REVIEW - WE LIVE IN TIME
Hubungan percintaan tak ubahnya sebuah cerita. Ada fase di mana dua sejoli bertemu lalu mengawali kisah mereka (first act), puncak dari segala naik-turun dinamika ketika pasangan berjuang mencapai tujuan (second act), dan penghujung jalan tatkala perjalanan mesti berakhir apa pun alasannya (third act). We Live in Time menampilkan itu, tapi tidak secara linear. Sehingga alih-alih mengikuti prosesnya setapak demi setapak, kita diajak melihat satu kanvas besar penuh yang memamerkan lukisan indah kaya warna.
Tobias (Andrew Garfield) bekerja di perusahaan sereal, sementara Almut (Florence Pugh) merupakan chef di restoran berbintang Michelin miliknya. Sangat berlawanan, namun bukan berarti keduanya sukar bersatu. Bahkan ketika perbedaan tujuan sempat menyeruak (tidak seperti Almut, Tobias ingin mempunyai anak) mereka tetap bersama. Naskah buatan Nick Payne mengingatkan pentingnya kompromi dalam "hubungan serius".
Kemajuan zaman turut membuat genre romansa berevolusi. Kini ia kerap dipakai sebagai medium untuk mengolah beragam isu, hingga yang paling sensitif sekalipun. Perkembangan tersebut bersifat positif, tapi tetap saja ada kerinduan akan kisah cinta sederhana, yang "hanya" menampilkan dua manusia green flag tengah memadu kasih. Tidak ada laki-laki misoginis, perselingkuhan, kekerasan, atau kebejatan yang disembunyikan.
Dua pemeran utamanya menghidupkan pasangan baik hati tersebut dengan baik. Andrew Garfield sebagai Tobias yang seringkali agak canggung, Florence Pugh sebagai Almut yang penuh percaya diri. Keduanya menjalin chemistry manis sembari melakoni tiap momen secara natural, sehingga turut berhasil meyakinkan penonton bahwa mereka benar-benar tengah jatuh cinta.
Sayangnya, sekuat apa pun cinta pasangan ini, mereka tetap tak kuasa mengalahkan kanker ovarium yang menjangkiti Almut. Dari situlah alurnya membentuk format non-linear yang terus melompat antara tiga masa: awal pertemuan dua karakternya, ketika mereka berupaya memiliki anak, dan latar sekarang setelah Almut didiagnosis mengidap kanker stadium 3.
Lompatan-lompatan waktu di atas bak usaha Tobias dan Almut untuk melawan waktu, dengan menjalani kembali pengalaman-pengalaman indah dari masa lalu yang muncul dalam bentuk kilas balik memori. Di sisi lain, karena tidak melihat perjalanan protagonisnya secara linear, seperti satu lukisan di atas kanvas, mudah bagi penonton untuk mendapatkan potret lengkap tentang hubungan mereka.
Ya, We Live in Time memang sebuah tearjerker dengan penyakit kronis sebagai salah satu amunisi utama guna menjatuhkan air mata. Tapi di bawah arahan John Crowley selaku sutradara, filmnya menghindari pendekatan yang tampil melankolis secara berlebihan serta murahan. Sederhananya, ia adalah "tearjerker yang elegan".
Daripada memaksa penonton menangis, pengadeganan Crowley dan penulisan Payne cenderung memperindah momen-momen emosionalnya. Simak saja adegan melahirkan yang tak hanya menggelitik, tapi juga terasa cantik karena menitikberatkan pada perjuangan manusia-manusia yang terlibat, juga konklusinya yang berlatar di sebuah gelanggang es. Ketimbang meratapi nasib buruk dan kehilangan yang karakternya alami, We Live in Time memilih untuk berfokus pada bagaimana mereka menjalani hidup secara lengkap sehingga tak meninggalkan penyesalan sekecil apa pun.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar