REVIEW - SEOBOK
Saat manusia ingin tetap hidup, apakah ia benar-benar ingin menjalani kehidupan, atau karena takut akan kematian? Kenapa takut akan kematian, di saat mati tak ubahnya tidur panjang untuk selamanya? Kenapa bukan kehidupan yang ditakuti, padahal hidup banyak meninggalkan rasa sakit? Melalui dua protagonisnya, mantan agen intelijen yang tinggal menanti ajal akibat penyakit dan individu abadi hasil kloning, sutradara/penulis naskah Lee Yong-ju mengeksplorasi deretan pertanyaan di atas, guna melahirkan thought-provoking blockbuster, meski tak semua pokok bahasan mendapat jawaban memuaskan.
Hidup Min Ki-hun (Gong Yoo) berantakan saat pertama kita menjumpainya. Selain penyakit yang membuatnya divonis berumur pendek, ia pun kecanduan obat-obatan. Sampai mantan bosnya di biro intelijen, Ahn (Jo Woo-jin), menawarinya misi melindungi Seo Bok (Park Bo-gum), manusia hasil kloning pertama yang memiliki hidup abadi. Sel dalam tubuhnya juga dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit. Bukan cuma itu, kekuatan super lain juga dimiliki Seo Bok. Gelombang otaknya dapat mengontrol tekanan semua benda, sehingga ia mampu menggerakkan apa pun hanya lewat pikiran.
Tentu dengan kemampuan demikian, banyak pihak berhasrat mengendalikannya, dan dari situlah Seobok membangun pondasi sebagai road movie bersampul aksi fiksi ilmiah. Benar ada rentetan aksi, pun bujet sekitar 16,5 miliar won (hampir 15 juta dollar) mampu memberi efek CGi lumayan solid, namun fokus utama filmnya justru mengeksplorasi perspektif perihal kehidupan.
Di sela-sela perjalanan, Ki-hun dan Seo Bok kerap bertukar pikiran, melempar pertanyaan-pertanyaan seperti tertulis di paragraf pembuka. Sebagai manusia abadi, wajar saat Seo Bok bertanya, "What dying feels like?" kepada Ki-hun yang tengah sakit keras. Baru ketika menyusul pertanyaan, "Did it feel good to live?", sesaat saya tertegun. Kepercayaan umum bahwa "hidup merupakan anugerah" membuat manusia jarang, atau malah tak pernah menanyakan itu. Sebab berbeda dengan kita, bagi Seo Bok keberhasilan bertahan hidup bukan suatu pencapaian.
Jelas jawaban film ini atas pertanyaan Seo Bok adalah, "Yes, it feels good to live". Mengapa? Akibat perasaan bersalah dari masa lalu, Ki-hun sadar ia pantas mati, namun ia tetap ingin hidup. Mengapa? Selepas satu adegan berbalut visual indah nan magis berlatar pantai, Seo Bok mampu mengentaskan Ki-hun dari rasa berdosa, tapi Lee Yong-ju gagal menyediakan konklusi memuaskan bagi proses protagonisnya. Jadi apakah Ki-hun memilih hidup karena benar-benar ingin, atau semata akibat takut akan kematian? Jawabannya tidak pernah meyakinkan.
Dampak emosi dari presentasi dramanya juga tersendat gara-gara beberapa adegan berlangsung lebih lama dari seharusnya, bak menolak berakhir meski poinnya sudah tersampaikan. Berakhir tak membosankan berkat penampilan dua pemeran utama. Ketika Bo-gum punya wajah "polos" yang cocok mewakili kemurnian Seo Bok, Gong Yoo menjadi kutub berlawanan. Kacau, berantakan, mudah kesal. Tidak jarang, kuatnya chemistry mereka dimanfaatkan sebagai alat pencipta dinamika, khususnya dalam tiap selipan humor, yang sesekali menggiring Seobok ke ranah buddy comedy.
Dikenal sebagai sosok di balik lahirnya romansa Architecture 101 (2012) tak menjadikan Yong-ju canggung mengarahkan aksi, yang di luar dugaan cukup brutal dan menyakitkan (not gory, but has more violent than expected), terlebih kala melibatkan Seo Bok unjuk gigi memamerkan kekuatan supernya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar