SEMESTA (2020)
Rasyidharry
Februari 01, 2020
Amanda Marahimin
,
Chairun Nissa
,
Cukup
,
Documentary
,
Indonesian Film
,
Nicholas Saputra
,
REVIEW
Tidak ada komentar
Menampilkan Nicholas Saputra selaku
salah satu produser bersama Amanda Marahimin, daya tarik Semesta (atau dengan judul stylized
Semes7a) terletak pada premis mengenai langkah figur-figur dari tujuh
provinsi Indonesia merawat alam dengan cara berlainan sesuai agama,
kepercayaan, dan budaya masing-masing. Tapi timbul pertanyaan, “Haruskah
berjumlah tujuh?”. Sebab ketimbang memperkaya atau menguatkan, tuntutan
memaparkan kisah sejumlah itu malah menghasilkan ketidakseimbangan.
Apabila anda beranggapan “yang
penting pesannya baik”, maka dokumenter garapan Chairun Nissa (Hi5teria, Potongan) ini bisa jadi terasa
mulia, semulia perbuatan tokoh-tokohnya dalam kontribusi mereka memerangi
kerusakan alam yang mengakibatkan perubahan iklim. Tapi, tanpa bermaksud
mengecilkan relevansi maupun tingkat kepentingan pesan, jika fokus pembahasan
bukan pada “apa pesannya?” melainkan “bagaimana pesan dipaparkan?”, di situlah Semesta mulai menampakkan lubang,
khususnya seputar keseimbangan.
Maksudnya, dari ketujuh kisah yang
dituturkan secara runtut, ada yang amat berkesan hingga menyentuh hati, ada
yang informatif, namun ada pula yang sebatas presentasi permukaan, di mana “melengkapi
agar filmnya punya tujuh cerita” seolah merupakan alasan terkuat disertakannya
kisah itu. Dari Bali, Tjokorda Raka Kerthyasa (seorang budayawan, bangsawan,
sekaligus mertua Happy Salma) membuka Semesta
melalui tuturan mengenai hari raya Nyepi.
Mendengar proses merawat alam,
mungkin yang terbersit pertama kali di benak banyak orang adalah aktivitas kasat
mata seperti menanam pohon atau mengurangi pemakaian plastik, dan segmen
pertamanya spesial karena—sesuai dengan image
Bali—penonton diajak menilik kegiatan itu dari kacamata spritual. Sewaktu
Nyepi, seluruh aktivitas berhenti. Salah satu tujuannya tak lain memberi alam
kesempatan beristirahat untuk “mengisi ulang”. Faktanya, Nyepi berjasa mengurangi
sepertiga emisi harian Bali. Sekuen berisi deretan shot pemandangan kosong Ubud kala Nyepi terkesan mistis pula damai,
seolah mengajak penonton menyatu dengan alam meski cuma sesaat.
Segmen kedua menampilkan perjuangan
Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Itik di Kalimantan Barat, menjaga
kelestarian hutan yang mulai terancam akibat penebangan pohon ilegal,
berdasarkan adat setempat. Transisi dari Bali menuju Kalimantan Barat
memperkuat tujuan filmnya memperlihatkan bahwa proses melestarikan semesta
tidaklah memiliki perbedaan, apa pun agama dan budayanya. Tapi setelahnya, film
ini mulai tertatih sehingga kehilangan momentum.
Gerakan membangun PLTA di Desa Bea
Muring, Nusa Tenggara Timur oleh Romo Marselus Hasan tidak kalah penting pun
menambah pengetahuan penonton, hanya saja, akibat model presentasi filmnya,
kisah ini terasa repetitif, baik terkait latar (sebuah desa di daerah yang
kurang terjamah teknologi) maupun peristiwanya. Belum lagi jika membicarakan
soal konflik warga Pameu di pedalaman Aceh dengan invasi gajah yang habitatnya
dirampas industri. Cerita ini sejatinya kompleks. Bagaimana cara mengamankan
desa tanpa harus melukai gajah? Bahkan seorang warga sempat menyebut kalau satu-satunya
cara adalah membunuh para gajah.
Ini permasalahan dilematis yang tak
dimiliki keenam kisah lain. Sayang, ketimbang menggali lebih jauh, filmnya
sebatas memperlihatkan kegiatan doa bersama singkat, beberapa diskusi antara
warga, sebelum akhirnya memaksakan diri menutup cerita lalu menarik kesimpulan “Gajah
berguna merawat hutan, sehingga habitat dan populasi gajah wajib dijaga”.
Kurang informatif, inkonklusif, sekadar memaparkan permukaan.
Semesta mendapatkan momentumnya lagi lewat cerita Almina Kacili yang
mengoordinasi pelaksanaan sasi oleh wanita-wanita
di Raja Ampat, Papua Barat, juga pola hidup unik Iskandar Waworuntu sekeluarga
di Imogiri. Kisah dari Raja Ampat menarik, sebab sekali lagi penonton
mendapatkan pemahaman baru, kali ini tentang praktek sasi, yakni kesepakatan untuk menutup dan membuka suatu wilayah
dalam jangka waktu tertentu. Jamak dipakai guna mengelola sumber daya alam
darat, oleh para wanita Raja Ampat, sasi
diterapkan di perairan Laut Misool yang biota lautnya kerap dicuri pihak luar.
Jadi satu-satunya tuturan bernuansa
empowerment, saya tergerak mendukung
wanita-wanita tangguh tersebut, menjadikannya segmen yang paling kuat mengolah
emosi. Sedangkan mengunjungi kediaman Iskandar Waworuntu yang memilih tinggal
di perbukitan bernama “Bumi Langit” dan menerapkan pola hidup sehat berbasis
ilmu Islam guna menyatu dengan alam, menghadirkan keunikan tersendiri. Seluruh
aspek kehidupan beliau tak pernah lepas dari prinsip mencintai alam. Hanya
memakan makanan organik, memakai sumber energi alami, bahkan mendirikan masjid
dengan jendela diposisikan di arah kiblat. Sehingga, sewaktu menjalankan salat,
seseorang bakal menghadap langsung ke alam terbuka. Menyatu dengan alam saat
beribadah. Sungguh bernilai.
Terakhir ada Soraya Cassandra,
pendiri Kebun Kumara yang memberikan keasrian di tengah polusi Jakarta. Segmen
ini dituturkan secara memadai, namun selaku penutup, daya cengkeramnya kurang,
apalagi setelah paparan soal Iskandar Waworuntu yang begitu menarik. Penyusunan
urutan ditambah ketidakseimbangan bobot presentasi antara segmen memang
kelemahan terbesar Semesta. Alhasil,
penceritaan mengalir kurang lancar, meski relevansi dan urgensi pesan membuat
filmnya tetap patut disimak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar