SEMESTA (2020)

Tidak ada komentar
Menampilkan Nicholas Saputra selaku salah satu produser bersama Amanda Marahimin, daya tarik Semesta (atau dengan judul stylized Semes7a) terletak pada premis mengenai langkah figur-figur dari tujuh provinsi Indonesia merawat alam dengan cara berlainan sesuai agama, kepercayaan, dan budaya masing-masing. Tapi timbul pertanyaan, “Haruskah berjumlah tujuh?”. Sebab ketimbang memperkaya atau menguatkan, tuntutan memaparkan kisah sejumlah itu malah menghasilkan ketidakseimbangan.

Apabila anda beranggapan “yang penting pesannya baik”, maka dokumenter garapan Chairun Nissa (Hi5teria, Potongan) ini bisa jadi terasa mulia, semulia perbuatan tokoh-tokohnya dalam kontribusi mereka memerangi kerusakan alam yang mengakibatkan perubahan iklim. Tapi, tanpa bermaksud mengecilkan relevansi maupun tingkat kepentingan pesan, jika fokus pembahasan bukan pada “apa pesannya?” melainkan “bagaimana pesan dipaparkan?”, di situlah Semesta mulai menampakkan lubang, khususnya seputar keseimbangan.

Maksudnya, dari ketujuh kisah yang dituturkan secara runtut, ada yang amat berkesan hingga menyentuh hati, ada yang informatif, namun ada pula yang sebatas presentasi permukaan, di mana “melengkapi agar filmnya punya tujuh cerita” seolah merupakan alasan terkuat disertakannya kisah itu. Dari Bali, Tjokorda Raka Kerthyasa (seorang budayawan, bangsawan, sekaligus mertua Happy Salma) membuka Semesta melalui tuturan mengenai hari raya Nyepi.

Mendengar proses merawat alam, mungkin yang terbersit pertama kali di benak banyak orang adalah aktivitas kasat mata seperti menanam pohon atau mengurangi pemakaian plastik, dan segmen pertamanya spesial karena—sesuai dengan image Bali—penonton diajak menilik kegiatan itu dari kacamata spritual. Sewaktu Nyepi, seluruh aktivitas berhenti. Salah satu tujuannya tak lain memberi alam kesempatan beristirahat untuk “mengisi ulang”. Faktanya, Nyepi berjasa mengurangi sepertiga emisi harian Bali. Sekuen berisi deretan shot pemandangan kosong Ubud kala Nyepi terkesan mistis pula damai, seolah mengajak penonton menyatu dengan alam meski cuma sesaat.

Segmen kedua menampilkan perjuangan Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Itik di Kalimantan Barat, menjaga kelestarian hutan yang mulai terancam akibat penebangan pohon ilegal, berdasarkan adat setempat. Transisi dari Bali menuju Kalimantan Barat memperkuat tujuan filmnya memperlihatkan bahwa proses melestarikan semesta tidaklah memiliki perbedaan, apa pun agama dan budayanya. Tapi setelahnya, film ini mulai tertatih sehingga kehilangan momentum.

Gerakan membangun PLTA di Desa Bea Muring, Nusa Tenggara Timur oleh Romo Marselus Hasan tidak kalah penting pun menambah pengetahuan penonton, hanya saja, akibat model presentasi filmnya, kisah ini terasa repetitif, baik terkait latar (sebuah desa di daerah yang kurang terjamah teknologi) maupun peristiwanya. Belum lagi jika membicarakan soal konflik warga Pameu di pedalaman Aceh dengan invasi gajah yang habitatnya dirampas industri. Cerita ini sejatinya kompleks. Bagaimana cara mengamankan desa tanpa harus melukai gajah? Bahkan seorang warga sempat menyebut kalau satu-satunya cara adalah membunuh para gajah.  

Ini permasalahan dilematis yang tak dimiliki keenam kisah lain. Sayang, ketimbang menggali lebih jauh, filmnya sebatas memperlihatkan kegiatan doa bersama singkat, beberapa diskusi antara warga, sebelum akhirnya memaksakan diri menutup cerita lalu menarik kesimpulan “Gajah berguna merawat hutan, sehingga habitat dan populasi gajah wajib dijaga”. Kurang informatif, inkonklusif, sekadar memaparkan permukaan.

Semesta mendapatkan momentumnya lagi lewat cerita Almina Kacili yang mengoordinasi pelaksanaan sasi oleh wanita-wanita di Raja Ampat, Papua Barat, juga pola hidup unik Iskandar Waworuntu sekeluarga di Imogiri. Kisah dari Raja Ampat menarik, sebab sekali lagi penonton mendapatkan pemahaman baru, kali ini tentang praktek sasi, yakni kesepakatan untuk menutup dan membuka suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Jamak dipakai guna mengelola sumber daya alam darat, oleh para wanita Raja Ampat, sasi diterapkan di perairan Laut Misool yang biota lautnya kerap dicuri pihak luar.

Jadi satu-satunya tuturan bernuansa empowerment, saya tergerak mendukung wanita-wanita tangguh tersebut, menjadikannya segmen yang paling kuat mengolah emosi. Sedangkan mengunjungi kediaman Iskandar Waworuntu yang memilih tinggal di perbukitan bernama “Bumi Langit” dan menerapkan pola hidup sehat berbasis ilmu Islam guna menyatu dengan alam, menghadirkan keunikan tersendiri. Seluruh aspek kehidupan beliau tak pernah lepas dari prinsip mencintai alam. Hanya memakan makanan organik, memakai sumber energi alami, bahkan mendirikan masjid dengan jendela diposisikan di arah kiblat. Sehingga, sewaktu menjalankan salat, seseorang bakal menghadap langsung ke alam terbuka. Menyatu dengan alam saat beribadah. Sungguh bernilai.

Terakhir ada Soraya Cassandra, pendiri Kebun Kumara yang memberikan keasrian di tengah polusi Jakarta. Segmen ini dituturkan secara memadai, namun selaku penutup, daya cengkeramnya kurang, apalagi setelah paparan soal Iskandar Waworuntu yang begitu menarik. Penyusunan urutan ditambah ketidakseimbangan bobot presentasi antara segmen memang kelemahan terbesar Semesta. Alhasil, penceritaan mengalir kurang lancar, meski relevansi dan urgensi pesan membuat filmnya tetap patut disimak.

Tidak ada komentar :

Comment Page: