REVIEW - TINGGAL MENINGGAL

Tidak ada komentar

Saya tidak ingat kapan terakhir kali sutradara Indonesia, terutama dari area arus utama, muncul lewat debut seberani dan sekreatif ini. Melalui Tinggal Meninggal, Kristo Immanuel bukan cuma melenggang memasuki industri. Dia mendobrak pintunya hingga hancur, lalu memperkenalkan diri dengan suara begitu lantang bersenjatakan kepercayaan diri yang mampu mengguncang seisi ruangan. 

Menariknya, protagonis film ini yang konon dibuat berdasarkan sosok Kristo sendiri, punya citra berlawanan. Namanya Gema (Omara Esteghlal), dan rasa percaya diri bukan sesuatu yang ia kenal baik akibat tumbuh di keluarga disfungsional. Ayahnya (Gilbert Pattiruhu) gemar menipu orang lewat bisnis MLM sebelum akhirnya kabur dan menikah lagi, sedangkan sang ibu (Nirina Zubir) lebih sibuk berpacaran ketimbang menemani Gema. 

Karakter kucing dari kartun televisi yang kerap bicara ke penonton pun jadi panutannya, sehingga Gema juga sering melakukan hal serupa. Breaking the fourth wall jadi salah satu ciri karakternya. Naskah buatan Kristo dan Jessica Tiju memberi alasan di balik tendensi protagonisnya mendobrak dinding keempat. Bukan semata gaya-gayaan, melainkan pertanda betapa sepinya hidup Gema, sampai mengajak bicara kita yang tak kasatmata baginya. 

Sungguh luar biasa performa Omara selama menghidupkan Gema. Bukan semata berpura-pura, tapi sepenuhnya "menjadi", bertransformasi sebagai figur canggung hingga ke detail-detail gestur kecil. Sewaktu latarnya beralih ke kantor Gema, Tinggal Meninggal pun berubah dari pertunjukan tunggal Omara Esteghlal, menjadi kombinasi ensambel yang saling menguatkan.

Semua berawal dari kabar kematian sang ayah. Gema yang tadinya terasing, mendadak memperoleh perhatian dari teman-temannya: Adriana (Shindy Huang) lewat topik pembicaraan acaknya, Naya (Nada Novia) si maniak media sosial, Danu (Mario Caesar) dengan beragam cerita liburannya, Pak Cokro (Muhadkly Acho) selaku bos yang ingin dianggap muda, Ilham (Ardit Erwandha) dan segala pertanyaan nihil sensitivitasnya, hingga Kerin (Mawar Eva) yang jadi representasi (atau parodi?) generasi masa kini beserta kesadaran sosial mereka. Nama-nama di atas punya porsi bersinar masing-masing.

Tapi bagaimana bila fase berkabung telah usai? Apakah perhatian mereka bakal turut lenyap? Kalau demikian, siapa lagi yang mesti meninggal supaya Gema tetap mendapatkan atensi? Problematika tersebut bakal menggiring Gema mengambil beragam keputusan, yang semakin lama semakin gila hingga mencapai point of no return, sembari kisahnya turut menyentil soal dinamika sosial era modern, yang seolah menyulitkan individu bersikap apa adanya supaya dapat merasa diterima.

Gema mungkin melakukan banyak tindakan ekstrim, tapi penonton akan selalu menemukan sisi relatable dari sang protagonis. Misalnya saya, yang seperti Gema, sering kebingungan harus berkata apa kala menghampiri sekumpulan teman yang sudah asyik dalam pembicaraan mereka. Mungkin di luar sana banyak juga yang merasakan kedekatan dengan Gema, entah terkait perilaku, dinamika sosial, atau kondisi keluarganya. 

Sebagai sutradara, Kristo membawa visi kuat. Entah berapa banyak sutradara debutan bisa membanggakan hal tersebut. Tengok pilihan musiknya, entah penggunaan lagu Setengah Lima milik Sore di sebuah "adegan meninggal", maupun komposisi jazz chaotic gubahan Nic Edwin yang dipakai untuk mewakili kecemasan si protagonis, tak ada yang sebatas mengikuti formula.

Begitu pula mengenai pengadeganan sang sutradara. Pengarahan komedik dengan presisi timing tingkat tinggi, pula momen emosional yang mengutamakan keindahan untuk menolak pakem "asal banjir air mata" khas melodrama, keduanya berkelindan, melahirkan dampak yang janggal (secara positif), tatkala kejenakaan dan kegetiran mampu eksis di saat bersamaan. Saya tertawa, sambil merasakan pilu bak tengah ditusuk-tusuk dalam hati.

Pilihan konklusinya mungkin bakal memecah opini penonton. Saya sendiri beranggapan bahwa di titik itu, Kristo semestinya tidak perlu lagi memaksakan filmnya tampil beda, atau terlalu takut menjamah area melodrama. Tapi harus diakui kalau ending tersebut konsisten dengan gaya yang sudah dibangun selama dua jam durasinya. Karena Tinggal Meninggal bukan bertujuan memenuhi ekspektasi masyarakat luas, melainkan representasi bagi individu yang kerap dicap "aneh", bahkan dianggap minim kepedulian, meski sejatinya mereka diam-diam menaruh perhatian besar, biarpun sambil berdiam diri di sudutnya sendiri. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: