HERETIKS (2018)

Tidak ada komentar
You shall burn unless you choose a different path. Our path”, demikian ungkap Suster Kepala (Clare Higgins) kepada protagonis dalam Heretiks, Persephone (Hannah Arterton). Kalimat tersebut bagai berasal dari cerita thought-provoking seputar religiusitas. Memprovokasi lewat tuturan serius memang intensi film ini. Sayangnya, keputusan itu diambil tanpa menyadari beberapa inkompetensi fatal, seperti pengarahan konyol dan penulisan dangkal.

Berlatar abad ke-17, kita berkenalan dengan Persephone, wanita muda yang ditangkap atas tuduhan praktek ilmu sihir. Hukuman mati menanti, tapi sebelum itu terjadi, beberapa suster menyelamatkannya, menawarkan kesempatan kedua untuk hidup sebagai pelayan Tuhan. Persephone dibawa menuju biara tua, di mana ia bersama wanita-wanita “pendosa” lain tinggal di bawah aturan luar biasa ketat. Apabila melanggar, hukuman fisik atau kurungan telah menanti.

Tersimpan kisah provokatif soal “iman ” menanti untuk dituturkan, setelah kita mengetahui bahwa para suster di biara itu tidak sesuci kelihatannya. Namun penulisan Conal Parmer (The Seasoning House) dan Paul Hyett (The Seasoning House, Howl) mematikan potensi drama tersebut, kala naskahnya justru membangun plot lewat repetisi hukuman-hukuman yang diterima karakternya. Karakter membuat kesalahan, dihukum, membuat kesalahan lagi, dihukum lagi, begitu seterusnya.

Eksplorasi tema serta karakter sepenuhnya ditinggalkan. Banyak tokoh-tokoh baru memasuki “panggung”, namun tiada yang cukup berkesan untuk setidaknya membuat kita mampu mencocokkan sebuah nama dan pemiliknya. Bahkan protagonisnya pun one-dimensional. Latar belakang tragis Persephone, tuduhan sebagai ahli nujum, maupun kemampuan spesial yang konon ia miliki, tidak memberi dampak nyata terhadap plot.

Horor sebenarnya berasal dari demam aneh nan mematikan yang diderita penghuni biara. Sekali terjangkit, harapan hidup memudar, dan mereka hanya tinggal menanti ajal, lalu tewas secara mengenaskan. Sementara di saat bersamaan, Persephone kerap melihat sosok wanita misterius. Situasi yang menjadi jalan Heretiks mempresentasikan jump scare, yang sayangnya hadir minim daya kejut, biarpun filmnya mampu membangun atmosfer mencekik lewat sudut-sudut gelap biara. Penyebabnya tak lain penyutradaraan lemah Paul Hyett, yang acap kali membuat saya kesulitan membedakan film ini dengan horor-horor lokal murahan yang menghantui bioskop kita nyaris tiap minggu.

Beruntung, Heretiks masih dapat merebut atensi, tepatnya ketika filmnya bersedia meninggalkan keseriusan demi gaya b-movie menyenangkan penuh kematian brutal. Bergalon-galon darah tumpah, bola mata dicongkel, kepala dipenggal, adalah contoh-contoh pemandangan yang sukses melambungkan daya pikat Heretiks, meski di beberapa kesempatan, penggunaan shaky cam berlebih sempat merusak intensitas. Pasca momen final bodoh nan canggung menutup kisahnya, saya cuma bisa berandai-andai, bagaimana jika penulis naskah beserta sutradara sejak awal menyadari inkompetensi mereka perihal meramu suguhan serius, dan memilih total merayakan kekonyolan khas film kelas b (atau sekalian membuat nunsploitation?). Rasanya Heretiks bakal jauh lebih mengasyikkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: