THE STRANGERS: PREY AT NIGHT (2018)
Rasyidharry
Maret 18, 2018
Bailee Madison
,
Bryan Bertino
,
Christina Hendricks
,
Cukup
,
horror
,
Johannes Roberts
,
Lewis Pullman
,
Martin Henderson
,
REVIEW
7 komentar
Di luar beberapa kesunyian serta shot mencekam yang memanfaatkan ruang gelap, The Strangers (2008) tak ubahnya prank berkepanjangan selama 107 menit. Tanpa plot, tanpa penggalian
karakter, tanpa kejadian signifikan. Satu dekade berselang, Bryan Bertino
selaku sutradara sekaligus penulis skenario film pertama, telah terlibat di
lima film lain dalam berbagai kapasitas. Artinya, banyak hal telah dipelajari, mulai
teknik penulisan, sampai realisasi terhadap kapasitas diri, sehingga ia pun menyerahkan
tampuk penyutradaraan kepada orang lain yang lebih kompeten.
Johannes Roberts (The
Other Side of the Door, 47 Meters Down) kini memegang kendali, mengarahkan naskah
yang Bertino buat bersama Ben Ketai. Dibanding Bertino, Roberts tahu film-film
apa yang tepat dijadikan referensi sambil memberi tribute yang karena ditempatkan secara pas, mampu menguatkan
estetika film ketimbang sekedar penghormatan kosong. John Carpenter adalah
panutannya. Maka tidak heran saat musik berbasis denting piano creepy ala musik tema Halloween (1978) yang ikonik itu membuka The Strangers: Prey at Night, sekuel
dengan skala serta kualitas yang melebihi pendahulunya.
Skala membesar artinya jumlah tokoh bertambah. Bukan cuma
sepasang kekasih suram yang tengah bertengkar, tapi empat orang anggota
keluarga: Mike (Martin Henderson) sang ayah, Cindy (Christina Hendricks) sang
ibu, Luke (Lewis Pullman) sang anak laki-laki, dan Kinsey (Bailee Madison),
sang anak perempuan sekaligus sumber masalah yang selalu memberontak pula
bersikap ketus. Kenakalan Kinsey membuatnya dikirim ke sekolah asrama. Sebelum
ia pergi, mereka berempat memutuskan berlibur guna menghabiskan waktu bersama
sebagai keluarga. Tidak ada yang menyadari kebersamaan itu jadi yang terakhir
kali ketika tiga orang asing bertopeng melancarkan aksinya.
Pada film pertama, dengan hanya dua tokoh utama, kita tahu
mayoritas teror takkan berujung banjir darah apalagi kematian, menyebabkan
jalannya durasi membosankan. Di sini, kita tahu bakal ada yang meregang nyawa.
Tinggal masalah kapan dan bagaimana. Ini bukti peningkatan kapasitas Bertino
menyusun naskah, meski di waktu bersamaan, ia terjebak dalam keklisean horor
berupa kebodohan karakter yang dipaksakan hadir demi memperpanjang konflik.
Sempat dua kali para protagonis berpeluang menghabisi dua dari tiga antagonis. Tinggal
menarik pelatuk, tapi disebabkan alasan tak masuk akal, tindakan logis itu
urung dilakukan.
Kebodohan tersebut sempat menurunkan minat saya. Kenapa saya
harus mempedulikan karakternya bila filmnya urung memberi mereka harapan? Bukan
karena antagonis yang sukar dibunuh, melainkan protagonis yang bagai enggan selamat.
Untungnya, setelah melewati beberapa kematian yang disajikan secara “jinak” pun
minim kreativitas untuk ukuran slasher
(tusuk sana-sini), harapan mulai dimunculkan. Third act-nya menebus segala ketumpulan di awal, dengan adegan “pergulatan
kolam renang” selaku titik balik, sebab dari situ peluang tokohnya keluar
hidup-hidup mulai terasa.
Sebagai penggemar Carpenter yang piawai menempatkan
Michael Myers di area nihil cahaya, diam-diam mengintip sebelum tiba-tiba
menyergap, Roberts mampu merangkai ketegangan memakai teknik serupa. Bahkan jump scare paling mengejutkan nan menyeramkan
film ini melibatkan sudut gelap (petunjuk: we’re just started). Bukan cuma Carpenter. Referensi
terkait horor era lalu tumpah ruah di klimaks yang amat menyenangkan.
Mobil terbakar ala Christine (1983),
adegan penutup The Texas Chainsaw
Massacre (1974), dan tentunya lagu-lagu 80an seperti Making Love Out of Nothing at All dan I Think We’re Alone Now yang sempat dipakai oleh Mother’s Day, satu lagi horor dari medio
80an. The Strangers: Prey at Night
mampu mengungguli film pertama karena keberhasilannya menambal kekurangan-kekurangan
fatal pendahulunya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Sory kang keluar konteks... Ga bahas trailer terbaru infinity wars..
Nggak perlu. Udah cukup banyak yang diungkap. Let the actual movie speaks for itself.
Mas ada planning buat nonton dan review Annahilation-nya Natalie Portman? Film yang menyulut perbedaan persepsi atau pendapat setelah menontonnya. Sayang itu film gak tayang di bioskop. Film yang sangat pintar menurut saya, bisa sejajar sama arrival..
akhirnya keluar juga review yg ditunggu-tunggu, gak sejelek yg dipikirkan kritikus kan mas, untuk satu dekade ini yg jarang menampilkan horror slasher, menurut saya The Strangers:Prey at Night udah bagus kok, gak lupa ada homage dan ciri khas slasher yg tokohnya cheesy, semoga makin banyak lagi film slasher yg akan datang.
Oalah, baru tau saya Mas kalo "The Strangers" ini ada film pertamanya. Apa saya harus nonton yang pertamanya, Mas biar ngukur sejauh mana perbedaan adegan slasher-nya ? Btw yang keduanya saya udah nonton.
@Asep Surprisingly fun, nggak kayak film pertama. Tapi slasher modern paling bagus masih seri "Hatchet" sih, brutal.
@Pramudya Nggak perlu, yang pertama creepy di awal doang, lama-lama bosen.
@Mas Rasyid Okelah gak akan saya tonton. Toh gak ada sangkut pautnya sama yang kedua kan, Mas ? Kayak permen karet dong ya, berasa di awal, ehh ujung2nya hambar, hahaha.
Posting Komentar