Tampilkan postingan dengan label Malaysian Movie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Malaysian Movie. Tampilkan semua postingan

REVIEW - BLOOD BROTHERS: BARA NAGA

Blood Brothers: Bara Naga, yang hingga tulisan ini dibuat bercokol di posisi kedua daftar film Malaysia terlaris sepanjang masa, mengangkat kisah persaudaraan berlatar dunia kriminal, yang menebarkan aroma khas sinema Hong Kong era 90-an. Komparasi yang lebih spesifik sekaligus presisi mungkin demikian: film terbaru Syafiq Yusof (berduet di kursi sutradara dengan Abhilash Chandra) ini punya jiwa The Godfather dan fisik The Raid. 

Sebutan "blood brothers" yang terpampang di judulnya merujuk pada hubungan Ghaz (Sharnaaz Ahmad) dan Ariff (Syafiq Kyle), yang sudah seperti kakak-beradik kandung karena kesamaan nasib di kehidupan keduanya. Walau tak sedarah, mereka tetap terikat janji darah kala menyatakan kesetiaan pada organisasi Dato Zul (Wan Hanafi Su), yang merupakan salah satu anggota kelompok 7 Naga. 

Dato Zul menguasai segala bisnis dunia hitam. Saking berkuasanya, pihak kepolisian pun tak mampu meringkus sang naga. Sebagai orang kepercayaan sekaligus anak angkat Dato Zul, Ghaz pun memiliki kekuasaan serupa. Apalagi ia hendak menikahi putri bosnya tersebut, Sheila (Amelia Henderson). Fadlan (Shukri Yahaya), adik Sheila, juga nampak sepenuhnya berada di belakang Ghaz. 

Siapa yang tak gentar di hadapan Ghaz? Tubuh tinggi besar, kekar, lengkap dengan brewok memenuhi wajahnya, yang oleh Ghaz sendiri disebut sebagai "jambang surga". Blood Brothers memang masih meluangkan waktu untuk menyelipkan humor penyegar, terutama selepas Jaki (Syazwan Zulkifly), kakak kandung Ariff yang menyandang posisi comic relief, mulai terseret ke dalam konflik dunia kriminalnya. 

Bukan cuma Ghaz dan Ariff. Semua anggota organisasi Dato Zul memiliki ikatan kuat bak keluarga. Mereka bermain biliar bersama sambil minum-minum, tertawa, pula berpelukan guna merayakan persaudaraan yang begitu solid. Sampai terjadilah tragedi yang membuat Ariff dituduh mengkhianati organisasi dan mesti berhadapan dengan Ghaz yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri. 

Pengkhianatan, saling tusuk dari belakang, teman jadi musuh, musuh jadi teman. Sekali lagi, layaknya sinema kriminal Hong Kong dari masa lalu, Blood Brothers menegaskan soal ketiadaan loyalitas hakiki di dunia hitam. Di satu titik, Dato Zul resmi menyerahkan tahtanya pada Ghaz. Sheila menyaksikan peristiwa itu dari celah pintu kamar yang terbuka sambil memasang wajah khawatir, yang mengingatkan ke pemandangan ikonik saat Kay menyadari Michael Corleone telah dianugerahi gelar "Don" di akhir The Godfather. 

Peliknya konspirasi dunia kriminal memungkinkan film ini untuk memasang kejutan demi kejutan di beberapa titik alurnya. Beruntung, naskah buatan Abhilash Chandra, Ghazwan Tomasi, Ayam Fared, dan Ashraf Modee Zain masih mampu mengontrol kuantitas twist-nya supaya berada di takaran yang tepat, dan tidak lepas kendali layaknya film Syafiq Yusof sebelumnya, Sheriff: Narko Integriti (2024). 

Adegan aksi tetap jadi nilai jual terbesar Blood Brothers. Dibantu tata kamera dinamis arahan Nicholas Chin, Syafiq Yusof dan Abhilash Chandra berhasil menyusun deretan baku hantam hard-hitting yang penuh gaya, pula melaju cepat, tanpa harus menyulitkan penonton menyaksikan detail gerakan di layar. Sewaktu pertarungan finalnya melempar penghormatan yang layak terhadap klimaks The Raid melalui satu lagi suguhan "threesome" intens, sah sudah status Blood Brothers: Bara Naga sebagai salah satu film aksi terbaik tahun ini. 

REVIEW - SHERIFF: NARKO INTEGRITI

Sheriff: Narko Integriti karya sutradara Syafiq Yusof (Misteri Dilaila, Polis Evo 3) tidak se-brainless yang saya duga. Pergulatan tokoh-tokohnya menampilkan aksi kucing-kucingan yang mengedepankan permainan pikiran. Keseimbangan antara otak dan otot sempat didapat, sebelum ia tergoda menjerumuskan diri ke dalam lubang yang kerap melemahkan sajian misteri macam ini, yakni menumpuk twist yang dipaksa hadir terlampau banyak di penghujung durasi. 

Kata "Sheriff" di judulnya bukan merujuk pada jabatan kepolisian, melainkan nama sang protagonis, Sherifuddin Hussein (Zul Ariffin), anggota ISCD (Integrity and Standards Compliance Department) yang bertugas menangkap sesama polisi yang melakukan tindak kriminal. Perawakannya tinggi besar, tidak kenal takut di hadapan penjahat, gemar pula melempar lelucon sarkas. Sosoknya mengingatkan pada karakter Ma Seok-do (Don Lee) di seri The Roundup. 

Sasaran Sherifuddin kali ini adalah pembunuh berantai yang dipanggil "Meth Killer" karena modus operandinya. Pertama, dia hanya mengincar anggota geng pengedar narkoba yang dipimpin Tony Ifrit (Aaron Aziz). Kedua, karena ia selalu menabur sabu-sabu di atas mayat korban. Identitas "Meth Killer" adalah Nazri "Naz" Mutalib (Syafiq Kyle), polisi dari departemen narkotika. 

Di situlah letak daya tarik naskah buatan Syafiq Yusof dan Nazifdin Nasrudin (berdasarkan cerita karya Yusof Haslam, ayah Syafiq). Identitas si pembunuh sudah diungkap sejak awal. Kita tahu ia polisi, yang juga memiliki kakak seorang polisi dari departemen yang sama, yaitu Syazlin (Azira Shafinaz). Alhasil Sheriff: Narko Integriti bisa sepenuhnya menaruh fokus pada gesekan antara Sherif dan Naz, daripada cuma memaksa penonton menantikan pengungkapan jati diri sang pelaku di akhir. 

Begitu ditugaskan mengusut kasus, Sherif langsung mencurigai bahwa pelakunya merupakan salah satu anggota departemen narkotika. Dia pun mengadakan interogasi, di mana hampir semua polisi tak memiliki alibi meyakinkan. Hanya Naz yang punya alibi sempurna. Terlalu sempurna, hingga Sherif menaruh kecurigaan terhadapnya. Permainan pikiran penuh adu taktik macam itulah yang menyusun film ini di paruh keduanya.

Bagaimana Naz berupaya mengecoh penyelidikan Sherif, dan sebaliknya, bagaimana Sherif kukuh mencari pengakuan Naz, menghasilkan suguhan cerita detektif yang seru. Apalagi Syafiq Yusof mampu bercerita dengan pacing cepat yang tak pernah terasa berantakan, sambil sesekali menyelipkan sekuen aksi untuk menambah daya hibur, termasuk sebuah kejar-kejaran mobil yang cukup intens. 

Sheriff: Narko Integriti punya bekal memadai, tapi tidak untuk bertahan selama 132 menit. Durasinya bergulir terlalu lama, hingga filmnya kehabisan bensin memasuki paruh akhir. Tidak ada lagi adu taktik menegangkan. Hanya ada klimaks berisi baku tembak konvensional, serta penantian menuju konklusi yang diisi begitu banyak kejutan, yang akhirnya tak lagi mengejutkan. Setiap filmnya seperti hendak usai, muncul twist baru yang memperpanjang kisahnya selama beberapa menit. Melelahkan.

REVIEW - LA LUNA

Bagi sebagian orang, hal paling menyeramkan dalam hidup adalah perubahan. Karena perubahan membawa kebaruan. Muncul hal-hal asing yang mungkin sukar dimengerti, sehingga memancing ketakutan, bahkan kebencian di hati mereka yang sukar membuka pikiran. Pada akhirnya, demi meniadakan perubahan, kontrol sewenang-wenang pun kerap dilakukan.

Di La Luna yang merupakan produksi bersama Malaysia dan Singapura ini, kita dibawa mengunjungi Bras Basah, sebuah kampung konservatif di mana aturan agama ditegakkan secara ketat. Majalah atau produk apa pun yang menampilkan perempuan berpakaian terbuka langsung terkena sensor (foto model perempuan diwarnai memakai spidol agar nampak memakai jilbab). 

Sejatinya tidak seluruh warga nyaman dengan aturan tersebut, hanya saja mereka terpaksa menurut akibat rasa takut pada si kepala desa, Tok Hassan (Wan Hanafi Su) yang memerintah dengan tangan besi. Ketika Azura (Syumaila Salihin), puteri Salihin (Shaheizy Sam) si kepala polisi, berniat menyebar petisi guna mengubah aturan kolot di sana, Tok Hassan langsung menggeledah tas si gadis remaja, kemudian menyita petisi tersebut. Tiada privasi di Bras Basah. 

Harapan akan perubahan muncul sejak kedatangan Hanie (Sharifah Amani), yang dengan berani membuka toko pakaian dalam bernama La Luna, walau ditentang keras oleh Tok Hassan. Dari situlah naskah buatan sang sutradara, M. Raihan Halim, mulai mengeksplorasi permasalahan ketakutan tadi. 

Tok Hassan takut pada segala jenis perubahan, bahkan di saat perubahan itu mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat. Entah keberadaan toko pakaian dalam yang menyulut kembali api asmara di rumah tangga banyak pasutri, maupun kala Ustaz Fauzi (Iedil Dzuhrie Alaudin) hendak mendesain khotbah agar lebih menghibur bagi jemaah. 

Seiring waktu, La Luna milik Hanie turut mengalami perkembangan fungsi. Toko yang melarang laki-laki menginjakkan kaki itu menjadi ruang aman bagi perempuan. Tatkala Yam (Nadiya Nissa) tak lagi tahan atas tindak kekerasan sang suami, Pa'at (Hisyam Hamid), La Luna jadi satu-satunya tempat aman baginya. Alhasil, beberapa laki-laki membenci La Luna, sebab di sana mereka tak lagi memegang kendali. Jadilah film ini sebuah sentilan mengenai terancamnya maskulinitas lelaki. 

La Luna tidak ketinggalan menyelipkan bumbu romansa antara Hanie dan Salihin, dalam kemasan komedi screwball yang bernyawa berkat kelihaian dua pemainnya saat saling melempar banter. Saya sempat khawatir dinamika percintaan keduanya bakal jatuh ke ranah klise (laki-laki jantan menolong perempuan yang ketakutan) sewaktu Salihin datang ke rumah Hanie yang dimasuki seekor ular. Tapi nyatanya momen itu jadi satu lagi amunisi filmnya untuk menyindir maskulintas.

Tentu La Luna masih menyimpan kekurangan, tapi menariknya, ia selalu menawarkan penebusan di saat bersamaan. Misal terkait karakter Tok Hassan yang seiring durasi mulai berubah dari tetua super kolot menjadi sosok yang benar-benar jahat. La Luna tak membutuhkan antagonis sekotor itu untuk dapat menyampaikan pesannya, namun di sisi lain, transformasi Tok Hassan juga melahirkan sindiran baru, yakni tentang individu yang terperosok terlampau jauh ke lubang kegelapan akibat dibutakan kebencian.  

Cara naskahnya menyelesaikan permasalahan pun terlalu bergantung pada elemen kebetulan (Bagaimana jika pertemuan Tok Hassan dan Salihin terjadi di tempat lain?), yang untungnya langsung ditutupi oleh keberhasilan menyuguhkan ending hangat yang terasa membebaskan. 

La Luna sama sekali bukan bertujuan menggugat nilai agama. Pesan yang ia sampaikan amat sederhana, yaitu "terbukalah pada perubahan". Cepat atau lambat perubahan akan datang. Entah modernisasi besar-besaran layaknya yang dialami warga Bras Basah, atau hal kecil seperti saat Salihin menghadapi pendewasaan Azura.  

(Tayang di bioskop 6 Desember)

REVIEW - ROH

Untuk pertama kalinya, Malaysia (dan Indonesia) mengirim horror ke ajang Academy Awards. Setelah menonton Roh—yang akhir tahun lalu sempat diputar di JAFF—saya memahami keputusan tersebut. Debut Emir Ezwan selaku sutradara sekaligus penulis naskah ini masih jauh dari sempurna, namun mampu merepresentasikan dua hal: 1) Kultur agama di sana; dan 2) Menyiratkan masa depan menjanjikan horor Malaysia melalui suguhan alternatif, yang selama ini dikuasai produk-produk “berisik”.

Filmnya mempunyai gadis misterius, hewan mati, pendekatan atmosferik bertempo lambat, serta latar hutan, yang mengingatkan pada The Witch (2015) buatan Robert Eggers. Di hutan itu tinggal wanita bernama Mak (Farah Ahmad) bersama kedua anaknya, Along (Mhia Farhana) dan Angah (Harith Haziq). Kehidupan damai mereka berubah setelah kedatangan gadis cilik tanpa nama (Putri Qaseh), yang sebelumnya kita temui di adegan pembuka creepy, saat tengah berdiri di depan kobaran api lalu menusuk-nusuk sebuah makam kecil.

Gadis itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, tapi sekalinya bicara, dari mulutnya justru keluar ramalan mengenai kematian Mak, Along, dan Angah, tepat pada malam purnama. Itulah awal dari rangkaian teror, yang turut melibatkan kemunculan Tok (Junainah M. Lojong) si dukun wanita dan seorang pria (Namron) yang dipanggil “Pemburu”. Semua dibalut musik mencekam karya Reinchez Ng, juga sinematografi dari Saifuddin Musa, yang menangkap keangkeran hutan. Kedua elemen itu mendukung pendekatan atmosferik Ezwan.

Bulan berawan, pohon-pohon lebat yang bak menyembunyikan suatu kejahatan dalam kegelapan, hingga mayat rusa yang mengingatkan pada kengerian sewaktu kata “mati” dan “hutan” bertemu, jadi pemandangan yang akan membuat penonton tak pernah merasa aman. Nyaris tidak ada jump scare. Setidaknya bukan jump scare berisik. Kombinasikan dengan tempo lambat, Roh mungkin bakal melelahkan bagi banyak penonton arus utama yang belum terbiasa dengan pendekatan serupa.

Pun penceritaan subtil sarat ambiguitas berpotensi menimbulkan beberapa kebingungan, khususnya akibat pemakaian beberapa penyuntingan (tak perlu) yang bermain-main dengan linimasa alurnya. Tapi sejatinya, anda tak perlu memahami seluruh detail guna menangkap poin utamanya. Pemahaman terhadap teks narasi pembuka yang mengutip Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 12 dan 14 mengenai iblis yang menyebut dirinya lebih hebat dari manusia karena tercipta dari api, hingga perkataan Tok tentang iblis yang tak mampu melukai manusia secara langsung, sudah cukup.

Gagasannya sederhana. Bahkan formulaik. Bahwa iblis selalu berusaha menipu manusia demi membuktikan superioritas mereka. Dan sewaktu manusia kehilangan iman, apalagi tatkala kelemahannya terpapar saat bergulat dalam duka, di situlah peluang iblis terbuka. Selain membangun atmosfer berhias creepy imageries sebagai sutradara, sebagai penulis, Emir Ezwan berhasil menjalin cerita yang tak mengandung banyak cabang, tapi tersaji padat, juga cerita bernuansa religi tanpa perlu menyajikan ceramah menggurui. Itulah mengapa Roh pantas mewakili Malaysia. Walau masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah, film ini merupakan bukti jika sinema Malaysia sudah siap berkembang.


Available on KLIK FILM

POLICE EVO (2019)

Film produksi gabungan antara Malaysia dengan Indonesia ini bagaikan quasi-reboot bagi seri Polis Evo. Walau masih menampilkan Shaheizy Sam dan Zizan Razak sebagai pemeran utama, filmnya berubah jalur dari buddy cop berbumbu komedi menjadi sajian police procedural yang lebih kelam. Cerita kedua film pun tak berkaitan, sementara pemilihan judulnya dibedakan, antara versi Malaysia (Polis Evo 2) dan internasional termasuk Indonesia (Police Evo).

Ceritanya mengetengahkan usaha pihak kepolisian memberantas kelompok teroris al-Minas, yang punya keterkaitan dengan pengedar narkoba bernama Riky (Tanta Ginting). Polri yang membantu kepolisian Malaysia, menempatkan Rian (Raline Shah) sebagai mata-mata di kubu Riky. Tapi setelah sebuah penyergapan yang gagal, Rian pun sadar bahwa ada pengkhianat yang selama ini selalu membocorkan rencana polisi kepada Riky.

Celaka bagi Rian, suatu insiden membuatnya dituduh sebagai pembunuh. Guna membersihkan namanya, dia pun mesti meringkus Riky, yang menyimpan seluruh barang bukti. Situasi semakin kompleks setelah Riky justru ditangkap pihak al-Minas, yang juga berencana menyandera puluhan warga pulau fiktif bernama Cherong. Al-Minas menuntut pembebasan ketua mereka, yang ditahan polisi pasca tertembak di suatu penyergapan berujung baku tembak.

Secara bersamaan, Inspektur Khai (Shaheizy Sam) dan Inspektur Sani (Zizan Razak) dari Malaysia pun tengah memimpin penyelidikan sebuah tim kecil di Cherong. Terjebak di situasi mematikan yang tidak terduga, kedua aparat beda negara itu pun harus bersatu, bukan hanya untuk melumpuhkan para teroris, pula melindungi nyawa puluhan manusia, termasuk mereka sendiri.

Timbul masalah penceritaan tatkala naskahnya kerepotan membagi fokus antar-karakter, yang masing-masing menyimpan potensi melahirkan konflik kompleks nan menarik. Misalnya Sani, yang sepanjang film menemui berbagai situasi—yang senantiasa melibatkan “pemakaian pistol” serta “menyelamatkan warga sipil”—di mana ia dituntut menarik keputusan cepat. Puncaknya adalah ujian terhadap prinsip sekaligus kondisi psikisnya, walau gejolak yang dihasilkan kurang dieksplorasi, pun berakhir terlampau gampang. Sedangkan story arc milik Rian yang menghadapi tuduhan palsu hanya berakhir selaku hiasan yang tak pernah terasa substansial, tidak peduli semeyakinkan apa pun Raline Shah memerankan jagoan aksi wanita.

Aktor Hasnul Rahmat memerankan Hafsyam, adik pimpinan al-Minas yang untuk sementara menggantikan peran sang kakak menggerakkan aksi para anggotanya “mencari surga”. Hasnul tampil apik memerankan antagonis sinting, seorang teroris seksis yang penuh keyakinan bahwa ia merupakan prajurit Tuhan. Sosoknya semakin mengerikan berkat kemampuannya mempermainkan psikis korban. Di tangan Hasnul, orasi-orasi Hafsyam mengingatkan saya betapa teroris pembawa bendera agama garis keras memang iblis mengerikan. Andai terdapat lebih banyak eksplorasi untuk ideologi Hafsyam, terlebih melihat keterlibatan al-Minas dalam bisnis jual-beli narkoba (yang mana diharamkan) demi membantu tercapainya tujuan mereka.

Jajaran aksi penuh letusan senjata maupun ledakan bom hadir dalam dosis tinggi, walau di banyak kesempatan, duo sutradara, Joel Soh dan Andre Chiew, terlalu bergantung pada quick cuts yang melucuti intensitas. Beruntung kelemahan itu dibayar lunas oleh keseruan babak ketiganya. Menampilkan musik heart-pumping garapan tim Maveriq Studios dan momen heroik tokoh-tokohnya, klimaks menegangkan tercipta. Ketiga tokoh utama digiring menuju pertarungan maha berat yang mampu memancing saya bertanya, “Bagaimana mereka akan lolos dari semua ini?”. Police Evo juga layak diapresiasi atas kesediaan menghormati penonton dengan tak menerapkan deus ex machina sebagai alat penyelesai masalah, meski pilihan itu sejatinya terbuka lebar.

Di dalam medan perang berbahaya di Pulau Cherong, sosok Shaheizy Sam paling menonjol. Dikenal sebagai aktor penuh komitmen yang bersedia mengubah tubuhnya demi peran, Shaheizy bukan cuma terlihat meyakinkan selaku jagoan aksi lewat otot-otot besarnya, pula mengerahkan seluruh daya upaya kala menangani luapan-luapan emosi juga pertarungan hard-hitting.

MISTERI DILAILA (2019)

Misteri Dilaila memperoleh hype sebagai film Malaysia pertama dengan dua versi yang dirilis di bioskop secara bersamaan. Tentu pertanyaan terbesar bagi penonton adalah, “Versi mana yang lebih unggul dan sebaiknya ditonton?”. Bagi saya tidak dua-duanya.

Masing-masing versi menyimpan perbedaan di thrid act, yang berjalan sekitar 15 menit (total durasi versi pertama 81 menit, versi kedua 82 menit) dan dibangun berdasarkan prinsip tunggal: Memberi twist sebanyak serta semengejutkan mungkin, meski logika mesti dibuang jauh. Bahkan, semakin Syafiq Yusof (Abang Long Fadil, KL Special Force)—selaku sutradara sekaligus penulis—berusaha membuat konklusinya mengagetkan, semakin bertambah lubang dalam alurnya.

Premis Misteri Dilaila sesungguhnya menarik. Meminjam formula thriller-misteri yang kemungkinan bakal mengingatkan pada karya-karya Alfred Hitchcock (ambiguitas identitas, elaborate scheme, dan lain-lain), kisahnya terjadi saat Jefri (Zul Ariffin) dan sang istri, Dilaila (Elizabeth Tan), mengunjungi villa warisan orang tua Dilaila—yang terlihat menawan berkat kerja memukau tim artistik. Berniat menghabiskan waktu bersama, pasca pertengkaran di malam hari, Jefri justru terbangun keesokan paginya untuk mendapati sang istri telah lenyap.

Dibantu Inspektur Azman yang diperankan Rosyam Nor melalui performa menghibur khususnya kala ia melemparkan beberapa celetukan bernada sarkasme menggelitik, Jefri memulai pencariannya. Tapi tak lama berselang, Imam setempat (Namron) datang bersama Dilaila, (berikutnya dipanggil “Dilaila II”) yang kabur ke kontrakannya setelah bertengkar dengan Jefri. Alih-alih lega, Jefri malah kebingungan, sebab sosok di hadapannya itu punya wajah berbeda dari Dilaila yang ia kenal.

Jefri bersikeras bahwa Dilaila II (Sasqia Dahuri) merupakan penipu, dan kita sebagai penonton pun tahu wajahnya berbeda. Tapi tiada satu pihak pun mempercayai Jefri, termasuk Inspektur Azman yang lama-lama menganggapnya gila. Pemicunya adalah ketidakmampuan Jefri membuktikan kepalsuan Dilaila II. Seisi villa tak memasang foto wajahnya, sementara telepon genggam Jefri ikut menghilang bersama istrinya. Berikutnya, Misteri Dilaila mengajak kita menebak, apakah Jefri memang kehilangan kewarasan atau justru korban rencana jahat terstruktur.

Zul Ariffin menjalankan tugasnya dengan cukup baik memerankan pria kebingungan lewat gaya akting menghibur. Seolah sang aktor sadar jika tidak sedang berada di tengah film serius dan memilih bersenang-senang menerapkan akting penuh letupan, walau naskah buatan Yusof gemar memaksanya berteriak dan merengek memohon pertolongan Inspektur Azman, yang lama-kelamaan terdengar menyebalkan. Pun Jefri kerap mengambil keputusan bodoh yang tambah menyudutkannya. Jefri mungkin jarang menonton horor, sehingga tak tahu salah satu “aturan” dasar: Jika menemukan suatu hal penting, apa pun yang terjadi, jangan meninggalkannya, atau hal itu bakal hilang.

Penyutradaraan Yusof membawa Misteri Dilaila bergerak solid berkat tempo dinamis penyokong kisah yang selalu meninggalkan tanda tanya. Alhasil, alurnya padat, bahkan tatkala di sela-sela misteri, unsur horor supranatural minim substansi dipaksakan masuk. Jump scare-nya, biarpun lagi-lagi dibungkus tata suara berlebihan, rupanya cukup efektif melahirkan efek kejut, didukung riasan untuk deretan hantu yang disturbing.

Sekarang mari membicarakan dua varian ending-nya. Saya menonton versi pertama dahulu, lalu mendapati betapa versi tersebut penuh lubang. Eksistensi elemen horornya dijelaskan secara bodoh, sedangkan penjabaran twist perihal identitas Dilaila II tampil menggelikan akibat mengandalkan sederet ketidaksengajaan dan variabel yang mustahil dikontrol agar bisa terjadi sedemikian rupa. Kejanggalan malah bertambah setelah fakta sesungguhnya diungkap.

Namun ketika saya merasa versi pertamanya buruk, versi keduanya menampilkan keburukan yang lebih memabukkan. Kejutannya makin konyol, demikian pula karakternya yang menggiring diri mereka sendiri ke dalam situasi rumit hanya untuk memperoleh hal sederhana. Saya berasumsi, Yusof menulis versi pertama dulu, kemudian memikirkan cara agar versi kedua jauh berbeda. Dia perlu meluangkan lebih banyak usaha memperbaiki konklusinya ketimbang sibuk menerapkan mask transition (transisi adegan memakai objek bergerak), walau harus diakui, gaya penyuntingan itu merupakan pilihan artistik menarik.

VERSI 1

VERSI 2

MUNAFIK 2 (2018)

Munafik (2016) adalah horor overrated biarpun jauh dari buruk. Filmnya sedemikian fenomenal tak lain karena kedekatan kultural serta keberanian sutradara sekaligus penulis naskah (plus aktor utama, editor, penata efek spesial dan efek visual) Syamsul Yusof (Evolusi KL Drift, KL Gangster) menjabarkan krisis keimanan seorang pemuka agama Islam. Namun di luar kisah spritualnya, teror Munafik belum bisa disebut spesial. Dua tahun berselang, sekuelnya “melipatgandakan” dua elemen di atas. Drama religinya dua kali lebih kompleks pula bernyali, sementara terornya dua kali lebih buruk.

Munafik 2, dengan bujet lebih tinggi (RM 2,8 juta, film pertamanya RM 1,6 juta), memang berambisi tampil lebih besar, bahkan sejak awal ketika Yusof langsung memperlakukan adegan layaknya klimaks, salah satunya karena musik garapan Extreme Music langsung mengalun kencang, nyaris tak berhenti sepanjang durasi. Tambahkan teriakan tiada ujung saat karakternya meneriakkan ayat-ayat suci Al Qur’an (total sekitar 10 surat), Munafik 2 semakin tampak berusaha terlalu keras menjadi epic, bahkan sesekali menyentuh teritori film superhero.

Saya serius. Di sini, Ustaz Adam (Syamsul Yusof) bagai pahlawan super dengan ayat suci sebagai kekuatan supernya, yang tiap pelafalan dilakukan secara dramatis lengkap dengan pose heroik juga balutan gerak lambat kala menghadapi iblis atau manusia kesurupan. Yusof—yang dilihat dari naskahnya jelas bukan seorang kolot—sadar bahwa protagonis seorang ahli agama berpotensi nampak “kuno” di mata penonton muda masa kini. Menjadikannya sosok superhero keren merupakan upaya modernisasi efektif yang pantas diapresiasi. Oh, bahkan seorang karakter wanita sempat membantai para musuh menggunakan kapak bak heroine dari film-film slasher.

Dua tahun selepas tragedi yang menimpa keluarganya, Adam telah menata lagi hidup pula imannya, memantapkan diri menolong orang-orang yang mendapat gangguan supranatural, walau hatinya belum sepenuhnya tenang. Iblis pun masih sering mengunjunginya, coba menggoyahkan iman Adam dengan menyatakan bahwa sang Ustaz berjuang demi kepentingan pribadi ketimbang agama. Adam berusaha tegar. Itulah mengapa ia bersedia menempuh bahaya guna menolong Sakinah (Maya Karin) dan keluarganya yang berasal dari desa sebelah. Sebuah desa yang dikuasai para pemeluk aliran sesat.

Setiap superhero butuh supervillain, dan sebagai lawan Adam, Munafik 2 memiliki Abu Jar (Nasir Bilal Khan), yang bagi penonton Indonesia akan terlihat seperti “Limbad dengan kemampuan bicara”. Abu Jar mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah yang memahami seluruh hadis hingga diberi kebebasan memiliki apa pun yang ia inginkan di dunia. Keyakinan itu membawa Abu Jar menjadi salah satu antagonis paling kejam sepanjang sejarah film horor, yang melakukan seluruh hal kejam yang mampu kita bayangkan. Dari membunuh ulama-ulama yang coba menghentikan ajarannya sampai menjadikan wanita budak nafsunya dan para pengikutnya.

Abu Jar menguasai desa, memanfaatkan rasa takut demi memperoleh kontrol layaknya para diktator lalim, walau sulit menerima begitu saja fakta jika setelah sebegitu banyak nyawa melayang, tak ada satu pun penduduk desa berani melapor pada polisi sementara pihak kepolisian sendiri tidak menyadari rangkaian pembantaian tersebut. Diperankan oleh Nasir Bilal Khan secara over-the-top, Abu Jar merupakan antagonis yang dengan senang hati penonton benci. Melalui Abu Jar kita melihat pemandangan mengenaskan kala orang-orang “mengafirkan” mereka yang menganut kepercayaan berbeda, menjadikan itu alat justifikasi tindakan persekusi hingga ke taraf pembunuhan. Menyedihkan, sebab pemandangan serupa mudah ditemui di dunia nyata termasuk negeri ini.

Lewat perspektif protagonis, Munafik 2 juga melayangkan beberapa pertanyan. Bisakah kita membenarkan pembunuhan demi keselamatan seseorang? Haruskah kita membahayakan diri untuk menegakkan agama? Dan masih banyak lagi. Karakternya, khususnya Adam, coba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu meski harus melalui siksaan batin dan fisik yang lebih sulit, lebih berbahaya, juga memberi dampak lebih tragis dari sebelumnya.

Berjalan selama 2 jam, Munafik 2 enggan mengendurkan tensi, terus memacu tempo tanpa pernah bersedia melambat. Pilihan eksekusi ini menghasilkan pisau bermata dua. Di satu sisi, terus dipacunya intensitas mampu meniadakan kebosanan, namun di sisi lain, kerap terasa melelahkan, apalagi saat beberapa elemen mulai tampil repetitif. Anda akan mendengar tokoh-tokohnya terus meneriakkan hal sama, yang kebanyakan (selain pembacaan ayat suci) berkutat pada saling tuduh tentang siapa paling sesat, dan tentunya paling munafik. Belum lagi nihilnya jump scare yang mampu menggedor jantung. Hampir seluruhnya medioker, minim kreativitas, tetapi maksimal dalam menghajar telinga lewat musik plus efek suara tanpa henti.

Saya memaklumi pilihan Yusof, mengingat horor berisik bertempo cepat adalah primadona bagi mayoritas penonton. Satu hal yang sulit dimaklumi yaitu pengungkapan fakta mengejutkan di babak resolusi, yang bukan saja bodoh, pula susah dicerna akal sehat. Sebuah kejutan dengan lubang yang membesar sewaktu Yusof coba mengaitkannya dengan peristiwa film sebelumnya. Dan Munafik 2 masih menerapkan elemen deus ex machina untuk menutup cerita, meski berbeda dengan film pertama, kali ini elemen tersebut bukan bertugas merangkum perjalanan si tokoh utama, melainkan murni simplifikasi terhadap solusi permasalahan.

DUKUN (2018)

Di tengah persidangan, Karim (Faizal Hussein) selaku pengacara, bertanya, “Siapa di sini percaya ilmu hitam?”. Hampir semua peserta sidang mengangkat tangan. Sebagaimana kita, perihal mistis memang lekat dengan kehidupan masyarakat Malaysia. Beberapa menyebutnya kepandiran dalam era modern, tapi saya melihatnya sebagai aspek kultural unik yang mempunyai fungsi. Seperti saat Dain Said (Bunohan: Return to Murder, Interchange) menjadikan Dukun karya “eksklusif” yang takkan bisa direplika sineas negeri Barat sehebat apa pun. Aspek supranatural bukan jadi alat penghasil teror saja, melainkan bagian penting narasi, pula bagian kehidupan karakternya.

Dukun sendiri terinspirasi dari kasus nyata pembunuhan Mona Fandey, dukun sekaligus mantan penyanyi yang membunuh kemudian memutilasi tubuh salah satu kliennya, politikus Mazlan Idri, menjadi 18 bagian pada 1993 selaku bagian ritual. Selepas proses persidangan yang menarik animo seantero negeri, Mona dihukum gantung tahun 2001. Keterlibatan nama-nama besar serta konten kontroversial tersebut membuat Dukun terhalang perilisannya yang awalnya dijadwalkan pada 2007. Setelah 11 tahun tanpa kejelasan, Dukun akhirnya tayang.

Skenario buatan Huzir Sulaiman sejatinya hanya mengadaptasi lepas, walau beberapa unsur jelas masih serupa. Pilihan itu akhirnya membuka jalan kisahnya mencampurkan elemen tiga genre: investigasi kasus pembunuhan, thriller ruang persidangan, dan horor supranatural. Menariknya, elemen yang disebut terakhir justru porsinya paling minim, meski nuansa supranatural kental menyelimuti tiap sisi cerita, sehingga membuat tiap cabang alur tetap saling terikat.

Nama Mona Fandey diganti Diana Dahlan (Umie Aida). Jauh berbeda? Tidak saat anda tahu jika album debut Mona dahulu mengusung judul Diana I. Sejak awal kita bertemu Diana, ia telah mendekam di penjara pasca menghabisi sang klien, Datuk Jefri (Adlin Aman Ramlie), dengan tenang menanti dakwaan, sembari selalu menolak jasa pengacara. Sampai pengacara ke-24, Karim, menawarkan diri demi memperoleh informasi soal puterinya yang hilang. Kali ini Diana beredia. Di tempat lain, Talib (Nam Ron) dan bawahannya, Shah (Bront Palarae) dari kepolisian, sedang menyelidiki kasus tersebut lalu menemukan setumpuk rahasia kelam nan mengerikan.

Perlahan ketiga cabang itu bertemu, memuncak di suatu twist seputar hubungan terselubung antar-karakter yang terasa beralasan juga masuk akal, berbeda dengan kebanyakan film yang cuma mengandalkan kebetulan dipaksakan. Satu lagi bukti solidnya penulisan Huzir Sulaiman, meski di banyak kesempatan, selipan adegan-adegan pendek yang muncul sambil lalu, menyebabkan aliran alur kurang nyaman diikuti.

Besar kemungkinan anda takkan menganggap Dukun sebuah horor menyeramkan, walau melihat dari penyutradaraan Dain Said, itu memang pilihan. Dia enggan berusaha keras menakut-nakuti penonton lewat unsur supranatural, namun melukiskannya sebagai pemandangan tidak wajar. Seram atau tidak urusan belakangan. Ketika Diana melakukan ritual di sel misalnya, yang jadi wahana Dain Said bermain-main memanfaatkan ruang gelap gulita untuk mengkreasi trik visual. It’s scary for some but not for the others. But I think we can agree that it feels unnatural.

Babak persidangan adalah fase terbaik Dukun. Satu per satu saksi hadir, tiap keterangan divisualisasikan, menggiring kita menuju reka ulang peristiwa yang menjelaskan kengerian dalam ruang praktek Diana. Semakin banyak protagonisnya belajar tentang kasus itu dari para saksi, semakin kita memahami latar belakang kisanya. Di situ terjadi “pertarungan”  Karim melawan jaksa penutut (Chew Kin Wah). Jaksa bersikukuh Diana bersalah, sebaliknya, Karim menyanggah. Argumen mereka berdasar, saya pun tertarik mempertimbangkan versi kebenaran masing-masing, termasuk Karim, di mana kematian Datuk Jefri hanya kecelakaan. Setidaknya hingga kasus digali lebih jauh.

Bagi drama ruang sidang, kemampuan memprovokasi penonton, menghadirkan dilema mengenai dua perspektif berlawanan yang diperdebatkan dalam konfliknya, merupakan wujud kesuksesan. Tapi sulit menyangkal argumen bahwa kesuksesan terbesar film ini adalah penampilan Umie Aida. Terlihat mengerikan, mematikan, dengan senyum yang menolak memudar walau berada di persidangan yang mempertaruhkan nyawanya. Pun dia tambahkan sensualitas melalui gestur kecil seperti memilin rambut atau gerakan kepala yang menyiratkan kontrol penuh sarat kepercayaan diri atas segala situasi.

“Aku tidak akan mati”. Demikian kalimat terakhir Mona Fandey sebelum lehernya dijerat tali gantungan. Walau tak dimasukkan di film, namun baik di atas atau di balik layar, kalimat itu terus menggema. Terkait narasi, Dain Said cerdik menggunakannya guna menyusun konklusi supranatural yang sepenuhnya baru, tidak terikat kejadian nyatanya. Sementara di balik layar, seiring kontroversi yang membanjiri filmnya, Mona takkan mati. Namanya, riwayatnya, selalu hidup dalam ingatan publik sebagai bomoh (dukun) penebar teror berdarah.

MUNAFIK (2016)

Harus diakui saya asing dengan perfilman Malaysia, terutama untuk genre horor, di mana "Munafik" merupakan pengalaman pertama. Disutradarai (juga ditulis, diedit, dan dibintangi) oleh Syamsul Yusof, "Munafik" sukses meraup pendapatan sebesar RM 19.00 juta, menempatkannya sebagai film Malaysia berpendapatan tertinggi sepanjang masa. Sepintas, film ini tak banyak memiliki perbedaan dibanding sederet horor Indonesia era 80-an yang kental sentuhan religi (baca: Islam). Menjadi spesial tatkala Syamsuk Yusof memperhatikan pondasi cerita pula karakter, membawa filmnya ibarat "The Exorcist" versi Islam, mengganti Pendeta dengan Ustadz, dan exorcism dengan ruqyah.

Adam (Syamsul Yusof) baru mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa sang istri, menghadirkan kesedihan mendalam, membuatnya jauh dari Masjid, bahkan tak lagi bersedia melakukan ruqyah bagi warga sekitar. Namun ketika Maria (Nabila Huda)  gadis yang sedang mengalami depresi  kerasukan, Adam terpaksa melakukan ruqyah lagi walau masih bergulat dalam duka dan krisis iman. Begitulah "Munafik", berjejalkan pesan-pesan agama supaya tidak mudah tergoda bujuk rayu iblis. Tapi saya tak merasa digurui, karena Syamsul Yusof pun tidak berusaha  berceramah atau menghimbau. Dia sekedar memaparkan suatu situasi lewat sudut pandang agama. 
Seolah berkaca dari "The Exorcist", Syamsul Yusof enggan mengesampingkan kualitas naskah. Kata "Munafik" dijadikan kunci bagi pengembangan karakter, tatkala masing-masing dari mereka layak menerima sebutan munafik. Adam adalah ustadz yang tentu rutin mengajak orang supaya berserah diri pada Tuhan, namun semakin lama tiap kata bijak tersebut terdengar kosong kala dendam dan duka semakin menguasainya. Tokoh lain juga mengalami konflik serupa yang takkan saya bahas lebih lanjut demi menghindari spoiler. Dari segi penceritaan, 98 menit film ini merupakan observasi memuaskan terhadap lemahnya hati manusia serta kemunafikan para alim ulama.

Soal pembangunan horor, Syamsul Yusof masih bergantung pada formula jump scare standar  hentakan musik volume tinggi, kesunyian sesaat sebelum mengageti penonton  yang walau terasa repetitif, nyatanya efektif menggedor jantung berkat timing akurat plus kemunculan hantu di sudut mengejutkan. Syamsul Yusof pun tak lupa menjallin rangkaian creepy imageries pengundang kengerian berbasis atmosfer seperti saat Maria terjebak di kamar mayat dan adegan "menggotong pocong". Walau jika membicarakan pocong, belum ada yang mampu memaksimalkan potensi kengeriannya serupa "Keramat" atau "Pocong 2". But still, "Munafik" adalah horor mengesankan bermodal jump scare solid. Aspek religinya substansial memperkuat penceritaan, berpesan tanpa ragu melontarkan kritik pedas, meski balutan religi turut dipakai memunculkan deus ex-machina pada klimaks.

MEN WHO SAVE THE WORLD / LELAKI HARAPAN DUNIA (2014)

Terdapat banyak cara untuk sebuah film menyampaikan kritik terhadap isu tertentu. "Men Who Save the World" atau yang mempunyai judul lokal "Lelaki Harapan Dunia" ini memakai pendekatan komedi satir yang dilontarkan dengan semangat "seenaknya sendiri". Menikmati film yang menjadi perwakilan Malaysia untuk ajang Oscar 2016 ini memang jangan terlalu serius, atau guyonannya bakal terasa rasis dan homophobic. Sutradara sekaligus penulis naskah Liew Seng Tat bertutur pada penonton seperti kita semua adalah teman akrabnya. Sebagaimana teman baik saling bertukar candaan, banyak ungkapan yang sekilas "tidak pantas" namun sesungguhnya tanpa maksud bersikap ofensif. Semua hanya didasari niatan bercanda menciptakan tawa. Tapi komedi memang erat kaitannya dengan kultural dan latar belakang audience. Lucu atau tidak, ofensif atau tidak, semua dipengaruhi oleh aspek tersebut. Maka menjadi wajar bila film seperti ini akan memecah penonton menjadi dua kubu.

Ber-setting di sebuah kampung, filmnya berkisah tentang keinginan Pak Awang (Wan Hanafi) untuk memindahkan sebuah rumah (disebut "rumah amerika" karena seluruhnya berwarna putih) yang terletak di tengah hutan. Rumah itu akan ia berikan pada sang puteri sebagai kado pernikahan. Pak Awang sendiri adalah mantan penyanyi terkenal yang kini telah pensiun. Status tersebut membuatnya dihormati seluruh warga kampung, sehingga mereka pun tak keberatan mengerahkan seluruh tenaga untuk membantu proyek pemindahan rumah itu. Bersamaan dengan dimulainya pemindahan rumah, penonton diajak berpindah melihat karakter Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein), imigran gelap asal Afrika yang kabur dari kejaran polisi setelah tertangkap basah menjual barang di jalanan. Solomon secara tidak sengaja menemukan rumah tersebut dan bersembunyi disana, tanpa tahu keputusan itu akan menciptakan konflik pelik dan histeria warga kampung yang meyakini ada hantu "orang minyak" tengah menebar teror mematikan.
"Men Who Save the World" merupakan sindiran terhadap sisi klenik yang mengakar kuat dalam masyarakat. Warga kampung dalam film ini digambarkan terus mengasosiasikan berbagai kejadian buruk yang menimpa dengan gangguan hantu dari rumah amerika. Ketika sapi dan unta hilang, maka itu ulah hantu. Ketika seorang anak perempuan mengalami luka secara tiba-tiba, maka itu akibat serangan hantu. Padahal warga kampung digambarkan sebagai pemeluk Islam yang sering berkonsultasi dengan pemuka agama setempat, Tok Bilal (Jalil Hamid). Bahkan disaat akhirnya mereka meminta bantuan seorang dukun, para pemuda dan laki-laki kampung tak keberatan berpatroli di malam hari sambil mengenakan daster dan kerudung, karena menurut sang dukun, hantu orang minyak suka memangsa gadis perawan. Liew Seng Tat berhasil mengajak saya mentertawakan kebodohan warga yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "lelaki harapan dunia". Pantas saja dunia ini seolah dipenuhi harapan palsu.
Humor Liew Seng Tat memang seenaknya. Seorang warga dipanggil "Cina", bahkan dalam sebuah kesempatan ia mengajarkan cara mempertajam penglihatan dengan menyipitkan mata. Sedangkan Solomot sebagai pria berkulit hitam digambarkan sebagai sosok mengerikan tak ubahnya hantu. Terdengar ofensif memang, tapi lagi-lagi keberhasilan komedi tergantung pada siapa filmnya bicara. Saya menemukan humornya sebagai hal yang lucu, karena saya besar di lingkungan dimana orang Jawa "mengejek" sahabatnya yang keturunan Tionghoa sebagai "Cina", dan sebaliknya mereka balas berkata "dasar Jawa". Sebutan itu semata-mata hanya candaan tanpa intensi merendahkan. Liew Seng Tat juga nampak berniat menyindir masyarakat yang makin mudah tersinggung menanggapi isu rasisme. Disaat kita tahu itu hanyalah lelucon, tak perlu ditanggapi serius, hingga semua pihak sama-sama senang. Tapi saya pun tak menyalahkan penonton yang tersinggung oleh humornya karena itu sangatlah wajar.

Kekurangan gaya komedinya justru karena menciptakan distraksi terhadap pesan utama. Saya memahami satir mengenai kebodohan masyarakat tadi, tapi pada akhirnya bukan itu yang membekas begitu film usai. Saya hanya ingat pada kelucuan bodohnya, bukan sindiran yang sesungguhnya amat relevan itu. Terlalu banyak pula subplot yang coba diselipkan oleh Liew Seng Tat, seperti mengenai para pejabat hingga kisah transvetism. Semuanya menarik dan lagi-lagi sanggup memancing tawa, tapi tidak dipaparkan secara mendalam supaya tak berujung sebagai sisipan komedik belaka. Disatu sisi "Men Who Save the World" memang penuh keanehan dan visual gag menyenangkan, karena dimana lagi anda akan melihat film tentang usaha memindahkan rumah dari tengah hutan? Tapi disisi lain hanya itu yang bisa ditawarkan. Alhasil meski Wan Hanafi begitu cakap berakting, dan fakta bahwa film berakhir sebagai tragicomedy tentang kejatuhan pria yang dulunya amat dihormati, "Men Who Save the World" tak pernah lebih dari sekedar komedi menghibur.