SICARIO: DAY OF THE SOLDADO (2018)
Rasyidharry
Juni 28, 2018
Benicio del Toro
,
Catherine Keener
,
Crime
,
Dariusz Wolski
,
Elijah Rodriguez
,
Hildur Guðnadóttir
,
Isabela Moner
,
Josh Brolin
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Stefano Sollima
,
Taylor Sheridan
,
Thriller
6 komentar
Sicario pertama (2015) bicara soal “sosok
putih”, agen FBI bernama Kate Macer (Emily Blunt), yang mempelajari realita
abu-abu setelah ditampar keras oleh ambiguitas moral di mana hukum tak berlaku.
Pada sekuelnya, giliran dua sosok “penampar” Kate lah yang mendapati bahwa
ketiadaan hukum mereka pun nampak bersih di hadapan intrik kotor politik
internasional. Di satu kesempatan, agen CIA Matt Graver (Josh Brolin)
menyuarakan kejengahannya pada sang atasan, Cynthia Foards (Catherine Keener),
bahwa langkah yang diambil pemerintah takkan mengubah apa pun. Respon Cyhnthia
membuat Matt, si prajurit brutal nihil aturan tampak bak bocah naif.
Ada pula dua muda-mudi terlibat dalam konflik: Isabela Reyes
(Isabela Moner), puteri bungsu seorang pimpinan kartel Meksiko yang di sekolahnya
bisa bersikap layaknya bos mafia tanpa takut tersentuh hukuman guru, dan Miguel
Hernandez (Elijah Rodriguez), remaja Meksiko-Amerika yang ingin menjadi
kriminal. Seperti Kate di film pertama, Isabela dan Miguel bagai domba, tapi di
sini, domba-domba itu berlagak layaknya serigala, hingga akhirnya nasib
mempertemukan mereka dengan kawanan serigala sungguhan yang tengah berperang. Apakah
domba-domba ini akan jadi mangsa, kembali ke habitatnya, atau bertransformasi
menjadi predator pula? Konklusinya memberi siratan cukup jelas bagi arah
lingkaran kehidupan yang bakal mereka tempuh.
Day of the Soldado membahas dua pokok persoalan yang
belakangan makin kerap menyulut kontroversi, khususnya di Amerika, yakni
serbuan teroris asing serta imigran. Tapi Taylor Sheridan (Sicario, Wind River, Hell or High Water) yang masih menulis
naskahnya tak tertarik menjabarkan “Apa yang seharusnya dilakukan?”, melainkan
“Apa yang selama ini sudah dilakukan dari di balik layar”. Setidaknya menurut
perspektif Sheridan, yang membuka filmnya langsung lewat hantaman mencekat dan
menegangkan berupa aksi bom bunuh diri. Sayang, ketegangan di tingkatan setara
gagal terulang di sisa durasi. Kementrian Pertahanan mengutus Matt guna menutup
jalur para terors yang diselundupkan oleh kartel di Meksiko.
Taktik adu domba diterapkan. Kembali dibantu Alejandro
(Benicio del Toro), Matt menculik puteri pimpinan kartel, Isabela, lalu
mengaturnya agar tampak seperti perbuatan kartel saingan. Tujuannya agar kedua
belah pihak saling menghancurkan tanpa perlu campur tangan pemerintah Amerika,
yang nantinya diharapkan memutus mata rantai terorisme. Meski jika ditanya
mengenai definisi terorisme, Matt menjawab, “Tugas Menteri Pertahanan untuk
menyematkan definisi itu ke siapa”. Di sini Sheridan tengah menyentil tentang
Amerika, sang negeri adidaya, mampu pengelompokkan “si baik” dan “si jahat”
sesuai kepentingan mereka.
Artinya, ambiguitas pendahulunya masih dipertahankan.
Sheridan menegaskan ketiadaan kepastian soal siapa kawan maupun lawan, yang
diwakili suatu momen yang ia tulis secara cerdas tatkala Isabela berhasil
“diselamatkan” dari kurungan penculik. Tapi tidak semua momen tampil secerdik
itu. Ada kalanya rencana Sheridan pintar, ada kalanya tidak masuk akal. Atau
mungkin di dalam imajinasinya, itu masuk akal, hanya saja, akibat kebencian
Sheridan terhadap eksposisi (diakuinya sendiri), banyak poin terkesan
membingungkan. Bahkan lebih membingungkan ketimbang film pertama karena kali
ini konspirasi bertambah rumit seiring skala yang turut membesar, juga
melibatkan lebih banyak pihak. Kadang kebingungan tersebut mempengaruhi
intensitas.
Untung penyutradaraan Stefano Sollima (Suburra) solid. Mengusung tempo lebih cepat, toh kita tetap bisa
menemukan pergerakan kamera yang melayang lambat khususnya dalam establishing shot, yang mengingatkan
akan gaya Denis Villeneuve. Masih dipertahankan pula musik atmosferik nan
menghantui, walau departemen musik sekarang ditangani Hildur Guðnadóttir,
menggantikan mendiang Jóhann Jóhannsson. Tidak mengherankan, sebab keduanya
pernah berkolaborasi di Mary Magdalene
(2018), dan Guðnadóttir pernah memainkan cello dalam Arrival (2016) yang musiknya digubah Jóhannsson. Sayang, meski
tetap sedap dipandang, sinematografi Dariusz Wolski (The Martian, Prometheus) nyatanya tak seindah karya Roger Deakins.
Tidak ada Emily Blunt yang kehadirannya berfungsi sebagai
kacamata penonton mengintip kerasnya dunia kriminalitas, namun Day of the Soldado masih punya Josh
Brolin dan Benicio del Toro, dua aktor yang mampu menebarkan aura machismo
cukup dengan duduk diam atau bertutur secara kasual. Karakter peranan del Toro
memperoleh story arc bersifat
personal selaku lanjutan film pertama, yang lagi-lagi Cuma berujung sempilan di
tengah tanpa dampak emosi. Tidak ada pilihan lain. Apabila Sheridan begitu
getol ingin menguatkan elemen drama di sekitar Alejandro, ia membutuhkan
filmnya sendiri. Sementara Brolin memantapkan status sebagai “actor of the year”. Pasca Thanos, Cable,
lalu Matt, pesan yang muncul jelas: “Jangan macam-maca dengan Josh
Brolin!”.
Konklusinya membuka lapang beragam kemungkinan untuk kisah
masa depan andai seri Sicario dilanjutkan.
Kemungkinan yang rasanya nyaris tidak berujung mengingat kriminalitas dan
konspirasi politik merupakan jalur utamanya. Tapi di waktu bersamaan, konklusi
tersebut melucuti gambaran kerasnya dunia gelap milik seri Sicario, di mana semestinya tak ada pihak yang aman dalam tempat
sekelam nan semematikan ini. Sicario: Day of the
Soldado tidak se-memorable
pendahulunya, tidak pula mengandung teror yang sama kuatnya, tetapi sebagai
sajian aksi/thriller semata, Day of the Soldado memberikan
cengkeraman cukup kencang.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Wah sudah main... Cusss ah.
Tinggal nunggu Gotti sama Antman
Tipe Film yg susah di nikmati oleh penonton awam.
Yg pertama saja saya gak mudeng ni ada yg kedua nya.
Cara ceritanya tetep kompleks, tapi temponya lebih bersahabat.
Tanpa Villeneuve-Deakins-Blunt, dan untungnya mempertahankan sang Screnwritter, Taylor Sheridan, dan dia membuktikan bahwa dia seorang Screnwritter berbabkat.. Saya kurang yakin, Sicario 2 akan sebaik ini, tanpa dia.
Lebih orientasi ke sisi action nya ya mas daripada yg pertama? cuma intensitasnya tetep tinggi kan, soalnyalebih nunggu ini daripada ant man, karena lebih suka tema yang lebih kelam
@Gary Kalo dibandingin yang pertama, iya. Tempo lebih padet & action lebih banyak.
Posting Komentar