A WRINKLE IN TIME (2018)
Rasyidharry
Maret 17, 2018
Ava DuVernay
,
Chris Pine
,
Deric McCabe
,
Fantasy
,
Kurang
,
Mindy Kaling
,
Oprah Winfrey
,
Reese Witherspoon
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Storm Reid
,
Zach Galifianakis
8 komentar
Ava DuVernay (Selma)
punya kepekaan soal isu kemanusiaan, itu harus diakui. Tapi menilik hasil akhir
A Wrinkle in Time, yang membawanya
mengukir sejarah sebagai wanita non-kulit putih pertama yang menggarap live action blockbuster berbiaya ratusan
juta dollar, hatinya jelas bukan di dunia fantasi. Walau visinya akan estetika
visual terlihat, DuVernay bagai tak percaya apa yang ia presentasikan nyata, setidaknya
dalam benaknya. Maka tidak heran ketika para manusia bersanding bersama
sosok-sosok “khayal”, kedua sisi gagal membaur, bahkan tampak canggung sebabs sang
sutradara sebatas bongkar pasang dan asal menerapkan CGI.
Ceritanya merupakan adaptasi novel berjudul sama karya
Madeleine L’Engle yang dianggap mustahil difilmkan. Tidak ada yang mustahil difilmkan
selama si pembuat film turut menyangkal kemustahilan itu. DuVernay pasti
meyakini gadis seperti Meg (Storm Reid), yang berubah murung hingga jadi korban
penindasan di sekolah pasca ayahnya, Dr. Alex Murry (Chris Pine), menghilang
selama 4 tahun, punya kekuatan. Mungkin juga DuVernay mempertimbangkan, bahwa
teori fiksi imiah Dr. Alex yang menyatakan manusia bisa melintasi semesta dalam
sekejap, berpoteni terealisasi satu hari kelak.
Tapi apakah ia percaya, atau terobsesi terhadap makhluk
astral seperti Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon),
Mrs. Who (Mindy Kaling)? Saya ragu. Ketiganya datang menemui Meg, mengabarkan
jika ayahnya masih hidup di salah satu sudut semesta, meski nyawanya tengah
terancam. Mereka percaya Meg bisa diandalkan untuk mengalahkan entitas
kegelapan penebar kejahatan. Kenapa? Narasi “the chosen one” seperti ini perlu menjabarkan sisi spesial sang
protagonis. Apa yang membuat Meg spesial? Dia mencintai ayahnya? Saya juga, dan
Oprah Winfrey belum pernah mengetuk pintu rumah saya menawarkan bantuan.
Meg dipilih karena ia puteri Dr. Alex yang mendobrak batasan
sains umat manusia. Jadi sang ayah yang spesial, bukan Meg. Visualnya merupakan poin spesial lain, baik
tata kostum unik nan glamor yang dikenakan trio Mrs., sampai pemandangan di
berbagai planet selaku destinasi perjalanan Meg dan kawan-kawan. Planet pertama
paling memikat, bukan karena CGI menawan, melainkan keberhasilan DuVernay
membangun sense of wonder. Di
beberapa kesempatan, DuVernay juga sempat memamerkan kreativitas mengemas pemandangan
absurd, menjadikan A Wrinkle in Time blockbuster aneh dengan kekhasan.
Sayangnya setelah itu rentetan kecanggungan yang membuktikan
ketiadaan passion plus kurangnya
pengalaman berpengaruh buruk bagi gelaran non-realis macam ini. Lihat betapa aneh
Oprah dalam wujud raksasa berdiri kaku tanpa berbuat apa pun. Ini masalah pengadeganan, soal Mise en Scene, bukan cuma CGI buruk. Mayoritas umat manusia
mengagumi Oprah, tapi wajah raksasanya dibelai oleh Charles Wallace (Deric
McCabe), adik angkat Meg, justru terkean creepy
dan cringey. Sewaktu titik paling
menarik dalam petualangan adalah Zach Galifianakis yang secara mengejutkan
piawai melakoni akting dramatik, bisa dipastikan filmnya bermasalah. Storm
Reid, meski tak bermain buruk, belum mampu menangani kompleksitas protagonis
yang muram tapi wajib menarik simpati penonton.
“Tesser”. Demikian
perjalanan mengerutkan ruang dan waktu disebut. Alur naskah tulisan Jennifer
Lee dan Jeff Stockwell bak membawa penonton melakukan tesser, bergerak kasar keraap melompat mendadak, makin melucuti intensitas
emosi dan adrenalin petualangannya. Apalagi pertempuran puncak justru berujung
anti-klimaks. Kedua penulis tampak bingung meladeni konsep tinggi novelnya
ketika alih-alih perenungan filosofis, justru benang kusut yang terbentang. Perjalanan
berkeliling semesta membawa para tokoh menuju realisasi akan masalah
masing-masing, dan seperti filmnya sempat singgung, sejatinya semesta ada di
dalam diri seseorang. Intinya adalah menggali, mengenali, berdamai dengan diri
sendiri. Pesan indah yang tenggelam akibat kebingungan A Wrinkle in Time menghadapi kerumitannya sendiri.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:sebenernya sih visualnya kumayan bagus, yg kurang bgt itu chemistrynya ga ada feel emotionalnya sama sekali pas keluar bioskop rasanya hampa gitu.
Gimana nggak hampa, dipaksa terikat secara emosional ke karakter yang nggak spesial tapi dipksa disamain sekelas Gandhi, Einstein, dll. Ngaco itu
Si Meg mirip Jordan Peele
Pas pertama kali denger "Tesseract" kirain bakalan sama kayak "Avengers". Ternyata "Tesser" yang di sini teleportasi ya, Mas ?
Yap, semacam metode melintasi semesta.
@Mas Rasyid Oke makasih Mas buat info sama review-nya.
Ada yg bisa jelaskan saya apa maksud dari dimunculkannya scene perumahan yg banyak anak-anak main bola? Saya tau salah sayu cara untuk mengetes Meg dkk, tetapi kenapa harus dengan adegan yg agak creepy (menurut saya) itu?
Kalau pertanyaannya "maksud", ya bener gitu maksudnya. Kenapa creepy? Simply biar adegannya menarik karena ada perasaan anomali aja sih :)
Posting Komentar