REVIEW - BLOOD BROTHERS: BARA NAGA
Blood Brothers: Bara Naga, yang hingga tulisan ini dibuat bercokol di posisi kedua daftar film Malaysia terlaris sepanjang masa, mengangkat kisah persaudaraan berlatar dunia kriminal, yang menebarkan aroma khas sinema Hong Kong era 90-an. Komparasi yang lebih spesifik sekaligus presisi mungkin demikian: film terbaru Syafiq Yusof (berduet di kursi sutradara dengan Abhilash Chandra) ini punya jiwa The Godfather dan fisik The Raid.
Sebutan "blood brothers" yang terpampang di judulnya merujuk pada hubungan Ghaz (Sharnaaz Ahmad) dan Ariff (Syafiq Kyle), yang sudah seperti kakak-beradik kandung karena kesamaan nasib di kehidupan keduanya. Walau tak sedarah, mereka tetap terikat janji darah kala menyatakan kesetiaan pada organisasi Dato Zul (Wan Hanafi Su), yang merupakan salah satu anggota kelompok 7 Naga.
Dato Zul menguasai segala bisnis dunia hitam. Saking berkuasanya, pihak kepolisian pun tak mampu meringkus sang naga. Sebagai orang kepercayaan sekaligus anak angkat Dato Zul, Ghaz pun memiliki kekuasaan serupa. Apalagi ia hendak menikahi putri bosnya tersebut, Sheila (Amelia Henderson). Fadlan (Shukri Yahaya), adik Sheila, juga nampak sepenuhnya berada di belakang Ghaz.
Siapa yang tak gentar di hadapan Ghaz? Tubuh tinggi besar, kekar, lengkap dengan brewok memenuhi wajahnya, yang oleh Ghaz sendiri disebut sebagai "jambang surga". Blood Brothers memang masih meluangkan waktu untuk menyelipkan humor penyegar, terutama selepas Jaki (Syazwan Zulkifly), kakak kandung Ariff yang menyandang posisi comic relief, mulai terseret ke dalam konflik dunia kriminalnya.
Bukan cuma Ghaz dan Ariff. Semua anggota organisasi Dato Zul memiliki ikatan kuat bak keluarga. Mereka bermain biliar bersama sambil minum-minum, tertawa, pula berpelukan guna merayakan persaudaraan yang begitu solid. Sampai terjadilah tragedi yang membuat Ariff dituduh mengkhianati organisasi dan mesti berhadapan dengan Ghaz yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri.
Pengkhianatan, saling tusuk dari belakang, teman jadi musuh, musuh jadi teman. Sekali lagi, layaknya sinema kriminal Hong Kong dari masa lalu, Blood Brothers menegaskan soal ketiadaan loyalitas hakiki di dunia hitam. Di satu titik, Dato Zul resmi menyerahkan tahtanya pada Ghaz. Sheila menyaksikan peristiwa itu dari celah pintu kamar yang terbuka sambil memasang wajah khawatir, yang mengingatkan ke pemandangan ikonik saat Kay menyadari Michael Corleone telah dianugerahi gelar "Don" di akhir The Godfather.
Peliknya konspirasi dunia kriminal memungkinkan film ini untuk memasang kejutan demi kejutan di beberapa titik alurnya. Beruntung, naskah buatan Abhilash Chandra, Ghazwan Tomasi, Ayam Fared, dan Ashraf Modee Zain masih mampu mengontrol kuantitas twist-nya supaya berada di takaran yang tepat, dan tidak lepas kendali layaknya film Syafiq Yusof sebelumnya, Sheriff: Narko Integriti (2024).
Adegan aksi tetap jadi nilai jual terbesar Blood Brothers. Dibantu tata kamera dinamis arahan Nicholas Chin, Syafiq Yusof dan Abhilash Chandra berhasil menyusun deretan baku hantam hard-hitting yang penuh gaya, pula melaju cepat, tanpa harus menyulitkan penonton menyaksikan detail gerakan di layar. Sewaktu pertarungan finalnya melempar penghormatan yang layak terhadap klimaks The Raid melalui satu lagi suguhan "threesome" intens, sah sudah status Blood Brothers: Bara Naga sebagai salah satu film aksi terbaik tahun ini.
REVIEW - SHERIFF: NARKO INTEGRITI
Sheriff: Narko Integriti karya sutradara Syafiq Yusof (Misteri Dilaila, Polis Evo 3) tidak se-brainless yang saya duga. Pergulatan tokoh-tokohnya menampilkan aksi kucing-kucingan yang mengedepankan permainan pikiran. Keseimbangan antara otak dan otot sempat didapat, sebelum ia tergoda menjerumuskan diri ke dalam lubang yang kerap melemahkan sajian misteri macam ini, yakni menumpuk twist yang dipaksa hadir terlampau banyak di penghujung durasi.
Kata "Sheriff" di judulnya bukan merujuk pada jabatan kepolisian, melainkan nama sang protagonis, Sherifuddin Hussein (Zul Ariffin), anggota ISCD (Integrity and Standards Compliance Department) yang bertugas menangkap sesama polisi yang melakukan tindak kriminal. Perawakannya tinggi besar, tidak kenal takut di hadapan penjahat, gemar pula melempar lelucon sarkas. Sosoknya mengingatkan pada karakter Ma Seok-do (Don Lee) di seri The Roundup.
Sasaran Sherifuddin kali ini adalah pembunuh berantai yang dipanggil "Meth Killer" karena modus operandinya. Pertama, dia hanya mengincar anggota geng pengedar narkoba yang dipimpin Tony Ifrit (Aaron Aziz). Kedua, karena ia selalu menabur sabu-sabu di atas mayat korban. Identitas "Meth Killer" adalah Nazri "Naz" Mutalib (Syafiq Kyle), polisi dari departemen narkotika.
Di situlah letak daya tarik naskah buatan Syafiq Yusof dan Nazifdin Nasrudin (berdasarkan cerita karya Yusof Haslam, ayah Syafiq). Identitas si pembunuh sudah diungkap sejak awal. Kita tahu ia polisi, yang juga memiliki kakak seorang polisi dari departemen yang sama, yaitu Syazlin (Azira Shafinaz). Alhasil Sheriff: Narko Integriti bisa sepenuhnya menaruh fokus pada gesekan antara Sherif dan Naz, daripada cuma memaksa penonton menantikan pengungkapan jati diri sang pelaku di akhir.
Begitu ditugaskan mengusut kasus, Sherif langsung mencurigai bahwa pelakunya merupakan salah satu anggota departemen narkotika. Dia pun mengadakan interogasi, di mana hampir semua polisi tak memiliki alibi meyakinkan. Hanya Naz yang punya alibi sempurna. Terlalu sempurna, hingga Sherif menaruh kecurigaan terhadapnya. Permainan pikiran penuh adu taktik macam itulah yang menyusun film ini di paruh keduanya.
Bagaimana Naz berupaya mengecoh penyelidikan Sherif, dan sebaliknya, bagaimana Sherif kukuh mencari pengakuan Naz, menghasilkan suguhan cerita detektif yang seru. Apalagi Syafiq Yusof mampu bercerita dengan pacing cepat yang tak pernah terasa berantakan, sambil sesekali menyelipkan sekuen aksi untuk menambah daya hibur, termasuk sebuah kejar-kejaran mobil yang cukup intens.
Sheriff: Narko Integriti punya bekal memadai, tapi tidak untuk bertahan selama 132 menit. Durasinya bergulir terlalu lama, hingga filmnya kehabisan bensin memasuki paruh akhir. Tidak ada lagi adu taktik menegangkan. Hanya ada klimaks berisi baku tembak konvensional, serta penantian menuju konklusi yang diisi begitu banyak kejutan, yang akhirnya tak lagi mengejutkan. Setiap filmnya seperti hendak usai, muncul twist baru yang memperpanjang kisahnya selama beberapa menit. Melelahkan.
