesederhanaan teknis yang membuatnya terasa seperti versi lebih mahal dari Dogma 95 (film movement dari Denmark, sama seperti asal film ini) Moodysson mengemas filmya dengan begitu kasar dan penuh ketelanjangan realita. Memang tidak sampai pada tingkatan documentary-like, tapi film ini jelas mendokumentasikan aspek cerita serta suasana dengan begitu nyata. Kesampingkan fakta bahwa naskahnya berasal dari kisah nyata. Tanpa itupun filmnya amat believable. Menghadirkan kehidupan yang berkesan destruktif, eksploitasi yang dilakukan Moodysson tidak berlebihan. Ekstrim, tapi semua (sayangnya) itu bisa ditemui di sekitar kita. Beda dengan karya Lars Von Trier yang eksploitatif/depresif tapi kadang jauh dari keseharian.
Cerita kehidupan Lilja bagaikan tusukan-tusukan menyakitkan pada tubuh saya. Kita diperkenalkan pada Lilja, gadis yang sedikit naif dengan impian besar untuk mendapat kehidupan mapan. Meski tak berdaya ia menolak untuk melupakan impian itu. Pada suatu dialog, Volodya mengajak Lilja bermain "pura-pura mati", tapi ia menolak. Seolah meski itu pura-pura, Lilja tidak menginginkan kematian sebagai pelarian segala himpitan. Sayangnya sebesar apapun keinginan Lilja mencapai itu, ia tidak tahu harus berbuat apa. Permasalahan yang dihadirkan banyak pihak selalu menghalangi. Pelan tapi pasti kita diajak melihat bagaimana gadis muda ini makin dekat menuju jalan buntu. Filmnya pun jadi sulit dinikmati. Bukan karena buruk, tapi jelas bukan hal mudah apalagi menyenangkan untuk menyaksikan semua penderitaan tokoh utamanya. This is "one against the world."
Menyedihkan, bahkan disturbing. Tapi saya tidak melihat Lilja 4-Ever sebagai sajian tearjerker. Tidak ada usaha berlebih untuk membuat penonton bersimpati pada karakternya. Tidak ada pula dramatisasi melankolis yang ditebar pada tiap penjuru film. Jika ada penonton yang menangis atau terenyuh dengan ceritanya, itu semata-mata karena film ini adalah penampang miniatur sempurna bagi kehidupan, cerminan apa adanya akan penderitaan hidup pada tingkatan paling tinggi. Ditambah fakta bahwa karakter utamanya adalah remaja perempuan yang tampak rapuh, makin memilukan filmnya. Lilja 4-Ever adalah momen dimana suatu impian perlahan direnggut dari hati seseorang, dan itu menyakitkan.
Agak disayangkan, third act-nya yang berlokasi di Swedia agak terlalu panjang. Kita tahu apa yang akhirnya bakal terjadi pada Lilja, bahkan tanpa perlu tahu dari mana asal adaptasi naskahnya. Mungkin bakal hadir argumen bahwa film ini berorientasi pada proses, bukan hasil akhir. Tapi bagi saya, semua kejadian dari awal sampai pertengahan film lah proses tersebut. Proses dimana penderitaan Lilja makin bertumpuk dan impiannya semakin pupus Babak akhir merupakan sebuah konklusi yang tidak perlulah terlalu lama berputar. Impact berupa kesan tertohok yang (seharusnya) dihasilkan pun akhirnya tidaklah terlalu kuat.
Saya juga kurang suka dengan kehadiran dream sequence dengan aura positif. Mungkin ini bentuk Lukas Moodysson menghargai tokohnya, namun seolah menyiratkan keraguan untuk masuk secara total pada lubang kegelapan. Bagai ada belas kasihan dari Moodysson entah bagi penonton maupun karakterLilja itu sendiri. Apakah Bjork di Dancer in the Dark mendapatkan secercah kebahagiaan di akhir? Tentu tidak. Hanya tragedi memilukan yang justru semakin memperkuat kengerian realita yang diangkat. Tapi ini bagaikan minor glitch. Sedikit mengganggu tapi tidak merusak secara menyeluruh. Lilja 4-Ever masih drama kelam yang brutal, meyakitkan namun berpijak kuat pada realita.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar