KOBOY KAMPUS (2019)
Rasyidharry
Juli 26, 2019
Anfa Safitri
,
Comedy
,
Cukup
,
Indonesian Film
,
Jason Ranti
,
Pidi Baiq
,
REVIEW
,
Ricky Harun
,
Tubagus Deddy
3 komentar
Seringkali, kata “representasi”
menentukan kenikmatan kita menyaksikan sebuah film. Walau kualitasnya jeblok sekalipun,
jika film itu sanggup mewakili aspek-aspek dalam hidup kita, kelemahannya bisa
dimaafkan. Itulah yang terjadi antara saya dengan Koboy Kampus selaku karya terbaru Pidi Baiq, yang kali ini
menyutradarai filmnya bersama Tubagus Deddy, yang sebelumnya menulis naskah Baracas: Barisan Anti Cinta Asmara
(debut penyutradaraan Pidi).
Meski sadar betul betapa berantakan
penceritaan Koboy Kampus, kisahnya mengingatkan
saya pada masa-masa indah kala berkuliah kala studi terbengkalai akibat terlalu
sering menghabiskan waktu di ruang seni bersama teman-teman, menyanyi, tertawa,
memikirkan asmara, bicara ngalor ngidul soal
segala hal, sembari mengutarakan sudut pandang absurd kami masing-masing.
Berlatar tahun 1995-1998 tatkala
gejolak jelang reformasi makin memanas, filmnya memaparkan kehidupan Pidi Baiq
(Jason Ranti), mahasiswa seni rupa ITB yang menginisiasi berdirinya “Negara Kesatuan Republik The
Panasdalam” alih-alih ikut turun ke jalan. Meminjam ucapan Ninu (Ricky Harun),
The Panasdalam adalah “kingdom of have
fun” (plesetan “kingdom of heaven”),
yakni tempat di mana rakyatnya bisa bersenang-senang biarpun kondisi Indonesia
sedang kalut.
Tapi mereka tetap para mahasiswa
kritis, sebagaimana filmnya tunjukkan melalui beberapa obrolan seputar politik
hingga esensi bernegara. Koboy Kampus pun
berpeluang memantik diskusi berisi ragam perspektif, andai karakter Pidi, yang
bergelar “Imam Besar The Panasdalam”, tidak didesain sebagai sumber
kebijaksanaan yang senantiasa menuntaskan masalah lewat petuah-petuah.
Mengenakan jaket jeans dan jago
merangkai kata, Pidi memang tak ubahnya Dilan, yang kegombalannya digantikan
kalimat-kalimat bernada filosofis mengenai isu sosial-politik. Dan seperti Dilan 1990, Koboy Kampus sejatinya tidak memiliki plot, bergerak layaknya
kompilasi sketsa plus video klip.
Naskah yang juga ditulis oleh Pidi dan Tubagus selalu melemparkan konflik demi konflik secara acak,
pula tanpa benang merah kecuali bahwa seluruh konflik itu melibatkan individu-individu
dari The Panasdalam. Dari usaha menggaet hati mahasiswi, ancaman drop out, gesekan dengan KMSR (Keluarga
Mahasiswa Seni Rupa) dan jajaran aktivis, pelarangan ospek, dan lain-lain.
Mayoritas permasalahan di atas berujung memberi ide bagi Pidi menggubah lagu.
Masalah diutarakan, Pidi bernyanyi, kemudian usai. Fokusnya nol besar, namun
seperti telah disebutkan, secara personal, aktivitas-aktivitas The Panasdalam
terasa begitu dekat.
Apalagi kisahnya bertempat di luar
hingar bingar ibukota (Bandung), menjadikan keguyuban tokoh-tokohnya semakin
terasa. Di balik canda tawa mereka ada keintiman hangat. Seolah saya sedang
berkendara melewati kenangan tanpa destinasi pasti, tapi karena menghadirkan nuansa
sentimentil, saya memilih pasrah, diam, menikmati pemandangan. Jajaran
pemainnya pun solid, terlebih Jason Ranti, sehingga walau karakter Pidi kerap
kurang manusiawi (lagi-lagi seperti Dilan), saya bisa menikmatinya berseloroh. Turut mencuri perhatian adalah kejenakaan komedi deadpan Anfa Safitri sebagai Rianto si pria bernasib malang perihal percintaan. Tambahkan lagu-lagu bernada catchy dan
berlirik jenaka milik The Panasdalam Bank, perjalanan ini semakin menyenangkan.
Tapi tedapat satu unsur problematik,
yakni terkait persepsi Koboy Kampus terhadap
Orde Baru. (SPOILER ALERT) Kadang
filmnya seperti mendukung Soeharto (nyanyian Pidi yang menyindir revolusi,
reformasi, dan demokrasi, sampai ucapan terima kasihnya kepada sang diktator),
kadang seperti menentang Soeharto (keputusan “bersatu kembali” dengan Indonesia
selepas keruntuhan Orde Baru). Saya teringat akan suatu artikel yang menyebut
bahwa pembentukan Negara Kesatuan Republik The Panasdalam merupakan bentuk
protes akan Soeharto. Tapi apa pun sudut pandang Pidi, ambiguitas ini
menunjukkan kurang mulusnya penyampaian pesan Koboy Kampus.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Dari sisi penceritaan emang masih kedodoran beliau bikin cerita yang oke. Akting para tokohnya juga kek masih ama karakter asli mereka. Masih belum bisa mengunguli perjalanan karier R Dika sih Ayah Pidi. Dari penulis Novel, skenario ke sutradara. But I still be the Biggest Fan of The Pandal sih....
Ga nyangka bakal dapet 3 bintang...
Kirain 2 atau 2,5...
Spoiler alert
Salah satu lagu favorit Nia ternyata masuk list. Dan baru tau euy, ternyata Nia seorang minang.... Uwu.....
Beneran mengakui filmnya kacau, tapi ya itu tadi, kedekatan representasi. 😁
keren
Posting Komentar