JAFF 2019 - BENTO HARASSMENT

1 komentar
Kadang saya teringat masa sekolah dulu, saat masih membawa bekal buatan ibu. Karena sudah belasan tahun berlalu, tentu saya tidak ingat pasti tiap menunya, tapi secara alamiah, saya mengasosiasikan beberapa makanan dengan peristiwa tertentu. Dibuat berdasarkan sebuah esai berjudul sama, Bento Harassment bicara hal serupa, ketika bekal dari ibu merepresentasikan fase-fase hidup karakternya di sekolah.

Kaori (Ryoko Shinohara) mesti menjadi ibu tunggal selepas kematian suaminya beberapa tahun lalu. Saat keluarga ini masih utuh, Kaori begitu dekat dengan kedua puterinya, bahkan berjanji akan membuat restoran bersama. Kini, si puteri sulung, Wakaba (Rena Matsui) tinggal terpisah walau bekerja di restoran yang sama dengan Kaori, sedangkan si bungsu, Futaba (Kyoko Yoshine), adalah remaja pemberontak.

Kaori dan Futaba tinggal serumah, tapi jarang bicara. Futaba menutup pintu komunikasi mereka, melarang Kaori memasuki kamarnya, memilih hanya bicara lewat chat bahkan saat keduanya ada di satu ruangan. Bagi Futaba, Kaori bak monster (dia menamai kontak Kaori sebagai “Ogre”), dan menuruti perintah ibu bukan suatu hal keren. Sempat putus asa, Kaori mendapat ide terkait cara agar Futaba mengubah sikap.

Kaori membuatkan charaben (character bento), yakni bekal yang disusun agar membentuk karakter populer, wajah manusia, hewan, atau binatang. Kaori tahu hal itu bertentangan dengan definisi “keren” dari Futaba. Dia berharap Futaba bakal merasa kesal dan akhirnya terdorong untuk berubah. Begitu menarik desain Kaori, tiap jam makan siang, Futaba selalu dikerubuti teman-temannya yang penasaran, “Bento seperti apa lagi yang dibuat ibumu?”. Bahkan sempat pula di bekal itu terselip pesan agar Futaba mau mencuci piring setelah makan.

Kreativitas. Itulah pondasi Bento Harassment. Desain kreatif Kaori jadi hiburan tersendiri, bukan cuma bagi teman-teman sekelas Futaba, juga penonton. Dan Renpei Tsukamoto (One Missed Call 2, Wig, Reon) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, memanfaatkan ragam kreasi Kaori guna membuat supaya secara natural, bekal-bekal itu dapat mewakili fase-fase hidup Futaba. Dari persiapan ujian sampai saat tumbuh getar-getar cinta di hati Futaba terhadap teman masa kecilnya, Tatsuo (Kanta Sato), bekal sang ibu selalu menemani, melahirkan momen-momen tak terlupakan.

Humornya tidak kalah kreatif. Absurditas komedi khas film Negeri Sakura efektif menyegarkan suasana berkat pengadeganan menarik sang sutradara, pula kebolehan jajaran pemain, khususnya Ryoko Shinohara—yang gemar menatap licik ke arah kamera bak tokoh sinetron tiap rencananya membuat Futaba kesal berakhir sukses.

Naskah buatan Renpei Tsukamoto tampil apik di beberapa sisi. Pesan tentang “cinta dalam makanan, makanan penuh cinta, makanan untuk cinta” tersampaikan dengan mulus. Kita tahu kelak Futaba akan luluh, namun bukan berarti perubahan itu bisa disajikan seenaknya. Tsukamoto memastikan ada gradasi dalam transformasi Futaba. Bahkan selepas terungkapnya satu elemen mengejutkan, Futaba masih meragu. Sebuah kewajaran. Remaja pemberontak yang ingin terlihat keren sepertinya pasti punya gengsi luar biasa besar, yang acap kali menahannya bersikap jujur sesuai kata hati.

Satu poin yang agak mengganggu adalah cerita sampingan mengenai Okano (Ryuta Sato), ayah tunggal yang selepas kematian istrinya, kerepotan mengurus anak seorang diri. Sampai akhirnya Okano menemukan blog di mana Kaori mempublikasikan charaben buatannya, lalu terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Di sini Tsukamoto bagai ingin membubuhkan kisah cinta bagi Kaori sembari menyelipkan tuturan soal “Dua orang dipersatukan oleh luka yang sama”, tapi justru menciptakan pernak-pernik tak substansif, yang bila dihilangkan pun takkan melemahkan kisah utama.

Memasuki babak akhir, Bento Harassment bisa saja terjerumus ke ranah disease porn murahan nan eksploitatif, kalau bukan karena logika yang tetap naskahnya perhatikan. Ada kesan mendadak, tapi jika dirunut lagi, hal tersebut wajar terjadi, bahkan semestinya sudah diantisipasi, baik oleh penonton maupun karakternya. Hasilnya adalah 15 menit terakhir yang meruntuhkan benteng perasaan. Pengadeganan Tsukamoto punya dosis dramatisasi yang sempurna, sementara Ryoko Shinohara lewat senyum serta linangan air mata sarat kasih sayang akan mencengkeram hati siapa pun.

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

bagus bangeet aku smpe nangis coba :'