REVIEW - VIOLATION

Tidak ada komentar

Mencapai puncak popularitas pada 70an salah satunya pasca perilisan I Spit on Your Grave (1978) rape and revenge selalu eksis sebagai bagian film eksploitasi. Terjadi perubahan memasuki era modern. Revenge (2017) menunjukkan bagaimana sineas wanita menangani subgenre tersebut, dengan sepenuhnya menjadikan aspek balas dendamnya perwujudan kemenangan korban, ketimbang alasan mengeksploitasi kekerasan dan seksualitas semata. 

Violation disutradarai sekaligus ditulis oleh dua wanita, Madelaine Sims-Fewer (turut mengisi posisi aktris utama) dan Dusty Mancinelli, yang sama-sama baru menjalani debut film panjang. Sebagaimana Coralie Fargeat dalam Revenge, keduanya menawarkanterhadap dinamika psikis protagonis selaku korban pemerkosaan.

Pernikahannya dengan Caleb (Obi Abili) tengah diterpa krisis, ketika Miriam (Madelaine Sims-Fewer) kembali pulang menemui kakaknya, Greta (Anna Maguire), setelah terpisah bertahun-tahun. Greta sendiri menikahi Dylan (Jesse LaVercombe), yang dari berbagai obrolan, tampak sudah lama mengenal kakak beradik itu. Violation memang dibangun lewat obrolan. Banyak obrolan, yang berkat keluwesan para pemain, tersaji realistis (hingga di beberapa titik terkesan unscripted).

Banyak membicarakan kenangan-kenangan masa lalu, interaksinya amat mulus sehingga memancing ketertarikan lebih lanjut. Kontennya terkesan remeh, misalnya soal pose aneh ayah Miriam dan Greta saat membelah kayu, atau kekonyolan ibu mereka dahulu. Tapi dari situlah tercipta pondasi, yang membantu penonton mengenal pribadi juga hubungan antar karakter. Miriam adalah wanita bermasalah, kerap terlibat perselisihan dengan Greta yang memiliki kepribadian keras. Sedangkan Dylan adalah tipe pria yang bisa cepat akrab dengan siapa saja.

Kemudian setelah obrolan tengah malam di depan api unggun yang melibatkan alkohol, curahan perasaan, serta satu kecupan, terjadilah pemerkosaan tersebut. Tidak ada presentasi vulgar, "hanya" beberapa extreme close-up berisi sentuhan-sentuhan dan kulit yang saling bersentuhan. Filmnya pantang menggambarkan korban (baca: wanita) dalam ketidakberdayaan yang diseksualisasi. Sebaliknya, nanti justru kita melihat karakter pria yang nampak tak berdaya dalam kondisi telanjang bulat. Dari situ, Violation merekonstruksi formula rape and revenge, menjadi bukan sebatas eksploitasi seksualitas wanita.

Selain itu, Sims-Fewer dan Mancinelli juga merajut kisahnya menggunakan struktur non-linier. Tidak hanya menghilangkan penantian membosankan sebelum pertumpahan darah, sebagaimana dilakukan Gaspar Noé di Irréversible (2002), membalik struktur narasi, di mana (sebagian) aksi pembalasan ditampilkan lebih dulu sebelum pemerkosaannya, turut menjauhkan Violation dari ranah eksploitasi. Fokus penonton bukanlah menantikan balas dendam, namun mencari tahu alasan itu dilakukan. Penonton didorong mengobservasi detail peristiwa, kondisi mental protagonis, pun isu kekerasan seksual itu sendiri.

Terkait kuantitas kekerasan, meski tetap terdapat darah, muntahan, mutilasi, bahkan kanibalisme, Violation mungkin tak cukup brutal bagi penonton yang murni mencari sadisme khas revenge movie. Tapi tujuan pembuatnya memang bukan itu. Kesan disturbing cenderung hadir dalam pikiran ketimbang mata, khususnya jelang penutup, kala kita dipancing untuk mengimajinasikan sesuatu yang filmnya siratkan terkait metode yang karakternya pilih guna membalas dendam.

Violation menyelami konflik batin korban, memaparkan apa yang ia rasakan sejak pemerkosaan terjadi, hingga setelah mengeksekusi pembalasan. Akting Sims-Fewer pun berada di jalur serupa. Dinamika emosinya selalu berprogres, dari terguncang, kebingungan, marah, sedih, mungkin juga penyesalan selepas membalas dendam, hingga akhirnya "menerima", yang juga jadi titik kemenangan korban.

Sayangnya ada satu masalah, yakni sebuah adegan pasca pemerkosaan, ketika Miriam nyaris melakukan pelecehan serupa. Benar bahwa ia terguncang, namun itu bukan justifikasi yang dapat diterima, apalagi dalam film yang memihak korban pemerkosaan. Mungkin itu cara Violation memotret kompleksitas isunya? Di luar ironi sewaktu sesama wanita malah berpartisipasi menyalahkan korban, mungkin itu cara Sims-Fewer dan Mancinelli menggambarkan realita jika korban bukan sosok sempurna? Saya memakai kata "mungkin", karena tidak pernah ada kejelasan, yang akhirnya medistraksi pesan penting filmnya.


Available on SHUDDER

Tidak ada komentar :

Comment Page: