KONG: SKULL ISLAND (2017)
Ketika banyak creature movie termasuk "Godzilla" (2014) yang hendak dipertemukan dengan King Kong serta kaiju lain di tahun 2020 menyimpan penampakan monsternya hingga third act, "Kong: Skull Island" memilih pendekatan berbeda. Sang raksasa sudah diperlihatkan dalam berbagai materi promosi secara terang-terangan ketimbang di balik kegelapan. Begitu film dimulai pun, belum sampai lima menit Kong langsung beraksi. Tatkala pengemasan gritty realism mulai jadi primadona, sutradara Jordan Vogt-Roberts paham bahwa tak perlu mengusung realisme atau eksplorasi tokoh manusia, toh ini adalah tontonan tentang monyet raksasa. Penonton tak ingin realita pula drama. Kita ingin menyaksikan King Kong menggila.
Di tahun 1973 kala perang Vietnam mendekati akhir, William Randa (John Goodman) dari organisasi Monarch yang punya misi mengungkap keberadaan makhluk langka (baca: monster) menemukan suatu pulau bernama Skull Island yang disinyalir merupakan habitat bagi banyak spesies misterius. Randa pun menginisiasi ekspedisi dengan bantuan skuadron militer Amerika di Vietnam yang dipimpin Preston Packard (Samuel L. Jackson). Turut serta pula mantan anggota British Special Air Service, James Conrad (Tom Hiddleston) selaku tracker dan fotografer jurnalistik (anti) perang, Mason Weaver (Brie Larson). Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mendapat sambutan kurang bersahabat dari Kong, raja sekaligus dewa di pulau tersebut.
"Kong: Skull Island" adalah sebenar-benarnya kaiju movie, menitikberatkan pada pertarungan akbar antara raksasa. Tiada tetek bengek alur kompleks, sebab tujuan Jordan Vogt-Roberts sederhana saja, yakni menghidupkan sebuah pulau berisi sekumpulan hewan berukuran masif dengan Kong sebagai raja. Suatu tujuan yang sukses dilakukan. Mayoritas karakter manusia hanyalah mangsa untuk memfasilitasi para monster memamerkan keganasan masing-masing. Manusia sedemikian tak berdaya, bahkan di pertarungan puncak Kong melawan Skull Crawler sedikit bantuan dapat mereka berikan. Tapi ingat, ini merupakan suguhan soal Kong, bukan drama studi karakter. Ketika sang titular character diberi porsi beraksi memadai itu sudah cukup. Walau romansa antar-spesies yang menggelikan bagi penonton masa kini ditiadakan, ciri Kong yang lembut pada wanita cantik dipertahankan.
Aspek-aspek di atas membuktikan pemahaman Vogt-Roberts akan sosok Kong dan film monster secara umum. Sang sutradara tahu sudut kamera seperti apa yang dapat memunculkan kesan masif tiap kali monsternya menghiasi layar. Penonton pun dibuat merasa kerdil kala menyaksikannya. Imajinasi yang urung dibatasi beban realisme jadi poin utama keberhasilan filmnya menciptakan hiburan seru. Tidak perlu sibuk mempertanyakan logika, cukup nikmati aksi Kong menjadikan rantai dan baling-baling kapal senjata mematikan.
Sinematografi garapan Larry Fong turut memegang peranan penting termasuk keberaniannya menggunakan warna cerah. Malam hari di Skull Island dihiasi aurora, cahaya senja berwarna jingga begitu mencolok, bahkan selimutan gas beracun tak dibuat kelabu, melainkan hijau sambil sesekali darah biru (literally) milik makhluk setempat ditumpahkan. Ditambah gambaran panorama memikat mata, jadilah film ini bak penyegar di antara blockbuster sekarang yang makin gemar tampil gelap. Sedangkan musik buatan Henry Jackman senada dengan deretan soundtrack bernuansa rock 'n roll khas era 70an, mengukuhkan posisi "Kong: Skull Island" sebagai popcorn movie penuh gairah nan menyenangkan.
Kritikan terbesar mungkin akan disematkan pada naskah hasil tulisan Dan Gilroy, Max Borenstein, dan Sevak Anakhasyan yang lemah terkait jalinan alur pula karakterisasi. Praktis sewaktu monster hilang dari layar, tensi penceritaan menurun drastis, meski poin positifnya, tidak ada keruwetan kisah tak perlu mendistraksi gelaran aksi bombastis. Karakter-karakternya sendiri memang dangkal. Randa sekedar berguna membuka gerbang alur menuju Skull Island, Conrad urung memamerkan kemampuan tracking-nya, sedangkan Jing Tian sebagai San Lin si ahli biologi tak ubahnya pemanis sia-sia. Brie Larson sendiri juga adalah eye candy, namun untungnya bukan damsel in distress yang selalu lemah tidak berdaya.
Tapi ditinjau lebih dalam, sejatinya naskah film ini tidaklah sedangkal itu. Benar bahwa tokoh manusia tidak memegang peranan penting apalagi kuat, namun lebih dikarenakan mereka terlibat perang dengan diri sendiri ketimbang melawan monster. Mengambil setting Perang Vietnam, kegagalan calon eks-militer lepas dari pertumpahan darah jadi sorotan, khususnya melalui sosok Kolonel Packard. Motivasi Packard turut mencerminkan alasan keterlibatan Amerika Serikat di perang tersebut. Mengusung argumen hendak melindungi dan menghentikan pembantaian, mereka justru memancing kebrutalan sekaligus musuh baru.
Di samping tema, beberapa pengadeganan, atmosfer, hingga tata visual bakal mengingatkan pada film-film seputar Perang Vietnam macam "Apocalypse Now", "Platoon", dan sebagainya. Tapi paling penting, "Kong: Skull Island" telah membawa lagi kegembiraan menyaksikan kaiju movie ketika mengutamakan pameran penampakan monster yang saling adu kekuatan daripada menyia-nyiakan waktu menyuguhkan balutan drama (berisi) manusia tak perlu. Jangan beranjak dari kursi anda selepas film usai, karena penantian sekitar delapan menit akan dibayar lunas oleh post-credit scene seputar kelanjutan menarik dari MonsterVerse.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
36 komentar :
Comment Page:Nick Fury, Loki, Capt. Marvel vs Kong haha
setuju sih kalau ngasih bintang 4, ya walaupun bentuk kingkongnya keluar dari pakem yang sudah ada. tapi udah jelas enggak perlu membandingkan dengan versi peter jackson yg gelap dan megah itu. toh ini dirancang untuk dapat dipertemukan dengan kaiju asal negeri sakura...hehehe
Arghhhhhhh.... ada credit scene ya ternyata??kl ngga spoiler,boleh dicritain bang? Kong versi ini seru banget berantemnya hahaha
Film Kong ini seperti jawaban akan kritik pada Godzilla yg jarang nongol dan suasana gelap. Tapi menurutku justru malah kehilangan kemegahan sosok raksasa. Kalo Godzilla walau jarang nongol tapi sekalinya muncul rasa megah akan makhluk raksasa begitu sangat terasa. Apalagi di Godzilla kita dipertontonkan pada kerusakan, dan susah payahnya manusia dalam menghadapi makhluk yg jauh lebih besar. Kalau di Kong ini rasa raksasa yg megah tidak ada. Pun korban2 berjatuhan gak terasa. Cuma mati gitu aja. Dan tidak ada falsafah yg dituturkan, kalo di Godzilla, falsafahnya sangat terasa bahwa manusia itu bakan apa2 dibanding alam dan puncaknya saat Prof. Ken Watanabe berujar, "Let them fight."
Ternyata casting director-nya sama dengan MCU :)
Oh malah desain film Peter Jackson yang keluar dari pakem, karena dari awal Kong itu bipedal
(SPOILER)
intinya ada tease tentang kadal, kupu-kupu, pteranodon & naga kepala 3 :)
Rasanya pengen ngeliat duo brie dan tom di sequelnya Godzilla. Tp kayanya ga mungkin karena tokoh mereka udah jd tua bgt di 2019. Karena mereka berdua jauh lebih terasa mengikat daripada Elizabeth Olsen dan Aaron Taylor di Godzilla. Oh ya credit scene nya bikin merinding!!!
Wajar kok merasa begitu, preferensi. Walau aneh, labelnya film kaiju tapi kaiju-nya nongol cuma di sepertiga akhir haha
Nah itu. Kong & Godzilla selisih setting-nya 40 tahun lebih soalnya haha
Quicksilver, Scarlet Witch VS Godzilla
Harapanku sih kalo mereka dipertemukan (Godzilla vs King Kong) maka mereka yg jadi tokoh utama sedangkan manusianya yg jadi pemeran pendukung, semacam film Wall-E.
Btw, is it just me atau film-film blockbuster sekarang ini sering diarahkan oleh sutradara indie? (Example: Vogt-Roberts (Kings of Summer), James Gunn, Jon Watts, Ryan Coogler, Patty Jenkins.)
Bukan cuma sutradara indie, sekarang film2 box office selalu ada unsur China-nya, selalu dan selalu.
Nah betul tu. Chinese is everywhere.
hahahha..kok jadi chinese?wajar om, kan mau raup pasar Tiongkok..its all about bussiness...
Betul semua. Semakin banyak sutradara indie ditarik studio besar karena bayaran mereka yang masih tergolong murah tapi berbakat.
Wajar makin banyak aktor China, karena pangsa pasar China terbesar di dunia, bahkan untuk beberapa kasus lebih tinggi dari Hollywood.
Kalo mau raih pasar sih gak masalah. Yg jadi masalah ini mereka cuman sekedar tempelan aja. Keliatan banget cuma ngincar pasar.
Kita semua tahu yg namanya film itu kan bohongan, tapi film yg bagus itu yg bisa berbohong secara indah hingga yg nonton gak sadar sedang dibohongi.
Sama kayak fenomena Chinese ini. Di film Independence Day Insurgence, Kong, unsur Chinese-nya kelihatan banget cuma buat ngincar pasar aja.
Contohlah film Warcraft, yg gak keliatan Chinese-nya tapi sukses besar di pasar China.
Well, that's the problem. Sejauh ini yang cukup adil Donnie Yen di Rogue One. Langkah tepat, karena Star Wars kurang diminati di China.
Warcraft beda lagi, itu karena penggemar game-nya masif di sana. Mau sejelek apa dan tanpa aktor lokal sekalipun bakal ramai.
Tapi memang Kong ini kebangetan, padahal Jing Tian bening luar biasa. haha
kang rasyid, rekomen buat nonton 3D ga?
Jing Tian ini aktris langganan Legendary, kabarnya dia bakalan main di Pacific Rim. Tp ya Legendary duitnya juga dari org cina sana kok haha. Kita harus mengakui kalo cina menguasai dunia skrg, secara ekonomi mrk berkembang dgn pesat.
Kemarin saya kebetulan ntn di imax3d. Kl menurut saya pop up dan depthnya kurang berasa/kurang banyak. Hanya beberapa moment saja yg bagus di 3d,misal pas waktu helikopternya deket mulut kong,itu kerasa 3dnya. Tp sisanya ntn 2d udah ok.
Tp itu menurut ane ya,ga tau pendapat bang Rasyid dan lainnya hehehe
kong versi ini memang gede. Tapi kayanya kurang cukup gede untuk lawan godzilla.. Tapi keraguan ini bs terjawab lewat kalimat di film yang menyatakan bahwa kong ini masih bs bertumbuh. hehe... he still teenager.
kong versi ini memang gede. Tapi kayanya kurang cukup gede untuk lawan godzilla.. Tapi keraguan ini bs terjawab lewat kalimat di film yang menyatakan bahwa kong ini masih bs bertumbuh. hehe... he still teenager.
Betul banget. Jing di film Kong ini berasa banget "tempelan"-nya.
Setelah nonton film ini, ada rasa mengganjal.
Di film ini Kong diceritakan kalau dia adalah dewa di pulau ini. Tapi kok TIDAK ADA interaksi antara Kong dengan suku lokal.
Bandingkan dengan King Kong-nya Peter Jackson yg di situ berasa banget interaksi antara Kong dengan suku lokal.
Karena nggak nonton di 3D jadi kurang bisa kasih pendapat. Tapi kalau layar besar (IMAX, SphereX, Starium) layak coba. Sinematografinya mantap
Pantes emosioan. Masih remaja. Masih labil :D
Interaksi lewat kegiatan menyembah. Warga lokal nggak mau mengusik empunya rumah, Kong pun sama. Saling tahu, saling menghargai.
Interaksinya ya macam Tuhan dan manusia, nggak saling bicara secara langsung :)
Kabarnya sih doi pacaran sama salah satu eksekutif Legendary :)
Padahal aku sempat mengira pas Kong kena luka bakar parah, trus penduduk lokal membantu menyembuhkan luka bakarnya.
Berasa ga sih.suku lokalnya kali ini baek banget,sopan. Beda banget ma yg suku lokalnya versi peter jackson yg sadis wkwkwk. Tp ya emang filmnya beda sih
Penghematan durasi. Jackson kasih porsi lebih ke mereka, makanya durasi hampir 3 jam. Kalau Kong: Skull Island total fokus ke monsternya.
Kerasa ga sih mas? Tom Hiddleston dikit banget ngomongnya.. kayak bukan pemeran utamanya. Bahkan dia ketutup sama John C. Reilly
Pemeran utamanya kan Kong :D
Filmnya boring... terutama dikarakter
Posting Komentar