REVIEW - CROSSING
"I hardly think it was a choice", ucap salah satu karakter dalam Crossing pada rekan seperjalanannya, yang mempertanyakan mengapa transpuan di Istanbul memilih hidup sebagai PSK. Kelak kita pun melihat bagaimana transpuan lain, yang ingin meniti karir sebagai pengacara, dipersulit kala membuat kartu identitas baru selepas beralih gender. Menjadi diri sendiri nyatanya bukan perkara gampang.
Lia (Mzia Arabuli), pensiunan guru sejarah asal Georgia, hendak melakukan perjalanan ke Istanbul guna mencari keponakannya, Tekla, dalam rangka menjalankan wasiat terakhir mendiang adiknya. Achi (Lucas Kankava), si pemuda berandalan yang konon mengetahui alamat Tekla di Istanbul pun turut serta.
Dua rekan seperjalanan ini amat bertolak belakang. Lia punya tujuan jelas dan nampak selalu tenang, sementara Achi lebih meledak-ledak dan bak menjalani hari semaunya. Ketika Lia dengan paham konservatifnya menganggap gaya berpakaian dan tingkah perempuan modern melucuti harga diri mereka, Achi yang lebih muda berpikiran sebaliknya. Tapi seiring waktu, naskah buatan sang sutradara, Levan Akin, mengungkap bahwa realita hakiki lebih kompleks dari kulit luarnya.
Lalu ada kisah mengenai Evrim (Deniz Dumanli), pengacara yang kerap jadi pembela kaum marginal. Evrim membuktikan bahwa tak semua transpuan merupakan PSK, tapi toh orang-orang tetap memandangnya remeh. Pada satu kesempatan, dua polisi menertawakan gelarnya sebagai pengacara, yang menurut mereka didapat dari rombongan sirkus alih-alih universitas.
Barisan karakter di atas akan saling bersinggungan jalan. Seperti judulnya, film ini berkisah tentang para individu yang "menyeberang", baik secara literal (melintasi negara dan/atau pulau) maupun figuratif (mengubah kepercayaan, memahami budaya serta perspektif baru, dll.). Akin memastikan cabang-cabang narasinya bertransisi dengan mulus, melahirkan perjalanan 106 menit yang begitu nyaman diikuti.
Crossing punya segalanya guna menciptakan melodrama penuh haru. Tiap karakternya memiliki alasan untuk terus berurai air mata. Tapi Akin memilih bentuk pengarahan yang mengedepankan sensitivitas elegan, di mana dampak emosi berasal dari deretan momen kecil sarat makna. Misal saat selepas berhubungan seks, Evrim dan sopir taksi bernama Ă–mer (Ziya Sudancikmaz), membahas soal alibi apa yang bakal dipakai bila polisi menilang mereka.
Melalui momen-momen kecil tersebut, Akin seolah memberi pelukan hangat pada para trans. Pada akhirnya perjalanan Lia bukan lagi (cuma) tentang menemukan keponakannya secara fisik, tapi juga spiritual. Lia melalui proses belajar untuk memahami jati diri Tekla beserta segala pilihan hidupnya, sebelum ditutup oleh konklusi yang luar biasa emosional, berkat kelihaian Akin menata momen emosional secara indah, sekaligus akting Mzia Arabuli yang efektif menusuk batin penontonnya.
(Klik Film)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar