REVIEW - RAGING FIRE
Raging Fire jadi karya terakhir Benny Chan, yang meninggal akibat kanker nasofaring sebelum pasca-produksi filmnya dimulai. Sebelum dikenal lewat judul-judul yang dibintangi Jackie Chan seperti Who Am I? (1998), New Police Story (2004), hingga Rob-B-Hood (2006), Chan akrab dengan genre heroic bloodshed di awal karirnya. A Moment of Romance (1990) dan Man Wanted (1995) jadi contoh. Sehingga terasa agak puitis, kala ia menutup perjalannya dengan merambah kembali genre tersebut (meski tak pernah benar-benar meninggalkannya).
Donnie Yen memerankan Cheung Sung-bong, inspektur senior berdedikasi yang tak pernah goyah oleh godaan uang, walau prinsip itu membuat karirnya cenderung stagnan, serta dijauhi para petinggi. Ketika pasukan teroris di bawah pimpinan Yau Kong-ngo (Nicholas Tse) mulai mengincar nyawa para polisi, terungkaplah bahwa prinsip Cheung tersebut rupanya pernah meninggalkan luka mendalam bagi beberapa orang.
Ditulis naskahnya oleh Benny Chan, Ryan Ling, dan Tong Yiu-ling, metode bertutur Raging Fire sejatinya bermasalah. Urgensinya memakai alur non-linear patut dipertanyakan. Pertama, lahir kerumitan tak perlu (cukup sulit mengidentifikasi nama dan wajah yang muncul karena lompatan-lompatan waktunya). Kedua, alasan mengapa flashback berisi latar belakang tokoh diletakkan di tengah, yang memaksa alur bergerak maju-mundur, semata-mata hanya untuk menciptakan twist, alih-alih dampak emosi, yang bisa filmnya miliki andai menerapkan pola penuturan konvensional.
Biarpun demikian, naskahnya juga punya keunggulan, terkait caranya bermain-main dengan formula heroic bloodshed. Biasanya, protagonis genre itu adalah polisi bersih (serupa Cheung), dan/atau penjahat berhati mulia, yang mengkhianati si bos demi kebaikan. Sosok Yau bak kebalikan dari jenis penokohan kedua. Bukan figur hitam yang bergeser ke putih karena menolak mengikuti kebusukan sisi hitam, melainkan figur putih yang terjerumus ke hitam akibat kebobrokan sisi putih (aparat).
Klimaksnya menghadirkan pemandangan menarik soal karakterisasi di atas. Satu per satu anak buah Yau tewas. Tapi ketimbang penjahat yang berada di ambang kekalahan, ia digambarkan bagai antihero yang sedang tersudut, sembari bersiap menantang maut. Di titik inilah Yau dan Cheung tampak setara, sebagai dua pria dengan prinsip masing-masing.
Hasilnya, konfrontasi selaku penutup filmnya jadi tambah meyakinkan. Tentu kapasitas kedua aktor utama menangani momen laga turut berperan besar. Berperan pula sebagai action director, Donnie Yen seperti biasa, memamerkan deretan jurus yang menuntut kapasitas fisik luar biasa, sementara Tse, dengan aura "gloomy machismo" ala aktor laga Hong Kong 90an, lihai mengayunkan pisau. Diiringi musik membahana gubahan Nicolas Errera, terciptalah pertempuran mano-a-mano bertensi tinggi.
Meski tersendat dalam bercerita, aksi Raging Fire memang luar biasa, penuh stunt kompleks nan berbahaya yang membutuhkan presisi tinggi (termasuk karena kerap melibatkan begitu banyak figuran) khas genrenya. Selain klimaks, kejar-kejaran antara Cheung di balik kemudi mobil dengan Yau di atas motor, jadi salah satu puncak kegilaan. Di karya terakhirnya, Benny Chan menuangkan seluruh kreativitas, menembus batas-batas, sambil menyelipkan beberapa imageries (letupan api di belakang karakter yang berjalan keren memakai kaca mata hitam dan setelan jas, aksi saling todong pistol jarak dekat, dll.) yang bertindak sebagai tribute bagi sinema klasik Hong Kong, terutama karya-karya John Woo.
1 komentar :
Comment Page:Chan berhasil menghasilkan salam perpisahan dgn manis, meski bukan karya terbaik beliau. Aksi memukau ditambah duet maut dua aktor yg sekarang sdh jd legend.
Kangen film Hong Kong ala 90an ya, kapan ya ada lg film kya gini, sekarang kebanyakan CGI
Posting Komentar