REVIEW - TITANE

1 komentar

Saya meyakini, bahwa sekarang hampir mustahil menemukan ide cerita orisinal dalam film. Jika anda menemukan karya yang terlihat orisinal, ada dua kemungkinan. Pertama, memang begitu adanya. Kedua, anda belum menonton sumber referensinya. Orisinalitas bukan lagi soal "murni baru", melainkan bagaimana pembuat karya mampu mengolah beragam inspirasi agar melahirkan tontonan segar yang (seolah) baru. 

Titane pun demikian. Terinspirasi dari mimpinya sendiri, Julia Ducournau (Raw) menyatukan elemen body horror ala film-film David Cronenberg dan Shinya Tsukamoto, dengan drama fetishism, terutama Crash (1996) yang kebetulan juga buatan Cronenberg. Hasilnya? Film ini jadi wakil Prancis di Academy Awards tahun depan, sekaligus memenangkan Palme d'Or pada Festival Film Cannes 2021, menjadikan Ducournau sutradara wanita kedua setelah Jane Campion (1993 lewat The Piano) yang meraihnya. 

Menulis naskahnya sendiri, Ducournau menciptakan kisah liar, bukan cuma karena momen-momen ekstrim di dalamnya, juga terkait alurnya yang terus berkembang ke arah tak terduga. Agatha Rousselle memerankan Alexia, wanita dengan pelat titanium di kepala, yang ia dapat pasca suatu kecelakaan mobil bersama sang ayah. Anehnya, sejak itu timbul keintiman antara Alexia dengan mobil. Bahkan kini ia berprofesi sebagai penari untuk pameran mobil. 

Saya cuma bisa menyebut tiga hal: 1) Alexia menyimpan rahasia kelam, 2) Alexia hamil selepas berhubungan seks dengan sebuah mobil, 3) Alexia bertemu Vincent (Vincent Lindon), petugas damkar yang telah kehilangan puteranya selama 10 tahun. Sisanya, silahkan tonton sendiri. Nikmati keliaran yang disajikan Ducournau tanpa basa-basi.

Kalau anda bersedia dibuat pusing kepala menyaksikan ambiguitas sarat metafora, maka Titane punya absurditas yang adiktif. Bukan terkait bisa memecahkannya atau tidak, namun lebih ke soal menikmati, pasrah saat terhanyut oleh teka-tekinya. 

Tentu Titane tidak asal aneh. Keanehannya mengandung maksud, di mana Ducournau menyinggung isu keluarga disfungsional khususnya penolakan figur ayah terhadap anak, trauma, juga identitas gender. Memilih Rousselle adalah keputusan tepat, karena sosoknya mendukung visi sang sutradara, guna memberikan nuansa fluiditas gender bagi filmnya. 

Baik selaku sutradara maupun penulis naskah, Ducournau cerdik mengolah elemen body horror. Subgenre satu ini identik dengan transformasi fisik, yang mana merupakan sumber kengerian utama. Sekuen di toilet stasiun jadi ajang unjuk gigi Ducournau merangkai pemandangan menyakitkan khas subgenrenya. Sekuen yang cukup unik, karena dibanding mayoritas body horror, transformasi sang protagonis lebih raw. Saya menyebutnya "manual body horror".

Kelak, transformasi Alexia berkembang lebih jauh, tidak hanya di ranah fisik, pula psikis. Dari situ, Ducournau bicara mengenai trauma, yang mendorong individu bersikap destruktif, kehilangan jati diri, sebelum akhirnya berhasil mengatasinya. Pertemuan dengan Vincent (yang juga melewati proses transformasi jiwa dan raga) jadi titik balik perjalanan Alexia. Perlahan, dari seseorang yang banyak "merenggut", ia belajar cara menyelamatkan. 

Titane menyatukan dua hal berlawanan, yakni "mati" dan "hidup". Manusia (hidup) berhubungan seks dengan mobil (mati). Pun sepanjang cerita, si protagonis sering bersinggungan dengan kematian dalam perjalanannya memaknai kehidupan. Puncaknya terletak di konklusi, tatkala kematian tidak digambarkan sebagai akhir, melainkan awal kehidupan baru. Semua berkat cinta. Tidak selamanya tontonan liar sarat kekerasan, seksualitas, dan kesan transgressive, harus mengeliminasi harapan.

(Klik Film)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Adegannya banyak yg bikin sesak, luarbiasa sih ini kengerian adegannya. Paling fenomenal emang adegan pas operasi plastik hidung di toilet (haha). Asli, saya yakin sebagian orang nggak sanggup nonton adegan ini.