REVIEW - ROH
Untuk pertama kalinya, Malaysia (dan
Indonesia) mengirim horror ke ajang Academy Awards. Setelah menonton Roh—yang akhir tahun lalu sempat diputar
di JAFF—saya memahami keputusan tersebut. Debut Emir Ezwan selaku sutradara
sekaligus penulis naskah ini masih jauh dari sempurna, namun mampu merepresentasikan
dua hal: 1) Kultur agama di sana; dan 2) Menyiratkan masa depan menjanjikan horor
Malaysia melalui suguhan alternatif, yang selama ini dikuasai produk-produk “berisik”.
Filmnya mempunyai gadis misterius, hewan mati, pendekatan atmosferik
bertempo lambat, serta latar hutan, yang mengingatkan pada The Witch (2015) buatan Robert Eggers. Di hutan itu tinggal wanita
bernama Mak (Farah Ahmad) bersama kedua anaknya, Along (Mhia Farhana) dan Angah
(Harith Haziq). Kehidupan damai mereka berubah setelah kedatangan gadis cilik
tanpa nama (Putri Qaseh), yang sebelumnya kita temui di adegan pembuka creepy, saat tengah berdiri di depan
kobaran api lalu menusuk-nusuk sebuah makam kecil.
Gadis itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, tapi sekalinya bicara, dari
mulutnya justru keluar ramalan mengenai kematian Mak, Along, dan Angah, tepat
pada malam purnama. Itulah awal dari rangkaian teror, yang turut melibatkan
kemunculan Tok (Junainah M. Lojong) si dukun wanita dan seorang pria (Namron)
yang dipanggil “Pemburu”. Semua dibalut musik mencekam karya Reinchez Ng, juga sinematografi
dari Saifuddin Musa, yang menangkap keangkeran hutan. Kedua elemen itu
mendukung pendekatan atmosferik Ezwan.
Bulan berawan, pohon-pohon lebat yang bak menyembunyikan suatu kejahatan
dalam kegelapan, hingga mayat rusa yang mengingatkan pada kengerian sewaktu
kata “mati” dan “hutan” bertemu, jadi pemandangan yang akan membuat penonton
tak pernah merasa aman. Nyaris tidak ada jump
scare. Setidaknya bukan jump scare berisik.
Kombinasikan dengan tempo lambat, Roh mungkin
bakal melelahkan bagi banyak penonton arus utama yang belum terbiasa dengan
pendekatan serupa.
Pun penceritaan subtil sarat ambiguitas berpotensi menimbulkan beberapa
kebingungan, khususnya akibat pemakaian beberapa penyuntingan (tak perlu) yang
bermain-main dengan linimasa alurnya. Tapi sejatinya, anda tak perlu memahami
seluruh detail guna menangkap poin utamanya. Pemahaman terhadap teks narasi
pembuka yang mengutip Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 12 dan 14 mengenai iblis
yang menyebut dirinya lebih hebat dari manusia karena tercipta dari api, hingga
perkataan Tok tentang iblis yang tak mampu melukai manusia secara langsung, sudah
cukup.
Gagasannya sederhana. Bahkan formulaik. Bahwa iblis selalu berusaha menipu
manusia demi membuktikan superioritas mereka. Dan sewaktu manusia kehilangan
iman, apalagi tatkala kelemahannya terpapar saat bergulat dalam duka, di situlah
peluang iblis terbuka. Selain membangun atmosfer berhias creepy imageries sebagai sutradara, sebagai penulis, Emir Ezwan
berhasil menjalin cerita yang tak mengandung banyak cabang, tapi tersaji padat,
juga cerita bernuansa religi tanpa perlu menyajikan ceramah menggurui. Itulah
mengapa Roh pantas mewakili Malaysia.
Walau masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah, film ini merupakan bukti jika
sinema Malaysia sudah siap berkembang.
Available on KLIK
FILM
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar