HERETIKS (2018)
Rasyidharry
Mei 07, 2019
Clare Higgins
,
Conal Parmer
,
Hannah Arterton
,
horror
,
Kurang
,
Paul Hyett
,
REVIEW
Tidak ada komentar
“You shall burn unless you choose a different path. Our path”,
demikian ungkap Suster Kepala (Clare Higgins) kepada protagonis dalam Heretiks, Persephone (Hannah Arterton).
Kalimat tersebut bagai berasal dari cerita thought-provoking
seputar religiusitas. Memprovokasi lewat tuturan serius memang intensi film
ini. Sayangnya, keputusan itu diambil tanpa menyadari beberapa inkompetensi
fatal, seperti pengarahan konyol dan penulisan dangkal.
Berlatar abad ke-17, kita
berkenalan dengan Persephone, wanita muda yang ditangkap atas tuduhan praktek
ilmu sihir. Hukuman mati menanti, tapi sebelum itu terjadi, beberapa suster
menyelamatkannya, menawarkan kesempatan kedua untuk hidup sebagai pelayan
Tuhan. Persephone dibawa menuju biara tua, di mana ia bersama wanita-wanita “pendosa”
lain tinggal di bawah aturan luar biasa ketat. Apabila melanggar, hukuman fisik
atau kurungan telah menanti.
Tersimpan kisah provokatif soal “iman
” menanti untuk dituturkan, setelah kita mengetahui bahwa para suster di biara
itu tidak sesuci kelihatannya. Namun penulisan Conal Parmer (The Seasoning House) dan Paul Hyett (The Seasoning House, Howl) mematikan
potensi drama tersebut, kala naskahnya justru membangun plot lewat repetisi
hukuman-hukuman yang diterima karakternya. Karakter membuat kesalahan, dihukum,
membuat kesalahan lagi, dihukum lagi, begitu seterusnya.
Eksplorasi tema serta karakter
sepenuhnya ditinggalkan. Banyak tokoh-tokoh baru memasuki “panggung”, namun
tiada yang cukup berkesan untuk setidaknya membuat kita mampu mencocokkan
sebuah nama dan pemiliknya. Bahkan protagonisnya pun one-dimensional. Latar belakang tragis Persephone, tuduhan sebagai
ahli nujum, maupun kemampuan spesial yang konon ia miliki, tidak memberi dampak
nyata terhadap plot.
Horor sebenarnya berasal dari demam
aneh nan mematikan yang diderita penghuni biara. Sekali terjangkit, harapan
hidup memudar, dan mereka hanya tinggal menanti ajal, lalu tewas secara
mengenaskan. Sementara di saat bersamaan, Persephone kerap melihat sosok wanita
misterius. Situasi yang menjadi jalan Heretiks
mempresentasikan jump scare, yang
sayangnya hadir minim daya kejut, biarpun filmnya mampu membangun atmosfer
mencekik lewat sudut-sudut gelap biara.
Penyebabnya tak lain penyutradaraan lemah Paul Hyett, yang acap kali membuat
saya kesulitan membedakan film ini dengan horor-horor lokal murahan yang menghantui
bioskop kita nyaris tiap minggu.
Beruntung, Heretiks masih dapat merebut atensi, tepatnya ketika filmnya
bersedia meninggalkan keseriusan demi gaya b-movie
menyenangkan penuh kematian brutal. Bergalon-galon darah tumpah, bola mata
dicongkel, kepala dipenggal, adalah contoh-contoh pemandangan yang sukses
melambungkan daya pikat Heretiks,
meski di beberapa kesempatan, penggunaan shaky
cam berlebih sempat merusak intensitas. Pasca momen final bodoh nan
canggung menutup kisahnya, saya cuma bisa berandai-andai, bagaimana jika
penulis naskah beserta sutradara sejak awal menyadari inkompetensi mereka
perihal meramu suguhan serius, dan memilih total merayakan kekonyolan khas film
kelas b (atau sekalian membuat nunsploitation?).
Rasanya Heretiks bakal jauh lebih
mengasyikkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar