GHOST DIARY (2016)
Sebelum menonton, saya masih punya harapan bagi Ghost Diary. Pernyataan itu bukan sindiran, bukan pula omong kosong normatif. Setidaknya kulit luar film ini tidak menebarkan aroma kebusukan. Judulnya tanpa embel-embel barisan kata absurd seperti "Perawan" atau "Ngompol". Tata artistik poster versi pertama yang menampilkan Dhea Annisa juga lumayan meski versi akhir yang dipajang di bioskop terkesan medioker (dan secara misterius mengubah nama sutradara Dedy Mercy menjadi Aris Martin). Saya datang berbekal secercah optimisme, berharap filmnya tidak memaksa saya menganugerahkan bintang "jahanam" lagi. Optimisme itu nyatanya langsung sirna tatkala di menit pertama Ghost Diary sudah menghantam penonton lewat penampakan berisik tak menyeramkan.
Karakter utamanya adalah Marsha (Dhea Annisa), seorang remaja puteri yang kesehariannya tinggal di asrama. Marsha adalah gadis pendiam sekaligus penyendiri, dan hal itu membuatnya kerap menjadi korban bullying sekelompok siswi lain. Teror dimulai saat Marsha sering mengalami mimpi buruk, lalu berpuncak sewaktu ia menemukan buku harian milik wanita misterius bernama Yulia. Semenjak itu Marsha beserta penghuni asrama lain mulai diganggu oleh teror-teror hantu yang ternyata berkaitan dengan tragedi beberapa tahun silam. Alurnya klise itu memang benar. Tapi klise tak selalu berarti buruk. Paparan formulaic bisa berujung bagus apabila penggarapannya tepat. Masalahnya, kesan klise milik Ghost Diary lebih menyiratkan kemalasan pikir daripada usaha memaksimalkan basic.
Jump scare beberapa menit sekali berhiaskan musik berisik perusak gendang telinga sampai penggunaan dream sequence berlebihan sebagai jalan keluar gampang demi mengeluarkan penampakan hantu sebanyak mungkin hanya segelintir contoh dari serangkaian keklisean selaku bentuk rendahnya kreatifitas film ini. Urusan menakut-nakuti pun, filmnya gagal total. Mengesampingkan penampakan yang mengedepankan kuantitas alih-alih kualitas, beberapa momen kala sosok hantu terbang melintas sesungguhnya cukup mengerikan, membangkitkan rasa takut mendasar kita kalau-kalau ada hantu diam-diam lewat di belakang. Mengerikan, andai tidak dibalut gebrakan musik annoying. Sisanya lebih ke arah menggelikan daripada menakutkan, apalagi pemakaian CGI buruk guna "mempercantik" wajah sang hantu.
Bukan saja gagal tampil menyeramkan, Ghost Diary kerap membuat saya pusing akibat banyaknya kejanggalan. Supaya lebih jelas, berikut contoh-contoh kejanggalannya:
1. Kenapa di asrama ada foto-foto hitam putih orang luar negeri? Apakah supaya terlihat creepy? Kenapa tidak sekalian memajang peti mati drakula?
2. Setelah salah satu karakter kesurupan bahkan nyaris membunuh dua temannya, kenapa beberapa menit kemudian mereka sudah kembali seperti sedia kala seolah tak ada hal aneh terjadi? Sudah begitu kebalkah mereka akan teror setan? Kasihan sekali usaha setan itu menakut-nakuti.
3. Kenapa karakter Kak Rossa (Rita Hasan) selalu membawa senter yang tak pernah ia nyalakan? Kalau sekedar untuk gaya-gayaan, saya rasa senter bukan termasuk stylish item.
4. Kenapa Marsha si introvert dan terkadang gloomy bisa mendadak akrab dengan Dio (Ajun Perwira) bahkan menuturkan aib keluarganya? Kekuatan cinta?
5. Apakah Dio hantu atau manusia? Kalau manusia bagaimana bisa ia tiba-tiba menghilang dari perpustakaan? Perlambang cinta bisa datang dan pergi begitu saja?
6. Bagaimana mungkin para orang tua malah mendukung saat anak perempuan mereka dilarang pulang selama libur panjang?
7. Asrama macam apa yang melarang penghuninya membawa handphone dan korek? Wajar jika pesantren, tapi asrama? Saya bisa memaklumi jika para remaja itu tertekan lalu bertambah nakal.
8. Ada hubungan apa buku diary bertuliskan "DIARY" di sampulnya dengan keseluruhan cerita?
9. Kenapa filmnya hobi memunculkan kaki hantu? Apa pembuatnya seorang foot fetish?
10. Pertanyaan terakhir ini saya dengar dari celetukan salah satu penonton: "Lha judule basa enggres, kok setane dudu setan amereka malah setan endonesa?"
Singkat cerita, setelah berbagai macam pertanyaan sekaligus kebodohan tersebut, saya masih menyimpan harap jika klimaksnya sedikit memberi hiburan. Namun kenyataannya justru terbalik. Adegan klimaks yang semestinya merupakan puncak kengerian sekaligus ketegangan berubah menjadi puncak kelucuan (unintentional) alias menggelikan. Selama ini saya sering membela, memperjuangkan suguhan klise. Tapi Ghost Diary membuat perjuangan itu semakin terasa berat.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Sabar bang XD
Duh kirain film horror Indonesia dah ada kemajuan
One more failure
Film secara general udah, sayangnya horror belum :(
Tenang, selama bulan ini masih ada 3 horror serupa :D
Get up stand up direview gak bang?
Sepertinya nggak, tapi Gila Jiwa mungkin besok
Ngapain review filem kaya gituan bro. Mending review yg berkualitas aja.
Biar asupan gizi seimbang :)
Kritik Mulu,GK jelas.. semua di kritik,emang bisa buat film bagus sampean
Bisa
Posting Komentar