BULBBUL (2020)

1 komentar
Apa yang Bulbbul gagal lakukan adalah menyuguhkan horor mencekam. Sinopsis di halaman Netflix hingga materi-materi promosinya ibarat clickbait guna menggaet atensi penonton secara luas, membuat mereka berharap diteror, lalu mendapati filmnya lebih tertarik menyajikan drama, meski memang betul, mengandung elemen supernatural. Pun Anvita Dutt, yang melakoni debut penyutradaraan selepas karir panjang sebagai penulis lirik soundtrack, belum piawai memaksimalkan intensitas dalam membungkus adegan bernuansa horor.

TAPI, sebagai kritik terhadap isu gender, Bulbbul tampil tegas sekaigus berani mendobrak batas. Bukan kejutan, mengingat film ini diproduseri oleh Anushka Sharma—yang selalu vokal menyuarakan perihal kesetaraan gender—di bawah naungan rumah produksi miliknya, Clean Slate Films.

Mengambil latar tahun 1881, kita diperkenalkan pada sepasang bocah berusia 5 tahun, Bulbbul dan Satya. Tidak butuh waktu lama sampai kita sadar, Bulbbul hendak dibawa pergi dari rumah orang tuanya untuk dinikahkan. Tapi bukan dengan Satya (which is disturbing enough), melainkan dengan Indranil (Rahul Bose), kakak sulung Satya yang puluhan tahun lebih tua. Bulbbul memang gagal menampilkan horor supernatural memikat, namun kisahnya memaparkan realita yang jauh lebih mengerikan.

Selain Indranil dan Satya, di rumah tersebut juga tinggal saudara kembar Indranil yang mengalami gangguan mental, Mahendra (juga diperankan Rahul Bose) beserta sang istri, Binodini (Paoli Dam). Mahendra pun diperlihatkan menyimpan ketertarikan pada si kecil Bulbbul. Patriarki mengakar begitu kuat di keluarga ini, bahkan saat Bulbbul menjadi korban pelecehan, alih-alih mengulurkan tangan sebagai sesama wanita, Binodini malah menyuruhnya bungkam.

Itulah salah satu bentuk realita pahit yang tak dikesampingkan oleh naskah buatan Anvita Dutt. Sebagaimana gay bisa menjadi homophobic, orang kulit hitam bisa bertindak rasis terhadap komunitasnya, seksisme pun dapat terjadi antara wanita yang sama-sama jadi korban ketidakadilan. Sebabnya tak lain konsep patriarki yang telah mengakar sedemikian kuat dan dilestarikan sedemikian lama. “Satu-satunya hal pribadi dalam hidup istri adalah suaminya”, kata Indranil. Kalimat tersebut cukup menggambarkan keseluruhan dinamika yang terjadi.

Kemudian kisahnya melompat 20 tahun, ketika Satya (Avinash Tiwary) pulang dari London setelah menumpuh pendidikan hukum. Dia mendapati banyak perubahan. Indranil telah pergi, Mahendra tewas dibunuh oleh pelaku yang belum diketahui, sedangkan Bulbbul (Tripti Dimri) menjadi matriarch di keluarga. Satya merasa Bulbbul kini berbeda, dan penampilan Tripti Dimri, yang sebelumnya pernah berpasangan dengan Avinash Tiwary dalam Laila Majnu (2018), membuat kita ikut mengamini itu. Alurnya bergerak maju-mundur. Pada bagian flashback, Bulbbul masih sesosok wanita rapuh. Seorang korban yang hanya bisa pasrah dan beserah. Sementara di “era sekarang”, figurnya kokoh matanya bersinar, senyumnya lebar, menampakkan kesan cerah yang agak aneh (in a positive way), intimidatif, bahkan cukup creepy.

Tapi bukan cuma perubahan Bulbbul yang mengganggu pikiran Satya, pula kasus pembunuhan berantai yang semua korbannya adalah pria, tepatnya pria yang melakukan tindak kekerasan serta pelecehan kepada wanita. Dia pun mulai melakukan penyelidikan. Beberapa warga, termasuk Binodini, percaya bahwa pelakunya adalah penyihir dari legenda, walau Satya menaruh kecurigaan pada dokter bernama Sudip (Parambrata Chattopadhyay). Kecurigaan yang sejatinya bercampur rasa cemburu akibat kedekatan sang dokter dengan Bulbbul.

Beberapa adegan pembunuhan ditampilkan, mayat-mayat dipertontonkan, tapi seperti telah disinggung, Anvita Dutt belum memiliki kapasitas memadai guna memunculkan kengerian dan ketegangan dari rentetan peristiwa di atas. Sang sutradara cenderung mementingkan visual bergaya, salah satunya lewat penggunaan warna merah darah di adegan malam hari. Filmnya ditutup oleh efek suara tawa (atau tangisan?) wanita yang amat menyeramkan, memunculkan pertanyaan mengapa elemen itu tidak diterapkan sejak awal.

Adegan-adegan yang memperlihatkan pernikahan anak, domestic abuse, pedofilia, sampai pemerkosaan justru jauh lebih mengerikan serta menjijikkan, seolah Anvita jauh lebih tertarik mempresentasikan itu ketimbang horor supernaturalnya. Dan memang, paparan isunya kuat sekaligus berani. Romantisme ditiadakan demi menyuarakan “para pria ini semuanya sama”. Para pria yang dibutakan kecemburuan berdasarkan pemikiran bahwa si wanita merupakan miliknya, dan miliknya seorang. Pun gangguan mental tak bisa dijadikan pembenaran atas ketidakmampuan pria menyimpan kelaminnya tetap di dalam celana.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
Marsya mengatakan...

test