REVIEW - LUCKY
Di film horor, hampir selalu ada karakter skeptis yang mementahkan ketakutan protagonis karena menganggapnya imajinasi belaka. Cepat atau lambat, karakter itu bakal percaya, setelah menyaksikan terornya secara langsung. Bagaimana jika orang tersebut sungguh ada di dunia nyata? Bedanya, mau berapa kali pun melihat dengan mata kepala sendiri, ia (atau mereka) tetap menolak percaya dan senantiasa menganggap remeh.
Siapa orang yang dimaksud? Mungkin ada di sekitar kita, atau bisa jadi, malah kita sendiri. Sebab Lucky, melalui naskah buatan Brea Grant, merupakan kritik sosial seputar tendensi publik memandang sebelah mata cerita wanita, yang mengaku jadi korban teror pria, entah itu berupa kekerasan fisik, mental, maupun pelecehan seksual.
May (diperankan sendiri oleh Brea Grant) adalah penulis buku yang kesulitan mendapat kontrak dari pihak penerbit. Tapi itu cuma masalah kecil bila dibandingkan teror yang tengah ia hadapi. Setiap malam, sesosok pria bertopeng memasuki rumahnya, kemudian menyerang May. Dia berhasil lolos, bahkan beberapa kali melukai si penyerang di area vital, namun alih-alih tewas, pria itu selalu menghilang.
Polisi mengadakan investigasi yang terkesan kurang serius. Jangankan menangkap pelaku, polisi hanya menyuruh May tenang, sembari berkata bahwa ia beruntung tidak kehilangan nyawa. Suami May, Ted (Dhruv Uday Singh), yang berkonfrontasi langsung dengan si pria bertopeng, bersikap serupa. "Bukankah ini terjadi setiap malam?", begitu ucapnya santai. Bahkan Ted memilih pergi karena menganggap reaksi May berlebihan, meninggalkan sang istri sendirian menghadapi teror.
Lucky tidak berjalan seperti horor konvensional. Cenderung merambah surealisme, yang semakin kental seiring berjalannya durasi. Selain May, tokoh-tokohnya pun lebih dekat ke arah personifikasi gagasan tentang "mereka yang menolak percaya" ketimbang manusia sungguhan dengan segala kompleksitasnya.
Mendengar "surealisme", jangan khawatir filmnya bakal membingungkan. Lucky termasuk gampang dicerna. Gamblang. Terlalu gamblang malah, sampai patut dipertanyakan, kenapa Grant harus repot-repot memakai absurditas. Jika tujuannya agar pesan mudah dicerna, bukankah lebih efektif kalau tetap berpijak pada realisme? Film ini bak dibuat oleh orang yang belum lama berkenalan dengan satu-dua karya David Lynch, lalu langsung membuat film bergaya Lynchian.
Tapi harus diakui, terkait penyampaian pesan, Lucky punya relevansi serta urgensi tinggi. Setiap hari May mengalami teror. Sewaktu tidak dianggap serius, wajar apabila kepercayaannya terhadap aparat, juga orang-orang di sekelilingnya (termasuk sesama wanita, yang mana makin memilukan), kian memudar. Kemudian, selalu hidup di bawah bayang-bayang rasa takut, membuat korban tidak lagi punya waktu memikirkan hal lain, termasuk merayakan kesuksesan karir. Terbangun, mati-matian bertahan hidup, (mau tidak mau) tidur, lalu terbangun lagi. Begitu seterusnya.
Satu lagi hal yang disampaikan adalah, agar kita tak mencampuradukkan sisi personal si wanita dengan teror yang ia terima. Pernah berbuat dosa besar bukan berarti pantas mendapat pelecehan (atau bentuk kekerasan lain). Dosa yang Grant pilih membuat karakternya kurang likeable, tapi justru di situlah poin utamanya. Kita harus bisa memisahkan isu dengan preferensi personal.
Sebagai horor berbumbu elemen home invasion thriller, Lucky memang tergolong medioker. Bersenjatakan jump scare, kejar-kejaran, dan gore yang ditangani ala kadarnya oleh Natasha Kermani selaku sutradara, film ini tak menghadirkan ketegangan di level tinggi. Tapi presentasi isu luar biasa penting yang (sayangnya) akan selalu relevan, membuatnya patut untuk disimak.
Available on SHUDDER
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar