REVIEW - UNDINE
Undine mengambil latar di Berlin. Sebuah kota di mana nilai historisnya erat dengan keruntuhan tapi juga persatuan. Di Museum Märkisches, sejarah itu diabadikan lewat maket serta cetak biru arsitektur. Tapi bagi protagonisnya, yang bekerja lepas di sana sebagai pemandu, ada hal lain terabadikan di tiap sudut Berlin selain reunifikasi Jerman. Hal itu adalah cerita cinta.
Kita semua pernah mengalaminya. Tidak harus Berlin. Misal Yogyakarta. Di kepala sebagian orang, saat melihat Taman Sari, yang muncul di kepala bukan istana air dari masa Sri Sultan Hamengkubuwono I, melainkan tempat mereka pernah bergandengan tangan dengan kekasih, lokasi kencan pertama, atau semacamnya.
Christian Petzold (Barbara, Phoenix, Transit) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, memodernisasi mitologi Ondine/Undine yang sejatinya tragis pun cenderung membicarakan soal obsesi dan pengkhianatan, untuk menuturkan betapa bermaknanya cinta, lengkap dengan segala bahagia, duka, serta pengorbanan di dalamnya.
Undine adalah makhluk mitologi air, yang menginspirasi Hans Christian Andersen melahirkan The Little Mermaid. Tapi di film ini, ia tampak bak manusia biasa, dan hingga akhir, kebenaran mengenai sosoknya, apakah makhluk berkekuatan ajaib, atau sebatas wanita biasa yang dikuasai cinta, tetap ambigu.
Pertama kali kita bertemu Undine (diperankan Paula Beer yang auranya diselimuti misteri), ia tengah berargumen dengan sang kekasih, Johannes (Jacob Matschenz). Johannes tergoda wanita lain, sementara Undine berkata akan membunuh Johannes bila ia pergi. Ya, sama seperti cerita dongengnya. Sayang, ancaman itu tidak mempan. Johannes meninggalkan Undine.
Perpisahan tersebut rupanya berujung pertemuan antara Undine dan Christoph (Franz Rogowski). Tidak butuh waktu lama bagi mereka saling jatuh cinta. Menyusul berikutnya adalah presentasi Petzold akan romansa keduanya, yang terabadikan di ruang-ruang Berlin. Jika sebelumnya Undine melihat sosok Johannes dalam maket di museum, kini lanskap arsitektur kota memunculkan visi berupa dua sejoli yang dimabuk asmara.
Selama 90 menit, Undine berjalan amat sederhana. Murni sebuah kisah cinta. Menjadi berkesan, sebab Petzold, dengan pengarahannya yang kaya sensitivitas, paham apa saja yang membuat romantika patut dikenang.
Undine tinggal terpisah dengan Christoph, yang bekerja sebagai penyelam. Pertemuan hanya terjadi tiap akhir minggu, di mana mereka bergantian mengunjungi kediaman masing-masing menggunakan kereta. Penonton yang pernah mengalami hubungan jarak jauh, akan mengamini bahwa sang sutradara piawai meromantisasi momen pertemuan dan perpisahan.
Bagaimana antusiasme menyambut pasangan yang melangkahkan kaki keluar dari gerbong, maupun saat gerbong yang sama jadi sekat pemisah kala tiba waktunya mengucap "sampai jumpa". Daripada kesedihan, perpisahan itu justru memunculkan kebahagian lain. Karena berarti, kita sudah semakin mendekati pertemuan di akhir minggu berikutnya.
Apa aktivitas Undine dan Christoph kala bersama? Lagi-lagi sangat sederhana. Sesekali diiringi Concerto in D minor, BWV 974 gubahan Bach, selain mengelilingi Berlin, keduanya lebih sering berada di kamar. Petzold lebih tertarik memperlihatkan momen pasca seks ketimbang seks itu sendiri. Karena di situ, interaksi tak lagi hanya di ranah fisik, juga jiwa.
Contohnya saat Undine diberi pekerjaan tambahan secara mendadak oleh atasan, dan harus melatih ceramahnya semalaman. Isi ceramahnya biasa saja, kalau tidak mau disebut membosankan bagi orang di luar kalangan pecinta sejarah. Christoph jelas tidak termasuk kalangan itu. Tapi ia mau mendengar celoteh Undine dengan saksama. Sedangkan Undine, yang biasanya berceramah tanpa semangat, kali ini terlihat antusias. Matanya berbinar, mulutnya tersenyum. Begitulah ketika jatuh cinta. Hal remeh membosankan pun bakal terdengar menarik, bahkan indah.
Paruh keduanya memberi titik balik, sembari sempat mengentalkan nuansa mistis ala dongeng, yang sejatinya menunjukkan betapa klise alur milik Undine. Tapi bukankah percintaan memang klise? Dua orang asing bertemu, saling kenal, saling terpikat, bercumbu, bertengkar, kemudian berbaikan dan terus bersama atau berpisah. Arahnya selalu sama, tapi begitu juga pesonanya. Sebab jatuh cinta itu tidak biasa saja.
Available on HULU
6 komentar :
Comment Page:Ga tertarik buat review Don't Breathe 2 mas? Hehehe saya yakin 100% bakal seperti formula film kebanyakan(sequels usually worse than the pre).
Mahal rentalnya
Ngga nonton Cinderella Mas Rasyid? Wkwkwkw
Mending nonton ulang Lily James ketimbang James Corden
Gak usah buang duit lah buat dont breath 2.. ancur..
suka bgt ama film2 petzold ini, mas udh nntn phoenix ama transit kan? itu 2 favorit saya sih, sampe skrng masi kebayang2 bagusnya wkwk
Posting Komentar