REVIEW - THE FATHER

4 komentar

Menengok tampilan luarnya, The Father tampak serupa dengan setumpuk drama konvensional mengenai penyakit di usia tua. Menit-menit awalnya pun berjalan demikian. Anthony (Anthony Hopkins), seorang pengidap demensia, dan puterinya, Anne (Olivia Colman), terlibat cekcok. Anne kesal setelah perawat yang ia rekrut memutuskan keluar, akibat sikap kasar sang ayah. Anthony menuduh si perawat mencuri jam tangannya. Padahal, ia hanya melupakan tempatnya biasa menyimpan jam itu. 

Kemudian Anne mengutarakan niat untuk pindah dari London menuju Paris guna mengikuti kekasih barunya. Sebuah kabar yang jelas tak disukai Anthony. Itulah mengapa Anne bersikeras mempekerjakan perawat. Dia enggan memilih opsi terakhir, yakni memasukkan ayahnya ke panti jompo. 

Peristiwa di atas menampilkan pertengkaran dan dilema yang entah sudah berapa kali kita temukan di film bertema serupa. Sekali lagi, konvensional. Hingga adegan berikutnya hadir, mengubah segala persepsi soal narasinya. Di titik ini, mungkin mayoritas dari anda sudah menonton The Father, tapi untuk berjaga-jaga, saya takkan membahas lebih lanjut titik balik tersebut. Pastinya, ini merupakan salah satu bentuk narasi paling kreatif, sekaligus paling efektif, dalam tujuannya membawa penonton berada sedekat mungkin dengan kondisi pasien demensia. 

The Father merupakan adaptasi layar lebar kedua dari Le Père (Floride asal Prancis jadi yang pertama), pertunjukan panggung buatan Florian Zeller, yang turut menyutradarai, sekaligus menulis naskah filmnya (bersama Christopher Hampton). Pernah beberapa tahun menjajal dunia penulisan naskah teater, saya tahu betul betapa besar tantangannya. Tanpa teknologi seperti film, penulis mesti memeras kreativitas lebih keras, guna melahirkan tontonan segar di tengah keterbatasan. Satu yang paling memungkinkan diutak-atik adalah bentuk narasi, karena elemen tersebut tidak (selalu) berbanding lurus dengan pertambahan bujet. 

Apa yang kita dapatkan dari The Father merupakan contoh kreativitas itu. Sureal namun gampang dicerna, terkadang tampil bak horor, unik tapi substansial alias bukan gimmick semata. Seiring bergulirnya penceritaan, penonton memperoleh gambaran tentang kondisi demensia. Memori Anthony saling tertukar, berserakan, seperti puzzle yang tersusun tidak pada tempatnya. Mudah dipahami, sebab naskahnya memegang prinsip penulisan penting. Prinsip mendasar yang kerap dilupakan: Show, don't tell. 

Penyutradaraan Zeller menyeimbangkan dua pendekatan, dengan menerjemahkan gaya pertunjukan panggung ke media film, sambil tetap mempertahankan kekhasan artistiknya. Terkadang, kamera menggantikan peran pencahayaan, dengan tidak mengalihkan fokus, terus merekam karakter yang sedang bermonolog. Tapi di kesempatan lain, Zeller menciptakan sensasi serupa menonton teater. Karakter ditempatkan di tengah layar, lalu disorot cahaya, yang meski lebih subtil (baca: tidak seterang dan semencolok lampu panggung), mencerminkan nuansa saat aktor tengah mendapat spotlight di atas panggung. 

Dan seperti teater pula, naskah sekuat apa pun bakal percuma tanpa ditunjang cast berkualitas. Menyaksikan Colman, kita akan merasakan betapa sesaknya melihat orang tercinta pelan-pelan menurun kondisinya, hingga tak lagi ingat siapa kita, namun demi orang itu, kita harus menahan luapan emosi, menyembunyikannya seolah segalanya baik-baik saja, walau sesekali, sekuat apa pun pertahanan diri, beberapa letupan akhirnya tak tertahankan.

Apalagi Hopkins tampil memilukan, sebagai pria berharga diri tinggi yang terus berusaha menyangkal kondisinya. Kebingungan terlihat jelas dari matanya, yang tidak jarang memancarkan kekosongan, seiring terhapusnya keping-keping ingatan, sebelum tangisnya pecah. Saat itu lukisan bertajuk "memori" milik Anthony hampir pudar seutuhnya. Menyisakan selembar kertas putih yang menandakan kembalinya ia pada kemurnian, saat kehidupan belum diwarnai kerumitan-kerumitan, dan air mata hanya mengalir karena kerinduan pada sosok yang membawanya ke dunia.  


Available on CATCHPLAY+

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Setelah nonton ini, kira-kira menurut pandangan subjektif Bang Rasyid: lebih pantas mana yang dapat Oscar antara Chadwick Boseman dan Anthony Hopkins?

Rasyidharry mengatakan...

Kalo pertanyaannya soal Oscar, jelas Boseman. Always

Anon mengatakan...

Film begini emang harus bgt ditonton sendirian buat dapet feel touchingnya. Tidak disarankan buat nobar bareng teman hehehehe

Adjie Prasetyo mengatakan...

Mantap gan konten nya! SUKSES TERUS!, kunjungi juga

Informasi Teknologi #1 di indonesia