REVIEW - THE WRETCHED

Tidak ada komentar

The Wretched adalah film pertama sejak Avatar (2009) yang sukses memuncaki daftar Box Office selama enam minggu beruntun. Tentu saja kalau bukan akibat pandemi, kecil kemungkinan rekor itu tercipta. Pertama, karena judul-judul lebih besar termasuk Black Widow sejatinya bakal tayang di bulan yang sama (Mei). Kedua, pencapaian itu pun sebenarnya bisa dibantah, kalau distributor selain IFC melaporkan angka pendapatan mereka. Beberapa analis percaya bahwa Trolls World Tour adalah jawara sebenarnya.

Pun berkaca pada filmnya, The Wretched bukan tipikal horor yang akan dibanjiri common audience. Pendekatan sepi jump scare jadi alasan. Tapi penikmat horor alternatif rasanya juga takkan sebegitu terpukau, tatkala filmnya sendiri bak kebingungan ingin menjadi apa. Duo sutradara sekaligus penulis naskah, Brett Pierce dan Drew T. Pierce (dipanggil “Pierce Bersaudara”), coba melahirkan satu lagi homage terhadap horor 80an, namun terombang-ambing, antara horor arus samping yang mengedepankan atmosfer dan imagery, atau horor keluarga Spielbergian, yang cenderung menghasilkan petualangan seru.

Atmosfernya tak cukup mencekam, barisan imageries-nya belum menghasilkan ketidaknyamanan sebagaimana mestinya, sedangkan petualangannya tak cukup menyenangkan. Maka sewaktu musik garapan Devin Burrows beberapa kali memperdengarkan orkestrasi Spielbergian, rasanya tidak pernah benar-benar cocok.

Protagonisnya kita adalah Ben (John-Paul Howard), remaja bermasalah yang sedang menghabiskan libur musim panas bekerja di pelabuhan bersama ayahnya, Liam (Jamison Jones), sementara kedua orang tuanya tengah menjalani proses perceraian. Di situlah Ben mencium ketidakberesan dari rumah tetangga mereka, Abbie (Zarah Mahler). Rangkaian peristiwa aneh mendorong Ben melakukan investigasi, kemudian berkesimpulan bahwa tubuh Abbie sudah diambil alih sesosok penyihir yang mampu menghapus seseorang dari ingatan keluarganya. Target si penyihir adalah Dillon (Blane Crockarell), putera Abbie.

Ben kesulitan meyakinkan orang-orang atas cerita tersebut. Baik sang ayah, hingga Mallory (Piper Curda), sesama pegawai pelabuhan yang belakangan berhubungan dekat dengannya, semua menolak percaya. Wajar saja. Sebagai penonton, saya pun gagal dibuat memedulikan Ben. Dia remaja kurang ajar yang mencium gadis lain hanya beberapa saat setelah nyaris mencium Mallory, juga seenaknya kabur dari makan malam bersama Sara (Azie Tesfai), pacar baru Liam, yang ia gagas sendiri. Apa sisi positif protagonis satu ini?

Mengapa pula saya harus peduli pada misterinya, di tengah kedangkalan serta inkonsistensi yang dibangun Pierce Bersaudara terkait mitologi si penyihir, termasuk kemampuannya? Konon penyihir itu mampu mencuci otak manusia. Hanya lewat suatu bisikan, seseorang akan melakukan semua perintahnya. Sampai di satu titik, si penyihir memerintahkan polisi membunuh Ben, namun karena Ben merupakan tokoh utama, mendadak polisi itu tidak sanggup menarik pelatuk.

Harus diakui The Wretched didukung tata rias dan efek praktikal mumpuni. Tampilan penyihir, pula ketika ia keluar dari tubuh manusia tampak amat meyakinkan, penonton berperut lemah mungkin merasa perlu memalingkan wajah. Tapi secara keseluruhan, The Wretched tidak mengerikan. Sesederhana itu. Menempatkan figur aneh di sudut gelap tidak serta merta menimbulkan kengerian. Klimaks kacau berlatar gelapnya hutan juga lebih terasa memusingkan ketimbang menegangkan, akibat penyuntingan kilat yang susah dilihat.

Belum lagi membicarakan twist yang membuat saya mempertanyakan sudut pandang penceritaan naskahnya. Twist yang menjadikan protagonis kita seorang unreliable narrator, tapi mengingat The Wretched dituturkan melalui sudut pandang orang ketiga, kejutan itu terasa tidak lebih dari sebuah usaha mencurangi penonton.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: