JAFF 2020 - THE BOY WITH MOVING IMAGE

Tidak ada komentar

Membuka perjalanan saya di JAFF 2020 yang diselenggarakan secara daring adalah The Boy with Moving Image karya Roufy Nasution, yang dalam debut penyutradaraannya ini, rasanya menyimpan tujuan yang tidak jauh beda dengan protagonisnya, Vaiyang (Bryancini Galgala), yang juga seorang sutradara. “Jadi beda itu buatku lebih baik daripada jadi lebih baik”, begitu ucap Vaiyang, selepas mempertontonkan film pendek buatannya kepada Ning (Nithalie Louisza).

Mendengar itu, saya bertanya-tanya. Bukankah judul-judul seperti Hantu Cantik Kok Ngompol?, Mr. Bean Kesurupan Depe, Wahana Rumah Hantu, Comic Kong X Kong, dan rekan-rekan seperjuangannya pun berbeda? Apakah mereka lebih baik? Mungkin. Jika anda menganggap buang air besar di celana lebih baik daripada di toilet.

Tapi biarlah keduanya memegang prinsip mereka. Kembali ke filmnya, The Boy with Moving Image sejatinya potensial, baik dari gagasan cerita maupun gaya. Kisahnya dibuka dengan memperlihatkan Ning yang berulang kali menampar dan mencekik dirinya sendiri. Tiba-tiba datang Vaiyang, yang hendak menjadikan rumah Ning sebagai lokasi pembuatan film atas rekomendasi temannya, Roufy. Ning bersedia meminjamkan rumah secara gratis, dengan syarat, Vaiyang mau menemaninya sampai ia mati besok.

Entah karena alasan apa, Ning yakin ajalnya akan menjemput esok hari. Walau sempat dibuat bingung, demi lokasi gratis, Vaiyang pun setuju. Keduanya mulai melakukan berbagai hal bersama, dari makan, bermain bulutangkis, bermain musik, belajar merokok, dan lain-lain. Vaiyang bak membawa angin segar ke dalam hidup Ning lewat berbagai hal baru. Dan kita pun tahu, kalau Ning menjadi suicidal akibat kepergian kedua orang tuanya, yang meninggal di kecelakaan pesawat enam bulan lalu.

Perlahan Ning mulai tersenyum, bahkan tertawa. Titik balik terjadi ketika Ning minta diajari berakting, kemudian Vaiyang menyuruhnya mengucapkan kalimat, “Namaku Emma Ningrum. Aku ingin segera mati supaya bisa segera berjumpa keluargaku di surga”, di depan kamera, dengan beraneka emosi, termasuk bahagia. Seni peran memang dapat digunakan sebagai media katarsis, bahkan terapi psikologis. Vaiyang (dan Roufy) memahami itu.

Jadi apakah film ini bicara soal proses penyembuhan diri seiring dengan hilangnya kesepian? Saya sempat mengira demikian, hingga konklusinya berkata lain. Di situ The Boy with Moving Image berubah jadi kisah mengenai pria yang berekspektasi tanpa berusaha memahami. Berulang kali Ning menyampaikan gambaran-gambaran duka yang ia rasakan, tetapi Vaiyang, seolah tanpa kepekaan, membiarkan gambar-gambar tersebut berlalu, bergerak pergi tanpa berupaya menangkapnya.

Sekali lagi, gagasan yang menarik, dan tentu saja dengan pendekatan berbeda. Tapi kembali, apakah berbeda selalu lebih baik? Tidak, jika digarap dengan kurang mumpuni sebagaimana film ini. Saya memahami keterbatasan biaya, dan mengapresiasi Roufy beserta segenap tim yang terus maju meski dengan biaya terbatas, namun buruknya tata suara, di mana begitu banyak suara yang bocor (motor lewat maupun kegaduhan-kegaduhan lain), sungguh mengganggu. Dan jika ada yang menganggap suara tersebut merupakan penguat nuansa, dengan tegas saya akan membantahnya.

The Boy with Moving Image dibungkus menggunakan banyak still shot, nuansa aneh nan canggung, serta komedi deadpan. Mungkin Roufy banyak terinspirasi oleh karya-karya Roy Andersson dan Yorgos Lanthimos. Sayangnya, selain sinematografi ala kadarnya yang tak mampu menyokong pembangunan ke-quirky­-an sesuai harapan, pengadeganan Roufy pun belum terlalu matang. Satu-satunya tawa cuma berhasil dihasilkan di shot penutup, berkat ketepatan absurditas yang melahirkan ironi menggelitik.

Absurditas seperti itulah yang film ini butuhkan. Paling tidak paruh keduanya menampilkan banyak upaya mencapai sana, walaupun sepertinya, begitu sampai di titik itu, penonton sudah terlanjur lelah, atau bahkan seperti saya, kesal. Bagaimana tidak? Separuh pertamanya sungguh tak tertahankan. Obrolan seputar eksistensialisme disajikan melalui kalimat-kalimat seadanya, yang jangankan memancing perenungan penonton, enak didengar pun tidak.

Semakin parah sewaktu pemainnya, terutama Bryancini Galgala, bermain buruk. Entah tegang, entah tidak tahu apa yang dibicarakan. Padahal selain Roufy, naskahnya juga ditulis oleh kedua pemain utama. Contohnya saat Vaiyang menjelaskan film Good Will Hunting pada Ning dengan tidak lancar, datar, dan canggung. Tujuannya adalah menimbulkan ketertarikan Ning untuk menonton karya Gus Van Sant tersebut. Tapi jangankan menggerakkan hati sang gadis, membuat penonton tertarik memperhatikan ucapannya saja tak mampu.  


Available on KLIK FILM (25-29 November 2020)

Tidak ada komentar :

Comment Page: