REVIEW - HIDUP INI TERLALU BANYAK KAMU
Hidup ini Terlalu Banyak Kamu, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Pidi Baiq, menyimpan potensi untuk menggali hubungan romantis kompleks yang dipisahkan oleh jarak usia. Sayangnya di tangan Pidi (turut menulis naskah bersama Titien Wattimena), film ini sebatas melahirkan "Dilan baru" yang lebih tidak cheesy, sedikit mendewasa, tapi tanpa tambahan kedalaman.
Nama protagonisnya adalah Sadali (Ajil Ditto), yang hendak merantau ke Yogyakarta dari kampung halamannya di Bukittinggi, demi mengejar cita-cita sebagai pelukis. Si seniman muda memenuhi rumahnya dengan corat-coret tulisan, dan saat mendapat pertanyaan "Ingin mencari tempat tinggal seperti apa?", Sadali menjawab, "Tempat yang ada pintunya". Eksentrik. Karakter yang "sangat Pidi".
Sebelum kepergiannya, Sadali bersedia terlebih dulu menjalani perjodohan dengan Arnaza (Hanggini). Walau semua diatur oleh orang tua masing-masing, mereka saling mencintai dan bersedia melakukan ta'aruf. Sadali yang diterima berkuliah di ISI berjanji bakal segera pulang setelah lulus untuk menikahi Arnaza.
Tapi janji itu segera menemukan ujian tatkala Sadali bertemu Mera (Adinia Wirasti), pemilik rumah yang ia sewa di Yogyakarta. Mera juga penyuka seni. Dia bahkan membuka galeri di dekat cafe miliknya. Sadali pun terpikat pada pandangan pertama, meski Mera berusia jauh lebih tua darinya, pula telah memiliki putri hasil pernikahannya dengan seorang WNA yang sedang melalui proses perceraian.
Apa yang membuat perempuan seperti Mera, yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, cukup mapan dalam karir, serta baru saja terluka oleh hubungan cinta akibat tipu daya sang suami, dapat terpikat oleh pemuda bau kencur seperti Sadali? Naskahnya tak sanggup memberi penjelasan secara meyakinkan. Mera bukan gadis SMA seperti Milea. Kata-kata gombal nyeleneh takkan semudah itu membuai hatinya.
Presentasi Hidup ini Terlalu Banyak Kamu sejatinya amat rapi. Bukan cuma kerapian perihal penanganan teknis, pula penuturan. Kuntz Agus selaku sutradara (salah satu sineas Indonesia paling underrated) memang punya kemampuan bercerita yang baik. Pendekatan naskahnya yang cenderung minim konflik besar justru mampu Kuntz manfaatkan. Menonton film ini terasa seperti sedang berjalan-jalan santai menikmati suasana sore yang nyaman di Yogyakarta.
Satu yang agak disayangkan adalah lagu-lagu yang dipakai sebagai pengiring "jalan-jalan" tersebut. Daripada memakai lagu 90-an sesuai latar ceritanya, atau karya-karya Pidi yang terbukti bisa menguatkan emosi dalam deretan adaptasi novelnya, Hidup ini Terlalu Banyak Kamu tampil bak jukebox bertema "Tiktok Greatest Hits Compilation". Judul-judul seperti Niscaya (Bilal Indrajaya), Dari Planet Lain (Sal Priadi), sampai Melukis Senja (Budi Doremi) memang enak didengar, namun ketimbang upaya menyokong adegan, keputusan itu seolah diambil hanya supaya penonton muda bisa berkaraoke di bioskop.
Kembali ke soal penceritaan, memasuki paruh akhir, naskahnya mulai kehilangan pijakan. Kejanggalan demi kejanggalan makin banyak bertebaran, dari subplot yang tiba-tiba muncul lalu menghilang terkait kecemburuan Budi (Faiz Vishal), karena kedekatan Sadali dengan adik sepupu Mera, Grace (Shania Gracia), hingga resolusi serba instan sekaligus buru-buru bagi konflik utama yang sejatinya amat rumit serta melibatkan banyak pihak.
Beruntung akting dua pemeran utamanya sering hadir sebagai penolong. Ajil yang sanggup membawakan kalimat-kalimat khas Pidi secara natural, dan tentunya Adinia yang di tiap filmnya senantiasa piawai menyuntikkan bobot emosi untuk mengatrol kualitas naskah selemah apa pun. Masalahnya, chemistry manis mereka pun tak mampu mengatasi lubang terbesar alurnya terkait cara menangani persoalan age-gap.
Pidi selalu mengisi interaksi dua karakternya dengan dialog puitis, namun begitu jarang kita mendengar mereka bertukar sudut pandang. Sadali akan melontarkan berbait-bait kalimat "sakti", lalu Mera menatapnya dengan penuh kekaguman. Pola interaksinya berkutat di situ. Padahal adanya barter perspektif bakal menampakkan jurang di antara dua manusia dengan jarak usia, sebelum kelak disatukan oleh cinta.
Hidup ini Terlalu Banyak Kamu terlampau menyederhanakan (bahkan cenderung meniadakan) dinamika psikis kompleks dalam hubungan karakternya. Sebuah film yang mendangkalkan permasalahan dan manusia-manusia di dalamnya.
1 komentar :
Comment Page:Film2 kayak gini sebenernya mengungkap fakta yg lumayan unik di perfilman kita.
Aktor muda lawan aktris yg umurnya jauh lebih tua (15 tahunan) = "wah pasti filmnya tentang cinta beda usia"
Tapi kalau sebaliknya, aktris muda lawan aktor yang jauh lebih tua (15 tahunan)... sudah sangat BIASA :D. Ga ada tuh yg nyangka ini film tentang cinta beda usia. Mereka berperan sebagai pasangan pada umumnya, yg seolah bedanya cuma 2-3 tahunan (atau bahkan seumuran.
Itulah bedanya aktor dan aktris. Perbedaan usia peran pada aktris jauh lebih ketara daripada aktor. Ga heran kalau Adipati beberapa tahun lalu diberi peran anak sekolah, atau Vino G Bastian masih bisa jadi kakaknya Angga Yunanda.
Posting Komentar