REVIEW - ARMY OF THIEVES

3 komentar

Kesampingkan sejenak soal hasil akhirnya, tapi dunia Army of the Dead punya ide pengembangan menarik. Pergeseran genre di, sekuel, prekuel, maupun spin-off, sebenarnya bukan hal baru. Horor atmosferik Alien (1979) jadi aksi bombastis di Aliens (1986), Pitch Black (2000) bergeser ke space opera di The Chronicles of Riddick (2004), pun seperti kita tahu bagaimana Fast Five (2011) mengubah wajah serinya. 

Tapi Army of Thieves berbeda. Bisa dibilang lebih ekstrim, juga membuka peluang-peluang mengembangkan semestanya ke berbagai bentuk, tanpa batasan-batasan genre, warna, dan gaya. 

Berlatar di Jerman kala kiamat zombie baru mulai menjangkiti Amerika, film ini sama sekali tidak menampilkan serangan zombie (kecuali dalam siaran televisi), tidak pula meninggalkan rasa horor film sebelumnya. Murni kisah awal "karir" Ludwig Dieter, yang di sini masih memakai nama Sebastian (diperankan Matthias Schweighöfer yang juga bertindak selaku sutradara). 

Di sela waktunya sebagai pegawai bank dengan rutinitas membosankan, Sebastian membuat video-video YouTube mengenai safecracking yang jadi obsesinya. Idolanya adalah Hans Wagner, figur legendaris pembuat empat brankas yang konon mustahil dibobol (salah satu brankasnya hilang, dan baru kita temui di Army of the Dead). Bakatnya tercium oleh Gwendoline (Nathalie Emmanuel), yang merekrut Sebastian ke dalam timnya, guna membobol tiga brankas buatan Wagner. Selain Sebastian dan Gwendoline, ada Korina (Ruby O. Fee) si peretas, Brad Cage (Stuart Martin) si pemilik otot, dan Rolph (Guz Khan) si pengemudi handal.

Satu jam pertama Army of Thieves merupakan tontonan heist klise, yang mengolok-olok kekliseannya agar penonton tak menganggapnya klise. Formula-formula seperti pembentukan tim pencuri dengan kemampuan berbeda-beda, dipakai sebagai materi humor meta oleh naskah buatan Shay Hatten (John Wick: Chapter 3 - Parabellum, Army of the Dead). Tapi, selain teknik tersebut kini pun sudah menjadi keklisean tersendiri, garis besar alurnya di paruh pertama tetap mengikuti pola-pola lama film heist. Sama seperti orang yang berkata, "Aku tahu ini tindakan bodoh", sembari melakukan tindakan bodoh tersebut.

Komedinya pun kerap meleset dari sasaran, walau seperti di film pertama, Schweighöfer tampil meyakinkan sebagai pembobol brankas jenius, yang karena kecanggungannya, kerap melahirkan situasi konyol. Lalu apakah aksi pencuriannya menarik? Terkait itu, kelemahan utama Army of Thieves adalah kegagalan melibatkan penonton pada prosesnya. 

Apa yang membuat Sebastian spesial? Apakah dia punya teknik khusus? Atau kepekaan telinganya di atas rata-rata? Mengapa ia lebih unggul, biarpun para pesaingnya memakai teknik serupa? Apa penyebab saat ia sempat gagal di salah satu brankas? Praktis cuma brankas kedua yang menarik, karena melibatkan implementasi legenda selaku sumber inspirasi Wagner, dalam proses Sebastian memecahkan kunci brankas. Sisanya minim intensitas. Filmnya seolah asyik sendiri mengutak-atik puzzle, sementara penonton hanya dibiarkan melihat dari jauh. 

Setidaknya deretan aksi lain mampu tampil menghibur, berkat pengarahan kinetik Schweighöfer. Baku hantamnya dinamis, sedangkan kejar-kejaran yang melibatkan mobil melawan sepeda di tengah kota, jauh lebih seru ketimbang kebut-kebutan di banyak film aksi generik. 

Baru selepas melewati satu jam, pasca sebuah titik balik, Army of Thieves naik kelas, sepenuhnya melepaskan diri dari formula yang sedari awal ingin dihindarinya namun tak bisa. Titik balik yang turut menguatkan kisah underdog miliknya, membuat penonton bersimpati kepada si protagonis. 

Sejak itu, (walaupun aksi membobol brankasnya tetap stagnan), Army of Thieves berkembang ke arah cerita tentang perlawanan terhadap pemilik kekuatan. Terjadi persaingan antara Sebastian dengan Brad, yang juga menyukai Gwendoline. Brad adalah "otot" dalam tim. Nama aslinya Alexis, namun ia ubah menjadi Brad Cage (Brad Pitt + Nicolas Cage), karena menganggap nama itu terdengar jantan. 

Sebastian dengan kekuatan fisik seadanya (kalau tidak mau disebut di bawah rata-rata) serta kepribadian canggung, ibarat antisesis bagi machismo yang dipuja budaya populer Amerika, yang mengedepankan fisik, perawakan, pula otot daripada otak. Kita, manusia biasa, tentu lebih bisa mengasosiasikan diri dengan Sebastian, sehingga lebih mudah untuk mendukungnya. Menariknya, sosok-sosok alpha male berotot merupakan kegemaran Zack Snyder selaku konseptor semestanya, membuat Army of Thieves semakin unik sebagai sebuah prekuel/spin-off. 

Interpol yang dipimpin Delacroix (Jonathan Cohen) jadi lawan, namun ia bukan aparat intimidatif. Bahkan cenderung konyol. Delacroix menaruh dendam kepada Brad karena pernah ditembak pantatnya, pun berkali-kali ia berhasil dibodohi. Apakah penggambaran ini adalah bentuk sindiran bagi "kekonyolan" aparat, seperti saat François Truffaut membuat para mafia tampil komikal di Shoot the Piano Player (1960) karena ketidaksukaannya terhadap mereka (bukan berarti saya menyamakan kedua film yang jauh berbeda ini). 

Mungkin saya berpikir terlalu jauh. Tapi poinnya adalah relevansi. Kalau (kesan) relevan di atas membuat saya (atau penonton lain, siapa pun itu) lebih bisa mengapresiasi filmnya, mengapa tidak? Bukankah menonton film memang suatu perjalanan spiritual nan personal bagi masing-masing individu?

(Netflix)

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Bang, review LAMB dong, dari premisnya menarik sih apalagi keluaran A24...

Unknown mengatakan...

cuma dikasih bintang 3, aku bingung sama kemampuan meriview dari admin movfreak yang terkesan t0lol dan g0blok, masa cuma dikasih bintang 3???????

Rasyidharry mengatakan...

Saya juga bingung. Konon emang tolol sih orangnya :(