REVIEW - LA LUNA
Bagi sebagian orang, hal paling menyeramkan dalam hidup adalah perubahan. Karena perubahan membawa kebaruan. Muncul hal-hal asing yang mungkin sukar dimengerti, sehingga memancing ketakutan, bahkan kebencian di hati mereka yang sukar membuka pikiran. Pada akhirnya, demi meniadakan perubahan, kontrol sewenang-wenang pun kerap dilakukan.
Di La Luna yang merupakan produksi bersama Malaysia dan Singapura ini, kita dibawa mengunjungi Bras Basah, sebuah kampung konservatif di mana aturan agama ditegakkan secara ketat. Majalah atau produk apa pun yang menampilkan perempuan berpakaian terbuka langsung terkena sensor (foto model perempuan diwarnai memakai spidol agar nampak memakai jilbab).
Sejatinya tidak seluruh warga nyaman dengan aturan tersebut, hanya saja mereka terpaksa menurut akibat rasa takut pada si kepala desa, Tok Hassan (Wan Hanafi Su) yang memerintah dengan tangan besi. Ketika Azura (Syumaila Salihin), puteri Salihin (Shaheizy Sam) si kepala polisi, berniat menyebar petisi guna mengubah aturan kolot di sana, Tok Hassan langsung menggeledah tas si gadis remaja, kemudian menyita petisi tersebut. Tiada privasi di Bras Basah.
Harapan akan perubahan muncul sejak kedatangan Hanie (Sharifah Amani), yang dengan berani membuka toko pakaian dalam bernama La Luna, walau ditentang keras oleh Tok Hassan. Dari situlah naskah buatan sang sutradara, M. Raihan Halim, mulai mengeksplorasi permasalahan ketakutan tadi.
Tok Hassan takut pada segala jenis perubahan, bahkan di saat perubahan itu mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat. Entah keberadaan toko pakaian dalam yang menyulut kembali api asmara di rumah tangga banyak pasutri, maupun kala Ustaz Fauzi (Iedil Dzuhrie Alaudin) hendak mendesain khotbah agar lebih menghibur bagi jemaah.
Seiring waktu, La Luna milik Hanie turut mengalami perkembangan fungsi. Toko yang melarang laki-laki menginjakkan kaki itu menjadi ruang aman bagi perempuan. Tatkala Yam (Nadiya Nissa) tak lagi tahan atas tindak kekerasan sang suami, Pa'at (Hisyam Hamid), La Luna jadi satu-satunya tempat aman baginya. Alhasil, beberapa laki-laki membenci La Luna, sebab di sana mereka tak lagi memegang kendali. Jadilah film ini sebuah sentilan mengenai terancamnya maskulinitas lelaki.
La Luna tidak ketinggalan menyelipkan bumbu romansa antara Hanie dan Salihin, dalam kemasan komedi screwball yang bernyawa berkat kelihaian dua pemainnya saat saling melempar banter. Saya sempat khawatir dinamika percintaan keduanya bakal jatuh ke ranah klise (laki-laki jantan menolong perempuan yang ketakutan) sewaktu Salihin datang ke rumah Hanie yang dimasuki seekor ular. Tapi nyatanya momen itu jadi satu lagi amunisi filmnya untuk menyindir maskulintas.
Tentu La Luna masih menyimpan kekurangan, tapi menariknya, ia selalu menawarkan penebusan di saat bersamaan. Misal terkait karakter Tok Hassan yang seiring durasi mulai berubah dari tetua super kolot menjadi sosok yang benar-benar jahat. La Luna tak membutuhkan antagonis sekotor itu untuk dapat menyampaikan pesannya, namun di sisi lain, transformasi Tok Hassan juga melahirkan sindiran baru, yakni tentang individu yang terperosok terlampau jauh ke lubang kegelapan akibat dibutakan kebencian.
Cara naskahnya menyelesaikan permasalahan pun terlalu bergantung pada elemen kebetulan (Bagaimana jika pertemuan Tok Hassan dan Salihin terjadi di tempat lain?), yang untungnya langsung ditutupi oleh keberhasilan menyuguhkan ending hangat yang terasa membebaskan.
La Luna sama sekali bukan bertujuan menggugat nilai agama. Pesan yang ia sampaikan amat sederhana, yaitu "terbukalah pada perubahan". Cepat atau lambat perubahan akan datang. Entah modernisasi besar-besaran layaknya yang dialami warga Bras Basah, atau hal kecil seperti saat Salihin menghadapi pendewasaan Azura.
(Tayang di bioskop 6 Desember)
REVIEW - ROH
Untuk pertama kalinya, Malaysia (dan
Indonesia) mengirim horror ke ajang Academy Awards. Setelah menonton Roh—yang akhir tahun lalu sempat diputar
di JAFF—saya memahami keputusan tersebut. Debut Emir Ezwan selaku sutradara
sekaligus penulis naskah ini masih jauh dari sempurna, namun mampu merepresentasikan
dua hal: 1) Kultur agama di sana; dan 2) Menyiratkan masa depan menjanjikan horor
Malaysia melalui suguhan alternatif, yang selama ini dikuasai produk-produk “berisik”.
Filmnya mempunyai gadis misterius, hewan mati, pendekatan atmosferik
bertempo lambat, serta latar hutan, yang mengingatkan pada The Witch (2015) buatan Robert Eggers. Di hutan itu tinggal wanita
bernama Mak (Farah Ahmad) bersama kedua anaknya, Along (Mhia Farhana) dan Angah
(Harith Haziq). Kehidupan damai mereka berubah setelah kedatangan gadis cilik
tanpa nama (Putri Qaseh), yang sebelumnya kita temui di adegan pembuka creepy, saat tengah berdiri di depan
kobaran api lalu menusuk-nusuk sebuah makam kecil.
Gadis itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, tapi sekalinya bicara, dari
mulutnya justru keluar ramalan mengenai kematian Mak, Along, dan Angah, tepat
pada malam purnama. Itulah awal dari rangkaian teror, yang turut melibatkan
kemunculan Tok (Junainah M. Lojong) si dukun wanita dan seorang pria (Namron)
yang dipanggil “Pemburu”. Semua dibalut musik mencekam karya Reinchez Ng, juga sinematografi
dari Saifuddin Musa, yang menangkap keangkeran hutan. Kedua elemen itu
mendukung pendekatan atmosferik Ezwan.
Bulan berawan, pohon-pohon lebat yang bak menyembunyikan suatu kejahatan
dalam kegelapan, hingga mayat rusa yang mengingatkan pada kengerian sewaktu
kata “mati” dan “hutan” bertemu, jadi pemandangan yang akan membuat penonton
tak pernah merasa aman. Nyaris tidak ada jump
scare. Setidaknya bukan jump scare berisik.
Kombinasikan dengan tempo lambat, Roh mungkin
bakal melelahkan bagi banyak penonton arus utama yang belum terbiasa dengan
pendekatan serupa.
Pun penceritaan subtil sarat ambiguitas berpotensi menimbulkan beberapa
kebingungan, khususnya akibat pemakaian beberapa penyuntingan (tak perlu) yang
bermain-main dengan linimasa alurnya. Tapi sejatinya, anda tak perlu memahami
seluruh detail guna menangkap poin utamanya. Pemahaman terhadap teks narasi
pembuka yang mengutip Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 12 dan 14 mengenai iblis
yang menyebut dirinya lebih hebat dari manusia karena tercipta dari api, hingga
perkataan Tok tentang iblis yang tak mampu melukai manusia secara langsung, sudah
cukup.
Gagasannya sederhana. Bahkan formulaik. Bahwa iblis selalu berusaha menipu
manusia demi membuktikan superioritas mereka. Dan sewaktu manusia kehilangan
iman, apalagi tatkala kelemahannya terpapar saat bergulat dalam duka, di situlah
peluang iblis terbuka. Selain membangun atmosfer berhias creepy imageries sebagai sutradara, sebagai penulis, Emir Ezwan
berhasil menjalin cerita yang tak mengandung banyak cabang, tapi tersaji padat,
juga cerita bernuansa religi tanpa perlu menyajikan ceramah menggurui. Itulah
mengapa Roh pantas mewakili Malaysia.
Walau masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah, film ini merupakan bukti jika
sinema Malaysia sudah siap berkembang.
Available on KLIK
FILM