REVIEW - BLACK WIDOW

14 komentar

Negosiasi terkait pembuatan Black Widow sejatinya dimulai sejak 2010 (Lionsgate sempat memulai pra-produksi dari 2004, tapi itu adalah era sebelum MCU), tatkala MCU hendak memasuki Phase Two. Seperti kita tahu, akhirnya Black Widow justru jadi pembuka Phase Four, walau hasinya terasa bagai produk Phase Two (atau Phase One), dalam arti, spektakel yang memadai, layak tonton, namun tanpa elemen spesial yang bakal membuatnya terus diingat. 

Sadar atau tidak, Phase Three merupakan transformasi MCU menjadi franchise dengan kualitas konsisten, yang di tiap judul menawarkan keunikan (setidaknya untuk ukuran blockbuster). Entah konsep aksi, plot, maupun fan service berupa crossover ambisius. Begitu pula Phase Four, dan status selaku film perdana selepas Avengers: Endgame, yang hadir di tengah-tengah kemenangan beruntun MCU dalam medium serial televisi, semakin tak menguntungkan bagi Black Widow. 

Kisahnya mengambil latar seusai peristiwa Captain America: Civil War, kala Natasha Romanoff Scarlett Johansson) menjadi buronan pemerintah. Sejenak kita diajak mundur ke 21 tahun lalu, ketika dua agen rahasia Rusia, Alexei Shostakov alias Red Guardian si super soldier (David Harbour) dan Melina Vostokoff (Rachel Weisz), menjalankan misi penyamaran di Ohio. Keduanya membentuk keluarga palsu, dengan Natasha dan Yelena memerankan puteri mereka. Begitu misi usai, Natasha dan Yelena dimasukkan ke Red Room yang dipimpin Dreykov (Ray Winstone), sebuah program pelatihan untuk menciptakan pasukan wanita pembunuh. 

Tahun-tahun berlalu, dan seperti kita tahu, Natasha membelot ke S.H.I.E.LD., kemudian mendapat status pahlawan sebagai anggota Avengers. Yelena (Florence Pugh) tidak seberuntung itu. Dia baru belakangan berhasil lepas dari cuci otak Red Room. Singkat cerita, pasca konfrontasi dengan pembunuh misterius bernama Taskmaster, Natasha menyadari bahwa Dreykov masih hidup, begitu juga program Red Room. Terjadilah reuni antara Natasha dan Yelena dengan "orang tua" mereka, guna bersama-sama menghancurkan Dreykov. 

Ditulis oleh Eric Pearson yang sebelumnya menggarap naskah Thor: Ragnarok, tidak mengherankan bila keunggulan utama Black Widow terletak pada humor. Bukan humor "gila" seperti karya Waititi tersebut, melainkan celetukan yang kerap mengisi interaksi karakter. Di sinilah terbukti, Marvel memperoleh harta karun dengan merekrut Florence Pugh. 

Pugh mampu membuat sebuah kalimat terdengar menggelitik tanpa harus berusaha keras melucu (tapi momen ikoniknya adalah ketika mengolok-olok superhero landing pose Natasha). Salah satu tujuan film ini tak lain mengoper tongkat estafet kepada Yelena, dan sang aktris memastikan proses tersebut berjalan mulus. Yelena adalah sosok menarik, mudah disukai penonton, dan terpenting, jago berseloroh di sela-sela aksi, yang mana merupakan kekhasan mayoritas superhero MCU. Tanpa mengecilkan Johansson (yang dalam perpisahannya ini menunjukkan bahwa ia perwujudan sempurna Natasha Romanoff), Pugh berjasa besar menjaga dinamika film, sewaktu gelaran aksinya tidak sehebat beberapa installment MCU belakangan. 

Selaku sutradara, Cate Shortland (Lore, Berlin Syndrome) memang menghadapi tantangan besar perihal merangkai aksi filmnya. Black Widow bukan pemilik ilmu sihir macam Doctor Strange dan Scarlet Witch, juga tidak diberkahi kekuatan fisik di atas rata-rata manusia seperti Captain America maupun teknologi canggih layaknya Iron Man dan Ant-man. Alhasil, opsi pun terbatas pada ide yang lebih "membumi", semacam baku tembak, hand-to-hand combat, hingga kejar-kejaran mobil.

Tapi kita tahu Captain America: The Winter Soldier bisa mengatasi keterbatasan serupa, melalui koreografi serta camerawork mumpuni. Black Widow berujung generik akibat tidak memiliki itu, sewaktu trik standar melalui penyuntingan frantic kembali diandalkan. Klimaksnya punya satu momen menarik. Sebuah sekuen di udara, saat Natasha menyelamatkan Yelena, lalu bertarung melawan Taskmaster. Kreatif, intens, well-executed, namun sayang, berlangsung terlalu singkat. 

Potensi pada figur Taskmaster juga terlewatkan. Mari lupakan soal desain karakter, yang tidak seperti interpretasi MCU kebanyakan, bagai ingin tampak "realistis", sehingga kehilangan daya tarik versi komiknya. Kekuatan utama Taskmaster adalah kemampuan meniru gaya bertarung orang lain. Benar bahwa ia melempar perisai layaknya Captain America, menembakkan panah seperti Hawkeye, mengeluarkan cakar serupa Black Panther. Tapi adegan aksinya gagal menerjemahkan gaya unik Taskmaster menjadi sajian yang khas nan menonjol.

Terkait penceritaan, biarpun mempertahankan pendekatan ringan ala MCU, Black Widow di luar dugaan sempat menyentuh ranah lebih kelam. Adegan pembukanya (salah satu opening terbaik MCU), yang bergulir diiringi lagu Smells Like Teen Spirit versi Malia J, menggambarkan child trafficking secara menyakitkan. Pun kita melihat Natasha membicarakan keputusan "tidak heroik" yang pernah ia ambil di masa lalu. 

Jika dipersempit, filmnya mengusung dua tema besar: keluarga dan wanita. Tema keluarga, atau secara spesifik "chosen family", meski tak seberapa mendalam dan masih menyisakan ruang eksplorasi, dampak emosinya tersampaikan berkat kapasitas akting dramatik Johansson dan Pugh di babak akhir. Kondisi tema kedua agak berbeda. 

Gagasan yang Pearson bawa lewat naskahnya cukup berani. Program Red Room bak perwujudan praktik misogini, yang berniat melemahkan wanita baik secara fisik atau mental, guna mengambil kontrol atas kemerdekaan mereka. Berani, karena elemen serupa pernah menyulut kontroversi di Avengers: Age of Ultron, dan Pearson bukan cuma menyertakan elemen itu lagi, bahkan mengembangkannya (termasuk metode pamungkas yang dipakai Dreykov guna menggagalkan rencana Natasha). Meleset sedikit saja, alih-alih empowerment, justru aroma seksis yang tercium. 

Saya melihatnya sebagai upaya menebus dosa alih-alih menutup mata akan sesuatu yang terlanjur ada. Berhasilkah? Arah yang dituju sudah tepat. Third act-nya membawa Natasha membalas manipulasi, menggunakan manipulasi lain yang lebih cerdik. Tapi ada kesan keberhasilan tersebut kurang "dirayakan". Bisa jadi itu sengaja dilakukan agar penuturan pesannya lebih subtil, tapi andai naskah digarap oleh penulis wanita, mungkin hasilnya berbeda. 

Begitulah Black Widow. Solid, menghibur, namun aksinya minim unsur pembeda, sementara banyak potensi kisah dieksekusi dengan kurang matang. Minimal, tugas menutup suatu babak, sembari membuka babak baru, berhasil dijalankan. Scarlett Johansson memantapkan namanya di jajaran legenda MCU, sedangkan Florence Pugh memastikan franchise-nya punya masa depan cerah.  


Available on DISNEY+ (Premier Access) 

14 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Rambut Natasha kecil mengingatkanku pada "Blue is the warmest color"
Apakah ada pesan terselubung (lagi)??🤣

Mukhlis mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Mukhlis mengatakan...



Di tengah-tengah kemenangan beruntun MCU dalam serial televisi, semakin tak menguntungkan bagi Black Widow.

Yess, stuju, saya lebih menantikan Episode Final Loki dengan multiverse nya daripada film Black Widow yang kasarannya cuma cerita masa lalunya dia doang.
Daan, setelah banyak yang ngereview B aja sama film ini, semakin yakin bahwa saya nunggu Oktober aja di hotstar.

Unknown mengatakan...

Filmnnya terlalu mengusung feminisme kah ? Soalnya setiap karakter laki-laki disini dibuat tidak berdaya dan bahkan terlihat lemah.

Rasyidharry mengatakan...

Anaknya Milla Jovovich itu oi 😂

Rasyidharry mengatakan...

Yaah ngelihat jadwal film MCU, bakal pertama jadi return to form kayaknya emang Eternals

Rasyidharry mengatakan...

Nggak ada cowok yg dibuat lemah di sini. Apalagi kalo dibandingin sama gimana Hollywood nggambarin karakter cewek selama ratusan tahun

aan mengatakan...

Mungkin saya kurang update, tp baru denger ada Red Guardian yg disuntik serum super soldier selain Steve, Bucky, Red Skull, Isaiah dan Karli...

wins mengatakan...

Asli ane ngakak adegan mengolok2 superhero landing pose... 😂😂😂

Chan hadinata mengatakan...

Ini gak ada niatan mau bikin film solo Red Guardian??

Okta mengatakan...

Dan secara visual, fisik Yelena pun tidak seperti stereotype hero perempuan.
Yelena itu chubby tapi gahar.

Lusiana mengatakan...

Ga nyangka si florence pugh bisa berkomedi begitu, setelah liat performancenya di midsommar rada disturbing trus pecah aja gitu nonton pugh jadi Yelena. Yang bikin tanda tanya pas liat black widow adalah bukannya dia hanya manusia biasa yang sudah dilatih jadi agen mata-mata tapi kekuatannya kenapa ngalah2in superhero, lompat disana sini dari angkasa. Hebat bener dah.

Unknown mengatakan...

Mau saran mas rasyid, kalau boleh review juga tv series biar tambah rame nih blog 🙏

Unknown mengatakan...

Loh, sy kirain yg return to form shang-chi mas rasyid. Tp berharap banget eternals bisa bener" origin