REVIEW - COME TRUE

Tidak ada komentar

Come True adalah film yang dibangun dengan baik. Kreatif, misterius, mencekam, brilian. Sangat baik, sampai memunculkan kekhawatiran, kalau seperti banyak tontonan high concept lain, film ini bakal kesulitan merangkum segalanya, lalu berujung pada konklusi mengecewakan. Kekhawatiran tersebut sayangnya terjadi, walau tak menghapus fakta, bahwa Come True merupakan satu dari sedikit horor yang berhasil memancing kengerian nyata.

Setelah 8-10 menit awal yang bergerak amat cepat cenderung buru-buru (bukan tanpa alasan), akhirnya kita mendapat gambaran jelas soal protagonisnya. Sarah (Julia Sarah Stone), remaja 18 tahun, yang akibat hubungan buruk dengan sang ibu, memiih tiap malam tidur di luar, atau menumpang di rumah teman. Tidur Sarah tidak pernah nyenyak, akibat mimpi buruk aneh yang membawanya masuk ke ruang gelap, di mana sosok misterius berwujud bayangan dengan mata menyala seolah selalu menantinya. 

Gangguan tidur itu mendorongnya mendaftar sebagai partisipan suatu eksperimen. Selain demi uang, prosesnya pun terdengar mudah. Dia cuma harus tidur, sembari dipantau kondisinya oleh para peneliti lewat berbagai alat. Hari pertama berjalan lancar. Sarah tidur nyenyak setelah sekian lama, sedangkan menilik respon mereka, tersirat bahwa eksperimen tersebut menunjukkan hasil positif (di titik ini kita belum tahu apa hasil yang dicari). Sampai Sarah menyadari beberapa keanehan.

Seorang pria tidak dikenal (kelak kita ketahui bernama Jeremy, diperankan Landon Liboiron) mengikutinya, namun itu bukan apa-apa dibanding ketakutan yang hinggap kala sosok bayangan dalam mimpi Sarah perlahan mulai menampakkan diri di dunia nyata. Perasaan Sarah mampu ditularkan oleh Anthony Scott Burns, yang menyutradarai sekaligus menulis naskah, menata kamera, dan menyunting filmnya sendiri. 

Dunia mimpi yang kerap kita kunjungi, menjadi pencapaian visual luar biasa. CGI tepat guna, ditambah visi Burns terkait "mimpi buruk", menciptakan pemandangan creepy, tapi juga memikat mata. Istilah "hellish" mungkin patut disematkan. Saat bermimpi buruk, biarpun berada di alam bawah sadar, saya sering merasa takut sebelum teror benar-benar datang. Sebuah kecemasan atas sesuatu yang belum jelas wujudnya, tapi diyakini akan menyergap. Perasaan itu berhasil diterjemahkan, oleh Burns.

Semakin sering Sarah (dan kita) mengunjungi dunia mimpi, pelan-pelan wujud sosok bayangan tadi mulai terungkap, dan semakin tinggi pula tingkat kecemasan yang Come True berikan. Ketika banyak horor alternatif punya tendensi mengejar elegansi tapi malah berujung meniadakan teror, Come True, walau berusaha "mempercantik" terornya, mampu mempertahankan elemen paling esensial film horor, yakni menyulut rasa takut. Atmosfernya begitu kuat, dengan satu-dua jump scare yang mengambil prinsip "quality over quantity". 

Come True mengolah mimpi melalui pendekatan yang mengandung surealisme, sementara penceritaannya kental warna sci-fi. Jika David Lynch menyelipkan unsur pseudo science dalam karyanya, mungkin hasilnya seperti ini. Naskah Burns kemudian melempar pertanyaan, apakah teror si makhluk bayangan adalah manifestasi "ketakutan bersama", ataukah ulah entitas tak kasat mata yang mengontrol segalanya dari balik layar?

Mau yang mana pun sejatinya bukan masalah. Intinya, mencapai pertengahan durasi, Come True menjanjikan narasi luar biasa kreatif, penuh misteri yang ampuh memancing keingintahuan penonton. Tapi sebagaimana saya sebut di paragraf pembuka, dari sekian banyak opsi, Burns justru menempuh jalur yang paling mengecewakan melalui sebuah twist di penghujung durasi. 

Benar bahwa twist itu mampu menjustifikasi pergerakan buru-buru serta kesan dipaksakan pada beberapa titik alur (termasuk saat Sarah, hanya karena melihat satu mimpi si penguntit, berujung jatuh menyukainya). Jungian Archetypes (The Persona, The Anima/Animus, The Shadow, The Self) yang tertulis di layar juga turut terjabarkan maksudnya. Pun twist tersebut tetap mengandung sesuatu untuk disampaikan (proses ketika kenyataan dan bawah sadar bersinggungan). Tapi dibanding apa yang dijanjikan dan berpotensi dicapai, konklusinya adalah pilihan klise, sarat simplifikasi, dan tentu saja, mengecewakan. 


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: