TULLY (2018)
Rasyidharry
Mei 29, 2018
Bagus
,
Charlize Theron
,
Comedy
,
Diablo Cody
,
Drama
,
Jason Reitman
,
Mackenzie Davis
,
REVIEW
,
Ron Livingston
22 komentar
Film terbiasa membawa kita pada momen persalinan dramatis,
entah digiring menuju haru, atau kekacauan menggelitik. Dalam Tully, si tokoh utama tenang-tenang saja
ketika air ketubannya pecah. Malam menjelang persalinan ia pakai bermain
ponsel, sedangkan pasca jabang bayi lahir, cuma sambil lalu disentuhnya ranjang
si buah hati, sementara sang suami tidur pulas di kamar rumah sakit. Mungkin
ini wujud “kebiasaan” mengingat bayi yang diberi nama Mia itu adalah anak
ketiga. Mundur beberapa hari, seorang wanita sempat mengingatkan agar tidak
mengonsumsi kafein, saran yang tak diacuhkan oleh protagonis kita. Marlo (Charlize) bukannya bersikap masa bodoh
pada calon buah hatinya. Mungkin berdasarkan dua pengalaman mengandung
sebelumnya, kafein tidak berdampak baginya.
Kelahiran anak yang banyak orang anggap anugerah terkesan
biasa bagi Marlo dan Drew (Ron Livingston). Satu, proses ini bukan kali pertama
mereka alami. Dua, kelahiran Mia adalah awal segala kerepotan dan kesulitan
tidur akibat tangisan tengah malam. Terdengar pesimis bahkan depresif, tapi
dengan kolaborasi sutradara Jason Reitman (Up
in the Air, Juno, Young Adult) dan Diablo Cody selaku penulis naskah (Juno, Young Adult, Jennifer’s Body),
film ini tak pelak memproduksi setumpuk tawa. Banyak film bicara soal parenthood, namun Tully bukan film kebanyakan. Karena dalam film kebanyakan, Marlo
bakal dibawa membuktikan bahwa sebagai wanita tangguh dia mampu merawat Mia
seorang diri, dan Jonah (Asher Miles), puteranya yang mengidap gangguan
perkembangan, bisa belajar di sekolah umum layaknya anak “normal”.
Walau merupakan ode terhadap motherhood, sembari memamerkan kekuatan seorang ibu, Tully juga menyatakan jika menempuh
proses merawat anak lewat jalan “gampang” berupa bantuan pihak lain bukan suatu
masalah. Di sini, bantuan tersebut datang dari Tully (Mackenzie Davis), seorang
pengasuh malam hari, yang khusus bertugas menjaga bayi agar orang tuanya
memiliki waktu beristirahat. Tully dan Marlo ibarat kutub berlawanan. Melalui
keceriaan, semangat, serta bekal pengetahuan luasnya, Tully menjadi dinamo yang
menggerakkan (kembali) hidup Marlo, sedangkan performa berenergi Mackenzie
sendiri adalah dinamo yang menghidupkan sang titular character.
Percikan semangat Marlo boleh meredup nyaris di segala
situasi, tetapi dalam filmnya, tidak ada penampil yang lebih bersinar dibanding
Charlize Theron. Kebanyakan tokoh-tokoh hasil tulisan Diablo Cody adalah orang
bermulut tajam yang bagai pantang kehabisan variasi kalimat guna melontarkan
sarkasme. Dan Theron, sebagaimana pernah ia perlihatkan lewat Young Adult (2011) sempurna melakoni
itu. Tapi aspek terbaik aktingnya berasal dari momen non-verbal. Frustrasinya
terpancar kuat, pun begitu kaya caranya merespon omongan orang-orang. Belum
lagi terkait transformasi tubuhnya, di mana Theron menambah berat badannya
hampir 25 kg, supaya titik kala Marlo tertekan hingga enggan
mempedulikan diri tampak meyakinkan. Ingin
tahu seberapa ekstrim transformasi Theron? Film ini melakukan pengambilan
gambar mulai 22 September 2016, alias cuma sekitar 4 bulan pasca The Fate of the Furious (2017).
Jason Reitman tidak hanya membawa insting komedi, pula
pengadeganan dinamis, khususnya sewaktu filmnya menampilkan rutinitas Marlo.
Rutinitas itu boleh monoton, namun tidak dengan estetika pengemasannya, yang
turut ditemani permainan tata suara rancak. Mengenai departemen audio, menarik
mengamati deretan lagu yang dipakai. Begitu banyak lagu, meski mayoritas cuma
terdengar sepersekian detik. Satu yang paling menonjol yakni versi Beulahbelle
untuk You Only Live Twice milik Nancy
Sinatra. Entah ini ide Cody atau Reitman, tapi menengok liriknya, lagu yang
aslinya merupakan lagu tema film James Bond berjudul sama ini turut menjadi tease cerdik akan kejutan yang menanti
di penghujung durasi.
Ketika twist serupa
kerap dipakai film lain sebagai daya kejut semata, dalam Tully—biarpun penuh
lubang ditinjau dari tatanan logika—kejutan itu memunculkan suatu hal yang
mungkin banyak dari kita pernah alami. Kita sulit lepas dari diri kita di masa
lalu, apalagi bila masa lalu tersebut kita anggap sebagai “era keemasan”. Bagi Tully, itu bukan perwujudan “gagal move on”, karena mari akui, bertambah
tua tidak menggembirakan. Seperti kisah yang Tully tuturkan pada Marlo mengenai
kapal yang mengganti satu persatu, sosok masa lalu kita tetaplah kita, bukan
manusia berbeda. Dan jangan lupa, kita pernah jadi sosok yang kita anggap
lebih baik itu, yang segala keunggulannya dapat berguna menghadapi kesulitan masa
kini.
Twist di atas hanya bisa berhasil kalau
karakter suami tidak memberi cukup perhatian, sampai-sampai melewatkan detail
fakta penting yang mengisi kehidupan istrinya. Drew jelas bukan suami kejam. ia
menyayangi Marlo, dan bila diajukan pertanyaan mengenai kondisi keluarga
termasuk sang istri, ia akan mantap menjawab, “semua baik-baik saja”. He’s just a clueless guy, (unfortunately) like so many other husbands out there. Sebagai pria yang ingin
berkeluarga, Tully memberi saya
pelajaran atau tepatnya peringatan berharga seputar kepedulian terhadap istri. Bahwa
kepedulian tidak cukup dengan melihat kondisi eksternal, melainkan secara
konsisten menelusuri sisi internal, mencari tahu, kemudian memahami sang istri
lebih dalam.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
22 komentar :
Comment Page:Aktingnya Theron oscar-worthy ga?
Jelas. Tapi nggak akan menang, dapet nominasi aja susah. Bukan faktor akting tapi release date. Kecuali studio bikin campaign gede-gedean.
bang sama up in the air rame mana ?? soalnya saya ngefans banget sama up in the air. hahahaha
btw nonton di mana ? di bioskop blum tayang
"Sebagai pria yang ingin berkeluarga," eeaaa.... bang rasyid kode kerass
Kalo Theron aja susah buat dpt nominasi oscar karna release date, Toni Collette juga bakal sial dong. Udah hereditary rilis pertengahan tahun terus genrenya horror lagi, kasian banget
Mas.. film yg patut ditunggu sampe akhir tahun apa yh kira2??
@Kevin beda sih, lebih deket ke Young Adult & Juno.
@Kim jelas layak. Wah lagi nggak mood nonton religi gitu haha
@Erfan haha ingin ya, bukan ngebet
@Chan Buanyak banget. Mungkin spesifik genre apa gitu?
Mas rasyid mau nanya kira2 film hereditary bakal tayang kapan ya? masalnya di coming soon xxi belum ada film ini padahal rencana awalnya kan bakal dirilis awal juni yaa
@Azka Tayang Juni. Mungkin minggu keempat, habis lebaran. Kalau telat paling Juli. Di coming soon XXI nggak bakal nongol, soalnya nggak tayang situ hehe. Cuma di CGV & Cinemaxx.
mas saya agak bingung dengan twistnya. jadi sebenarnya tully itu imajinasi dari marlo ajh yh?
@Kevin Bukan sepenuhnya imajinasi dari nol. Tully itu Marlo di masa muda. Kan akhirnya ketahuan kalau maiden name si Marlo itu Tully.
jadi selama ini yang ngasuh si mia itu si marlo sendiri yah bang ?? tanpa bantuan pengasuh
Yap, makanya dokter bilang dia kurang tidur. Selama ini sendiri. Dibantu sama "her past self" yang lebih kuat fisik & mental.
Yah dia spoiler...
Kepancing
Film udah semingguan ya nggak masalah. Dan di kolom komentar, bukan review. Ketakutan yang berlebihan soal spoiler ini yang kadang bikin diskusi soal film jadi mentok. Lagian kalo sampe ada yang belum nonton terus baca-baca komen ya aneh, salah sendiri. 😁
jadi nnti twist nya kayak imajinasi tokoh utama gitu ya bang, jadi inget film "i kill giant",
@syaefullah Nggak sesederhana itu sih. Lebih bermakna dari sekedar "oh imajinasi doang toh.
Baru ngeh setelah baca blog ini kalo tully cuma imajinasi aja.. But di bagian mana ya yg jelasin kalo tully itu maiden name nya marlo?
Pas Drew ditanya sama pegawai rumah sakit soal maiden name Marlo.
Terus kan marlo setuju soal nanny sama suami nya, kalau tully itu imajinasi..terus kemana nanny yg bener nya?
Posting Komentar