CIRCUS OF BOOKS (2019)

Tidak ada komentar
Terkait tema LGBT miliknya, Circus of Books mampu menyatukan elemen-elemen seperti persekusi aparat, ketidakberpihakan hukum, agama, AIDS, keluarga khususnya parenthood, hingga dampak internet terhadap industri pornografi. Semuanya saling terkait, menyatu mulus tanpa menghilangkan fokus. Tapi yang membuat dokumenter ini spesial adalah protagonisnya, pasangan suami-istri, Barry Mason dan Karen Mason. Khususnya Karen, yang sepanjang 92 menit durasi filmnya, mengalami setumpuk pertentangan batin sampai akhirnya bertransformasi.

Rachel Mason selaku sutradara, merupakan puteri mereka. Filmnya pun dibuka oleh rekaman home video yang Rachel buat saat kecil. Kemudian, selama mewawancarai narasumber termasuk Micah (sang kakak) dan Josh (sang adik), ketimbang menjadi sosok tak terlihat di belakang kamera, wajah Rachel juga disorot, memperlihatkan reaksi-reaksinya. Tujuannya tak lain melahirkan keintiman dan kesan personal.

Sekilas, Keluarga Mason tampak biasa. Barry dikenal lewat senyum yang tak pernah luntur, sementara Karen merupakan sosok yang tegas, figur pemimpin, sekaligus Yahudi yang taat. Baru ketika remaja, tiga bersaudara itu tahu, bahwa orang tua mereka adalah pemilik Circus of Books, toko buku dan pornografi gay (majalah, DVD, alat seks) yang legendaris. Terletak di West Hollywood, California, toko ini ibarat suaka layaknya bar, di mana para gay bisa berinteraksi secara bebas. Bahkan, gang belakang toko kerap jadi lokasi orang-orang kehilangan keperjakaan. Gang itu disebut “Vaseline Alley”.

Semua berawal dari kesulitan finansial pada era 70an, yang membuat Karen dan Barry nekat menawarkan diri menjadi distributor majalah dewasa ternama Hustler buatan Larry Flint. Bisnis itu berkembang. Toko pun didirikan, bahkan di satu titik, pasutri Mason turut memproduseri film-film porno gay yang dibintangi Jeff Stryker. Tapi apa signifikansi sebuah toko barang-barang hiburan dewasa?

Bagi kaum hetero, pornografi sebatas alat melampiaskan nafsu. Tapi untuk gay, setidaknya mereka yang muncul sebagai narasumber, pada awal kemunculannya, ada kebanggaan menonton para gay bercumbu dengan bebas tanpa takut dihakimi. Berkat Circus of Books, beberapa orang tahu ia tidak sendiri di dunia ini. Pun mengetahui apa yang dilakukan Karen dan Barry membuat sahabat Rachel semasa SMA menyadari satu hal, bahwa saat tumbuh dewasa, individu tidak harus menjalani hidup sesuai jalur yang dianggap “wajar” oleh masyarakat.

Karen dan Barry menginspirasi tanpa disadari dan diniati. Keduanya tidak membenci LGBT, tidak berniat mengeksploitasi, tapi juga tak terlibat dalam pergerakan kemanusiaan apa pun. Semua murni bisnis yang dirahasiakan dari anak-anak mereka, yang wajib menundukkan kepala bila terpaksa harus diajak memasuki toko. Rachel sendiri baru tahu kalau Circus of Books merupakan toko porno semasa SMA. Fakta yang ia ketahui dari teman-teman, bukan orang tuanya.

Lalu tibalah kita pada penelusuran paling engaging, yakni seputar Karen. Dia berasal dari keluarga religius, adalah seorang religius, dan mendidik anak-anaknya agar menjadi religius. Karen bukan anti-LGBT, tapi menganggap itu sebagai konsep yang berada di luar lingkup kehidupan pribadi. Alhasi, meski dianggap sosok berpengaruh di komunitas gay, awalnya tak ada kebanggaan sedikit pun dalam dirinya terkait apa yang ia dan sang suami lakukan. Hal itu nampak saat beberapa kali Karen mengeluh  pada Rachel. “Kenapa kamu merasa ini pantas dijadikan dokumenter? Bagian mana yang menarik? Seharusnya kamu membahas hal lain saja”.

Sampai suatu hari, ia terpukul kala menyadari bahwa LGBT tidaklah “sejauh” itu, yang memancing dilema, mengingat agamanya mengharamkan hubungan sesama jenis. “Apabila terkait orang lain, mungkin kamu tidak bermasalah, tapi bagaimana jika itu menyangkut orang terdekatmu?”, jadi pertanyaan dilematis yang berusaha Karen (dan mungkin juga penonton) jawab. Paruh akhir Circus of Books fokus menyoroti proses Karen. Bagaiamana ia mempelajari kitab suci demi memahami konteks mengapa gay disebut sebagai “abomination”. Proses ini termasuk salah satu pemberi dampak emosional terbesar filmnya. Kamu bisa menjadi religius tanpa harus berpikiran sempit, dan sebaliknya, menjadi liberal bukan berarti mewajibkanmu membenci religiuisitas.

Mengangkat tema kompleks, bahkan sempat beberapa kali menyentuh ranah lebih kelam khususnya saat AIDS mewabah dan merenggut nyawa orang-orang di sekitar karakternya dalam waktu berdekatan, tak membuat Circus of Books terkesan berat apalagi depresif. Ingat, film ini melibatkan Ryan Murphy selaku produser eksekutif. Kelakar-kelakar menggelitik, juga estetika cheesy pornografi vintage, jadi alasan filmnya tetap tampil menghibur. Circus of Books adalah tontonan positif sekaligus penuh harap. Penutupnya memperlihatkan akhir sebuah era, namun bukan akhir perjuangan. Perjuangan untuk mencintai dan dicintai.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: